post image
KOMENTAR
Saking mengguritanya korupsi di negeri ini, awam menyebutnya sebagai sebuah budaya. Korupsi adalah budaya. Begitu disebut banyak aktivis anti korupsi dan orang-orang yang prihatin dengan perilaku korupsi.  Orang memang bisa menerjemahkan korupsi sebagai budaya, karena menganggap budaya itu sebagai sesuatu yang dilakukan berulang-ulang. Tapi apa benar demikian?

Jika ditelusuri, agaknya memang ada dua pandangan yang berkembang di masyarakat soal istilah budaya. Pertama, ada yang menyebut budaya sebagai perbuatan yang berulang-ulang di masyarakat.
Kedua, budaya itu perbuatan yang menghasilkan kebaikan di masyarakat. Lebih tepat, budaya itu sesuatu yang menghasilkan kebaikan. Saya mendukung pernyataan yang kedua. Karena itu pula, saya sepakat jika ada yang  menilai, korupsi bukan budaya kita.

Untuk memperkuat, saya kutip apa yang dimaksud budaya oleh Bapak Antropologi, Profesor Koentjaraningrat. Kata beliau, "Budaya adalah suatu sistem gagasan beserta rasa yang tindakannya serta karyanya dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan yang dijadikan olehnya dari belajar". Masih kurang? Baik, saya kutip lagi pernyataan EB Taylor. Menurut Taylor, "Budaya adalah keseluruhan kompleks yang meliputi kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum dan adat istiadat". Kata kuncinya mungkin Kesusilaan, yang  dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai; norma yang baik, kelakuan yang baik, tata krama yang luhur.

Saya berikan satu contoh kecil. Kehidupan masyarakat kita, Indonesia, mengenal budaya buah tangan (oleh-oleh). Memberikan buah tangan merupakan nilai kearifan lokal masyarakat kita yang menjadi simbol penguatan silaturahim.  Prinsipnya, buah tangan itu tidak diberikan untuk maksud tertentu. Jumlahnya pun tidak banyak dan bentuknya pun sesederhana buah-buahan atau makanan ringan. Jadi semata-mata buah tangan itu bentuk silaturahim kita. Ini jelas merupakan norma yang baik (baca; kesusilaan).

Tapi dalam perkembangan saat ini, buah tangan kini dianggap sebagai benih-benih korupsi yang diberi nama gratifikasi. Sebab orang mulai  memberi sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Nilai-nilai kebaikan dengan memberikan buah tangan yang bersahaja itu kini bermetamorfosis menjadi jam mahal, mobil hingga rumah. Sudah tentu, itu tak bisa disebut lagi disebut buah tangan ya.

Dalam perbincangan belum lama ini, korupsi dalam pandangan Prof Dr Badaruddin, Dekan Fisip USU, adalah perilaku menyimpang dari seseorang dalam sebuah masyarakat. Dengan kata lain, menurutnya, budaya dalam  sebuah masyarakat tidak bisa diwakili oleh seseorang yang berbuat korupsi.

Karena korupsi bukan budaya, korupsi bisa diberantas di negeri ini. Caranya, kita perlu bangun sistem yang baik, penegakan hukum yang kuat dan komitmen bersama untuk tidak korupsi. Sekarang ada kekhawatiran global soal korupsi, tidak hanya di Indonesia. Banyak cara yang bisa dilakukan orang untuk korupsi. Semakin canggih cara mencegah, semakin canggih pula modus korupsinya. Makanya perlu komitmen dan kesadaran yang kuat.

Bicara komitmen dan penegakan hukum, mantan Direktur LBH Medan, Muslim Muis, pun punya pandangan sendiri soal korupsi yang semakin menjadi-jadi saat ini. Dalam perbincangan singkat dengan penulis beberapa hari lalu, Muslim meminta masyarakat untuk melihat langsung di gedung pengadilan. Agak terkejut juga saya mendengarnya. Kata dia, semua terdakwa korupsi tidak pernah masuk dalam sel tahanan.

"Itu fakta. Perbuatannya berbahaya, perlakuan pada orangnya istimewa. Ini yang membuat orang tak jera," kata Muslim berapi-api.

Maka itu, dengan fakta bahwa buah tangan yang sudah bermetamorfosis, pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember ini, bagi penulis yang perlu dikedepankan dalam pemberantasan korupsi adalah pencegahan. Penegak hukum hendaknya tidak hanya melakukan penindakan hukum saja tapi juga upaya pencegahan. Salah satu caranya adalah, kalau seseorang sudah jadi terdakwa atau terpidana kasus korupsi, harusnya dicegah supaya tak berbuat lagi. Upayanya, kalau aturannya harus dipenjara dalam sel ya dipenjara, jangan pula mereka diberi ruang memberikan "buah tangan" lagi.

Penulis:
Fahrur Rozi, S.Sos, M.I.Kom

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Sebelumnya

Delapan Butir Maklumat KAMI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini