post image
KOMENTAR
Dugaan tindak pidana korupsi pada segala bidang di Sumatera Utara telah memasuki masa kronis. Dalam kurun lima tahun terakhir saja (2009-2013), pejabat yang dijadikan tersangka dan divonis karena korupsi telah menyebar di 33 kabupaten/kota daerah ini.

Terbarukan adalah penahanan Bupati Madina oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini menambah daftar panjang para pejabat di Sumatera Utara yang dituduh korupsi.

Fenomena ini menimbulkan keprihatinan sejumlah kalangan. Direktur Citra Keadilan, Hamdani Harahap menilai, Sumatera Utara masuk zona merah krisis korupsi dengan maraknya kasus korupsi yang menimpa pejabat di daerah ini.

"Korupsi yang terjadi di daerah ini akibat terjadinya konspirasi jahat antara yang berkuasa di Jalan Imam Bonjol (DPRD) dan Diponegoro (Kantor Gubernur)," ujar Hamdani kepada MedanBagus.Com, Kamis (23/6/2013).  

Sebutan itu muncul, jelas Hamdani, karena pihak DPRD Sumut dan Pemprovsu diduga bersama-sama melakukan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara dalam hal ini dana Bansos, Bos dan BDB.

Dia mencontohkan, pada kasus korupsi dana Bansos ada fakta di BAP terdakwa Imom Saleh Ritonga dan Aidil Agus soal pemberian fee kepada anggota DPRD Sumut antara 40-60 persen.

"Apalagi, kalangan DPRD Sumut mengakui fee dari kepala daerah untuk setiap proyek yang diperoleh dari aliran dana BDB di Sumut. Itu disebutkan salah satu anggotanya, Hardi Mulyono loh," ujar mantan Dirut LBH Medan tersebut.

Demikian juga dana BDB, pengelola anggaran di daerah dalam hal ini bupati dan walikota, diduga kuat menyerahkan mahar 5-6 persen sebelum anggaran diketok. Fakta realnya dengan ditangkapnya Bupati Madina, Hidayat Batubara.

Dugaan konspirasi tersebut diperkuat karena baik DPRD maupun Gubernur tidak melakukan klarifikasi publik. " Fenomena ini akan menimbulkan trauma kepada masyarakat karena praktik korupsi terjadi di hulu dan hilir. DPRD dan Gubernur harusnya melakukan klarifikasi kepada publik," ujarnya.

Namun klarifikasi tersebut tidak dilakukan lembaga penyelenggara pemerintahan tersebut. DPRD juga tidak melakukan fungsi kontrolnya. "Mestinya DPRD memberikan klarifikasi publik jika itu tidak benar atau membentuk pansus. Tapi apa yang mereka lakukan dalam situasi ini. Kenapa mereka diam? Ada apa ini?" tanya Hamdani.  

Di sisi lain, ungkap Hamdani, konspirasi jahat antara pejabat di gedung Imam Bonjol dan Diponegoro dikuatirkan berimbas kepada pihak kepolisian dan kejaksaan.

" Penegak hukum, Jaksa dan Polisi mestinya sudah bisa cermat menindaklanjuti temuan-temuan BPK tersebut. Tapi hukum hanya menyasar pada orang-orang tertentu. Kita kuatirkan ada juga dana korupsi yang mengalir lagi kesana," imbuh Hamdani.

Mencermati fenomena korupsi di Sumut, Hamdani meminta agar KPK segera mengambil alih kasus-kasus kejahatan kerah putih ini. " Dan KPK sudah menerima laporan-laporan korupsi yang dikirim lembaga Citra Keadilan. Kita berharap KPK bisa menuntaskannya," ujarnya.

Di sisi lain, Hamdani tidak bekeratan jika kemajuan pembangunan di Sumatera Utara stagnan sementara ini. Dia meminta supaya penyelengara negara fokuskan dulu soal pembenahan masalah hukum di Sumatera Utara. Setelah itu, baru kembali menata pembangunan di Sumatera Utara.

" Ibarat berpuasa, untuk mendapatkan pahala yang besar, kita diwajibkan untuk menahan lapar dan haus. Jadi saya rela jika sementara pembangunan di Sumatera Utara dihentikan dan fokus pada pembenahan hukum" pungkas Hamdani berfilosofi. [ded]

Sudah Diberlakukan, Parkir Sembarangan Bakal Kena Tilang Elektronik di Medan

Sebelumnya

Perkosa Banyak Pria, Pelajar Indonesia Reynhard Sinaga Dihukum Seumur Hidup Di Inggris

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Hukum