post image
KOMENTAR
Kekisruhan internal akibat ketidakmampuan direksi memimpin  Bank Sumut berujung maraknya aksi unjuk rasa karyawan kontrak maupun pegawai tetap, hingga turunnya kinerja keuangan dan memburuknya rasio kredit macet menandakan bank itu sedang alami financial distress. Demikian disampaikan, Bahrein H Siagian, Pimpinan Divisi SDM Bank Sumut yang di-PHK sepihak oleh direksi.
         
"Sudah pun begitu kondisinya malah dianggap wajar oleh pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas Bank yang seharusnya berkepentingan menjaga kesehatan dan ketahanan kelembagaan Bank Sumut," katanya, Minggu (14/9/2014)

Bahrein H Siagian menyatakan Bank Sumut saat ini sedang mengalami financial distress yaitu penurunan kinerja keuangan secara terus-menerus yang kalau dibiarkan akan menuju kebangkrutan. Indikasi tersebut menurutnya dapat dilihat dari rasio NPL (Non Performing Loan) lebih besar dari 5 persen yang berarti direksi Bank Sumut tidak mampu mengelola kredit dengan baik dan semakin banyak kreditnya bermasalah. Padahal kredit merupakan usaha utama Bank Sumut yang selama ini menghasilkan pendapatan bagi laba Bank.
 
"Nah, sekarang mana tuh komentar Komisaris Utama? Tahun lalu dia berkomentar NPL buruk 3,7 persen karena katanya salah pilih pejabat di cabang dan lantang akan copot Direksi pada waktu itu jika tidak bisa perbaiki NPL. Sekarang setelah ada tiga direksi baru yang katanya profesional dan mencopoti banyak pejabat lama diganti dengan kroni-kroninya, NPL malah memburuk luar biasa. Beranikah komisaris utama ngomong lantang bahwa direksi sekarang salah pilih kroni-kroninya dan beranikah komut mencopot direksi jika NPL tidak membaik ? Jangan-jangan dia cuma pandai cari alasan lagi dan bilang NPL buruk sekarang ini karena peninggalan direksi lama," ujar Bahrein.
 
Menurutnya, rasio NPL yang melampaui standar ketetapan BI/OJK itu jelas mengganggu likuiditas karena ada aset tertanam dan tidak dapat ditarik sewaktu-waktu jika diperlukan. Menurunnya likuiditas mengakibatkan kemampuan solvabilitas bank juga berkurang untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga. "Belum lagi adanya potensi mismatch karena kesalahan pengelolaan maturity, misalnya sumber dana jangka pendek seperti giro sebagian besar disalurkan untuk kredit jangka panjang yang macet. Itu sangat berbahaya, " ujar Bahrein.
 
Kredit bermasalah juga mempengaruhi produktivitas aset sehingga menurunkan rentabilitas atau kemampuan memperoleh pendapatan dari bunga kredit. Malah menimbulkan biaya tambahan bagi bank antara lain legal cost, administrative cost, opportunity cost, carrying cost, management cost, dan intangible cost. Profitabilitas bank atau kemampuan memperoleh keuntungan atau laba semakin kecil bahkan bisa terjadi negative spread.

Bertambahnya kredit bermasalah, turunnya kemampuan rentabilitas untuk memacu modal dan tidak adanya tambahan modal yang signifikan dari pemegang saham mengakibatkan rasio permodalan bank (CAR) menurun sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan.

"Hal ini tentu mempengaruhi bonafiditas atau kepercayaan masyarakat kepada bank. Bahkan ditambah berbagai kebijakan direksi yang melanggar aturan, akan langsung menurunkan tingkat kesehatan bank dan menuntun Bank Sumut masuk ke Special Surveillance Unit (SSU) alias UGD-nya bank-bank sekarat dan akhirnya dapat dikenakan sanksi likuidasi atau ditutup oleh regulator," ujarnya.
 
"Kredit bermasalah jelas berdampak negatif baik bagi kelangsungan hidup Bank Sumut sendiri maupun bagi perekonomian daerah atau negara. Saya heran, bagaimana bisa OJK masih tenang dan menyatakan kinerja Bank Sumut baik-baik saja dengan NPL terus memburuk dari tahun lalu 3,7 persen yang sekarang sudah lampu merah karena di atas 5 persen," tambahnya.[rgu]

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi