post image
KOMENTAR
Tak sedikit pernyataan Joko Widodo sebagai presiden yang dilontarkan ke publik justru terkesan bersayap atau bermakna ganda.

"Seperti pernyatan Jokowi, karamkan kapal-kapal Malaysia atau ketika dia bilang tidak takut popularitasnya turun karena harga BBM naik, itu mungkin sulit dipahami masyarakat," ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Diponegoro, Ari Junaedi, Minggu (23/11).

Di satu sisi, kata Ari, Jokowi mungkin ingin menunjukkan ketegasannya sebagai presiden. Tapi fakta di lapangan berkata lain. Apa yang dikemukakan Jokowi malah memunculkan multitafsir.

"Saya amati komunikasi politik Jokowi gagal," tegasnya.

Untuk itulah menurut dia, Jokowi perlu kehadiran jurubicara yang bisa menjembatani apa yang menjadi keinginannya kepada rakyat.

"Kita lihat bagaimana seorang Soeharto punya jubir handal, waktu itu Moerdiono, kemudian juga pak SBY  ada Andi Malarangeng dan Julian Pasha, dan era Gus Dur ada Adhie Massardi dan Wimar Witoelar," paparnya.

Ia melihat ada kesamaan antara gaya kepemimpinan Jokowi dengan pendahulunya, Megawati Soekarnoputri. Yakni, tidak menghasilkan jurubicara.

"Saya setuju Jokowi harus memberi penekanan keras terhadap Malaysia tapi harus lebih dijelaskan, apa yang dimaksud dengan 'dikaramkan' itu," katanya, menambahkan.

Menurut Ari, sikap kurang ajar Malaysia memang sudah di ambang batas. Selayaknya, Indonesia menunjukkan kedaulatannya sebagai negara. Jokowi dinilainya memang sudah tepat bersikap tegas seperti itu. Tapi ia ingatkan, Jokowi bukan lagi pemimpin kota Solo atau gubernur dari provinsi ibukota negara.

"Solo berbeda dengan Jakarta, dunia internasional. Lagipula komplesitas negara lebih luas," terangnya. [hta/rmol]

Ganjar Pranowo Dilaporkan ke KPK, Apakah Prediksi Fahri Hamzah Terbukti?

Sebelumnya

Apple Kembali Alami Kenaikan Pendapatan, Kecuali di China Raya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa