post image
KOMENTAR
RIBUAN buruh China yang bekerja di sebuah pabrik peralatan elektronik yang didanai Jepang di Dongguan, menghentikan mogok kerja setelah salah seorang eksekutif perusahaan Jepang itu mencabut pernyataan yang dia sampaikan beberapa waktu sebelumnya.

Changan Rihua Electronic Plant yang berada di Changan, Dongguan, di Provinsi Guangdong dibiayai perusahaan Jepang, Alp Electric Co. Ltd.

China Daily melaporkan, pimpinan perusahaan Jepang itu, Masataka Kataoka, dalam pertemuan dengan perwakilan buruh meminta maaf karena sempat mengatakan bahwa Jepang tidak pernah menginvasi China dalam Perang Dunia Kedua. Disebutkan Kataoka mencabut pernyataan itu sambil membungkukkan badan tanda penyesalan dan permohonan maaf.

Sebagai tambahan, Masataka Kataoka juga bersedia memulai negosiasi untuk memberikan insentif kepada pekerja.

Mogok kerja berlangsung tidak lama. Dimulai sekitar pukul 09.30 pagi hari Selasa kemarin (1/7) dan berakhir siang hari. Kelompok buruh sempat mengepung dan memojokkan Masataka Kataoka di sebuah aula di area pabrik.

Agresifitas Jepang yang dikhawatirkan kembali muncul memang tengah menjadi salah satu topik hangat yang dibicarakan di kawasan Asia Timur belakangan ini. Tidak hanya di China, persoaan ini juga dibicarakan dengan sangat seirus di Korea Selatan dan Korea Utara.

Berkembang luas kekhawatiran terhadap pernyataan-pernyataan pejabat politik Jepang yang dinilai sebagai upaya untuk menghapuskan sejarah penindasan Jepang di negeri-negeri yang mereka jajah pada masa lalu. Bukan itu saja, upaya Jepang merevisi sejarah juga dinilai sebagai wujud dari keinginan negara itu mendominasi kawasan Asia Timur, sejara politik, ekonomi dan militer.

Di Korea Selatan, Wakil Menteri Luar Negeri Cho Tae-yong, pekan lalu mengatakan bahwa keingingan pemerintah Jepang merevisi dan bahkan menganulir Pernyataan Kono, yang mengakui bahwa Jepang menggunakan wanita Korea sebagai budak seks tentara Imperial Jepang di masa Perang Dunia Kedua, sangat menyakitkan perasaan.

Wamenlu Cho telah memanggil Dubes Jepang untuk Korea Selatan, Koro Bessho, dan menyampaikan protes resmi negaranya. Cho meminta agar pemerintahan Shinzo Abe di Jepang tidak memperlemah isi Pernyataan Kono itu.

Pernyataan Kono adalah istilah populer yang merujuk pada pernyataan tertulis Sekretaris Kabinet Jepang, Yohei Kono, tahun 1993. Dalam pidato itu Kono mengakui bahwa tentara Jepang menggunakan perempuan Korea secara paksa sebagai budak seks tentara Imperial Jepang.

Bukan baru kali ini Shinzo Abe berusaha merevisi dan mementahkan Pernyataan Kono itu. Ketika menjadi perdana menteri pada periode pertama 2006-2007, Abe telah berkali-kali mengatakan dirinya tidak percaya tentara Imperial Jepang menggunakan secara paksa wanita Korea sebagai budak seks. Sikap ini dia pertahankan sampai ia kembali dilantik menjadi perdana menteri pada September 2012 lalu.

Pemerintah Jepang tanggal 20 Juni lalu menyerahkan hasil penelitian terhadap Pernyataan Kono itu kepada Komite Anggaran Diet atau Dewan Perwakilan Rakyat Jepang. Ada dua pokok penting di dalam hasil penelitian itu. Pertama disebutkan bahwa Pernyataan Kono dipersiapkan melalui tukar menukar dokumen tertulis antara Korea dan Jepang.

Kedua, Korea dan Jepang sepakat untuk merahasiakan dialog tertulis itu. Serta ketiga, pemerintah Jepang tidak memvalidasi hasil interview terhadap 14 wanita yang menjadi korban budak seks. Ke-14 wanita ini tidak hanya berasal dari Korea, tetapi juga dari China Taiwan, Asia Tenggara dan Eropa.

Gurubesar ilmu politik dari Universitas Sejong, Jepang, Hosaka Yuji, dalam artikelnya baru-baru ini juga memperlihatkan dukungan terhadap sikap konservatif Jepang itu.

Menurut Profesor Yuji dalam ulasannya tentang Pernyataan Kono, bangsa Jepang tidak memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan permintaan maaf atas apa-apa yang terjadi di masa lalu yang melibatkan tentara Imperial Jepang, termasuk dalam kaitannya dengan perbudakan seks wanita Korea.

Asia Women Funds yang didirikan setelah Pernyataan Kono untuk membantu wanita-wanita korban perbudakan seks itu, sebut dia, pada hakikatnya tidak mewakili negara dan bangsa Jepang. Dengan demikian, bangsa Jepang tidak perlu meminta maaf.

Bagi Korea Selatan, sikap Jepang ini menjadi batu pengganjal bagi keinginan dan rencana membangun kerjasama kedua negara yang lebih signifikan lagi terkait dengan isu keamanan di Asia Timur dan khususnya Semenanjung Korea.

Di sisi lain, agresifitas Jepang tersebut tampaknya semakin eskalatif setelah Amerika Serikat memberikan lampu hijau kepada Shinzo Abe untuk menghapuskan Pasal 9 UUD Jepang. Artinya, AS memberikan izin kepada Jepang untuk membangun militer reguler dan modern.

Selain memberikan kesempatan kepada Jepang menghapus Pasal 9 UUD, Amerika Serikat juga mendorong kerjasama trilateral di kawasan Asia Timur demi menghadapi potensi ancaman dari China dan nuklir Korea Utara.

Presiden AS Barack Obama bulan Maret lalu mempertemukan Presiden Park Geun-hye dan Perdana Menteri Shinzo Abe di Belanda. Lalu bulan Juni lalu giliran menteri pertahanan dari ketiga negara bertemu di Singapura.

Tetapi membangun hubungan yang didasarkan pada rasa saling percaya antara Jepang dan Korea Selatan bukanlah hal mudah.

Masyarakat Korea punya pandangan yang relatif tidak berubah bahwa Jepang adalah bekas penjajah dan lawan tradisional mereka. Pun sampai kini Jepang masih belum mau mengaku Pulau Dokdo sebagai bagian Korea Selatan. Juga muncul semacam anggapan bahwa kemajuan ekonomi Korea Selatan dalam dua dekade terakhir ini telah menimbulkan semacam kecemburuan di Jepang yang kini merasa disaingi pleh dua tetangganya Cina dan Korea Selatan.

Karena itu keinginan kuat pemerintah Jepang merevisi Pernyataan Kono jangan-jangan pertanda bibit permusuhan itu masih ada. [guh]

KOMENTAR ANDA

Baca Juga