post image
KOMENTAR
MBC. Data terbaru mengenai peta Kapasitas Fiskal kabupaten/kota seluruh Indonesia, yang dilansir Kementerian Keuangan (Kemenkeu), cukup mengagetkan. Dari 33 kabupaten/kota yang ada di wilayah Sumut, 27 diantaranya punya Kapasitas Fiskal rendah.

Menkeu Agus Martowardojo dalam Permenkeu Nomor 226/PMK.07/2012 tertanggal 26 Desember 2012 menjelaskan, Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum APBD untuk membiayai tugas pemerintah setelah dikurangi Belanja Pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.

Penerimaan umum APBD dimaksud tidak termasuk DAK, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.

Dengan demikian, bisa dikatakan 27 kabupaten/kota di Sumut tergolong kere karena berkemampuan keuangan rendah. Kabupaten Simalungun merupakan daerah yang terkere di Sumut, yakni dengan Kapasitas Fiskal 0,0391.

Beberapa kabupaten/kota yang juga masuk rendah, yakni dengan angka Kapasitas Fiskal 0 hingga 0,5, antara lain Kota Pematangsiantar (0,1477), Kota Medan (0,30390, Tapsel (0,4175), Karo (0,1506), Asahan (0,1239), Taput (0,2230), Tapteng (0,1305), Langkat (0,1711), Dairi (0,2524), dan Madina (0,1559).

Hanya lima kabupaten/kota yang masuk kategori "sedang" yakni Kota Binjai (0,5203), Kota Sibolga (0,7481), Kota Tanjungbalai (0,5170), Kabupaten Humbahas (0,5481), dan Kabupaten Samosir (0,6779). Hanya satu yang masuk kategori tinggi yakni Kabupaten Pakpak Barat, dengan Kapasitas Fiskal 1,8031.

Kapasitas Fiskal dihitung dengan rumusan sebagai berikut: PAD + DBH + DAU+LP-BP. Lantas angka ketemunya dibagi dengan jumlah penduduk miskin. LP adalah lain-lain pendapatan daerah yang sah, BP adalah Belanja Pegawai. Jumlah penduduk miskin yang dipakai untuk menghitung berdasar data BPS Tahun 2011 dan perhitungan mengacu realisasi APBD Tahun Anggaran 2011.

"Peta Kapasitas Fiskal dapat dipergunakan untuk pengusulan pemda sebagai penerima hibah, penilaian atas usulan pinjaman daerah, penentuan besaran dana pendamping, dan hal-hal lain yang diatur secara khusus," terang Agus Martowardojo dalam Permenkeu Nomor 226 itu.

Sementara, Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi, mengatakan, angka Kapasitas Fiskal juga bisa sebagai ukuran kinerja bupati/walikota. Jika angkanya rendah, maka kinerja bupati/walikotanya juga berarti rendah, dalam hal kemampuan mengalokasikan anggaran.

"Angka-angka itu bisa untuk menilai kemampuan kepala daerah dalam mengalokasikan anggaran dan juga perhatiannya terhadap masyarakat miskin," ujar Uchok Sky Khadafi kepada JPNN, kemarin (13/1).

Pasalnya, kata Uchok, formula penghitungan Kapasitas Fiskal ini juga menggunakan Belanja Pegawai. Semakin besar Belanja Pegawai, maka Kapasitas Fiskalnya semakin rendah. Begitu pun, jika jumlah penduduk miskin besar, Kapasitas Fiskalnya juga makin rendah.

"Kapasitas Fiskal rendah karena kepala daerahnya lebih mementingkan Belanja Pegawai. Kalau pegawainya sudah kenyang, sisa-sisannya baru untuk rakyat miskin," ujar Uchok pedas. Juga bisa untuk melihat mampu tidaknya bupati/walikota berinovasi dalam menggali sumber PAD. Bila PAD rendah, Kapasitas Fiskal juga pasti rendah.  (sam/rob/jpnn)

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi