post image
KOMENTAR
SATYA mendengar cerita Wira Baradha yang tengah meradang menunggu dijemput maut, dengan seksama. Mata pemuda itu merah. Darahnya bergolak. Amarah dan kesumat hampir tak bisa dibendungnya.

"Tapi ingatlah, dia orang yang dikagumi di bumi segoro ini. Dan dia suami ibumu. Aku takkan berlama-lama lagi. Sebelum aku mati. Aku sudah membayar tunai kebenaran sejarah," ujar Wira Baradha menghela nafas panjang. Batuk beberapa kali, dadanya tersengal, darah kental kembali keluar dari mulutnya.
"Mpu," erang Satya. Wira Baradha mengejang. Matanya melotot. Lepas sudah selembar nyawa. Perwira handalan kerajan serta guru bagi Satya itu mati dengan cerita yang telah rampung dirangkumnya.

***

Namaku, Adipati Satya Arya Panalukan. Beberapa saat lalu aku baru saja menutup riwayat seorang besar dan diagungkan banyak orang. Seorang legenda, juru selamat dan pandita ugama. Utama guru sekaligus bapak bangsa. Penjaga moral dan pendekar keadilan. Pahlawan rakyat dan cukup menyenangakan. Paling tidak begitulah riwayat tentangnya yang tertatah indah di prasasti dan daun lontar yang tertata rapi di museum kanoman.

Aku, Satya Arya Panalukan. Aku tak sedang membela diriku di hadapan kalian. Karena perbuatan yang baru saja kulakukan. Dan aku tidak sedang melakukan pembenaran atas apapun tindakanku yang berakibatkan kematian orang yang ada di hadapanku ini. Aku hanya mau mengisahkan pada ruangan beku dan waktu yang berjalan lambat dan membosankan ini. Terserah pada akhirnya nanti kalian akan menilaiku sebagai mahluk celaka atau pencari pedang keadilan pembunuh angkara murka. Aku akan berkisah.

***

Usai perang brubuh, meski keadaan mampu dikendalikan sang raja, Wira Baradha hanya bisa menahan pedih. Pasalnya Arya Artha Panalukan I tetap meragukan kesucian sang istri.

"Aku raja, aku harus bertindak bijaksana. Termasuk pada permaisuriku!"
"Tidak kakanda. Itu semua fitnah," ujar Merak, permaisurinya. "Sedih hatiku, bila kanda mempercayai kabar angin," perempuan ayu itu menahan isaknya."Benarlah, selama tiga bulan aku menjadi tawanannya. Tapi seujung rambutku pun, dia tak pernah menyentuhku. Aku bisa menjaga diriku, kanda," rengek Merak mengiba. "Bambang Sejati bukan lelaki seperti yang kanda kira,"

Mendengar nama musuhnya disebut, Arya Artha Panalukan I kian murka. Dihempaskannya Merak duduk kembali di kursi pesakitan.
"Aku mengutukmu dan janin yang ada di perutmu!"

Vonis pun dijatuhkan. Merak dibuang ke hutan Blambangan. Perempuan bunting muda itu dipaksa menjalani hukuman yang tak pernah bisa dimengertinya.
"Aku perempuan malang, yang menjadi korban kejahatan. Dan sekarang harus menjadi pesakitan menghadapi hukuman," rintih Merak. Wira Baradha yang mendapat tugas menjaga permaisuri selama dalam pembuangan, hanya bisa mengurut dada. Dia tak pernah bisa mengerti perihal dua anak manusia yang mengakui saling memiliki cinta. Maka dia hanya mendengarkan sang permaisuri berkeluh kesah.
"Cintanya tak setulus cintaku. Kesetiaannya tak seperti setiaku,"
"Mungkin inilah kehendak dewata," ujar Wira Baradha menenangkan Merak.

***

Aku, Setya Arya Panalukan. Bambang Sejati adalah bajingan, dan raja yang gemar melakukan penindasan terhadap rakyatnya. Dia memaksa seluruh rakyat bekerja keras membangun istana yang megah serta tembok-tembok kuat yang mampu menahan serangan Wira Baradha dan rajanya. Di mataku, Bambang Sejati adalah bajingan yang tak lebih buruk dari suami Merak. Kejahatan harus mendapat ganjaran, begitulah kata penerus lidah dewata di bumi. Bambang Sejati memang layak mendapat hukuman. Tapi bukan berarti orang yang hampir sama bejatnya dengan Bambang Sejati, dapat melakukan penghakiman bagi dirinya. Tidak, apalagi suami si Merak, Arya Artha Panalukan I, yang tak mengerti apa-apa soal hukum apalagi soal penegakannya.

Penyerangan Arya Artha Panalukan I terhadap wilayah kekuasaan Bambang Sejati tak lebih dari penaklukan yang didasari ketamakan. Keserakahan telah membutakan mata hati Arya Artha Panalukan I. Atas nama perluasan wilayah dan kemakmuran rakyat serta keagungan namanya, mahluk kejam itu sengja memberikan celah kepada Bambang Sejati dan mengumpankan istrinya yang jelita, Merak.

Namaku Setya Arya Panalukan. Aku tak sedang becerita kebenaran yang semu. Kisah ini kudapat dari guruku, yang tewas demi menjaga kehormatan dan martabat negerinya. Wira Baradha! Lelaki renta yang menghabiskan sisa usia dan kepintarannya demi membangun sebuah zaman keemasan yang boleh jadi tidak akan pernah memberikannya apa-apa. Dengan sangat menyesal, aku katakan, kesetiaannya pada rajanya adalah kesetiaan buta. Dan maaf kalau aku tak memilih untuk memiliki kesetiaannya. Sebab tak semua ilmu yang diberikannya aku butuhkan. Aku membutuhkan apa yang kuperlukan. Kesetiaanku pada negeri bukan kesetianku kepada raja. Jadi dalam kasus terbunuhnya Wira Baradha oleh tanganku bukan kasus murid murtad kepada wejangan guru. Wira Baradha selalu punya tempat khusus di ingatanku.

***

"Adalah suatu rahasia yang seorang pangeran mesti mengetahuinya,"
"Ceritakanlah kepada beta, guru,"

***

Maka setelah Permaisuri Merak pergi bersama Bambang Sejati, Arya Artha Penalukan I merancang sebuah invasi. Aliansi dibangun. Koalisi dengan beberapa kerajan kecil dilakukan. Tirani Bambang Sejati harus dihancurkan. Permaisuri Merak adalah alasan Arya Artha Panalukan I untuk menyerang Bambang Sejati. Dan itu adalah alasan yang dibesar-besarkan. Atas nama cinta, atas nama kesetiaan, atas nama bakti suami kepada istri. Atas nama harga diri, negeri Indra Jaya harus dihapuskan dari peta dunia, dan rajanya, Bambang Sejati harus ditangkap, hidup atau mati.

Demi kecintaan kepada raja, kepada negara, rakyat pun bersatu padu mendukung rencana Arya Artha Panalukan I untuk menyerang Indra Jaya. Genderang perang brubuh ditabuh. Wira Baradha dengan perkasa maju ke medan laga.

Selama 40 hari negeri Indra Jaya dibombardir dan dikepung oleh tentara dan senjata tentara gabungan yang dipimpin Arya Artha Panalukan I beserta jenderal perangnya yang sakti, Wira Baradha. Ribuan perwira gugur. Banyak pendekar tewas, banyak pula pendekar baru lahir dari perang itu. Bambang Sejati dilumpuhkan, diadili dan dihukum mati. Sementara rakyatnya diberi kesempatan untuk menggelar jajak pendapat. Walhasil, hampir segenap rakyat Indra Jaya menyerahkan nasib mereka kepada raja semesta baru: Arya Artha Panalukan I.

***

"Aku tidak bisa mengikuti ambisi Arya Artha Panalukan I. Tapi aku tak bisa juga melihat panji negeriku itu diremehkan orang. Benarlah kalau kepergianku dari istana semat-mata karena moralku sebagai satria bertentangan dengan baktiku kepada negara. Tapi adalah suatu kebenaran pula, bahwa tanggung jawab melindungi raja ada di pundak setiap rakyat yang mencintainya. Aku menolak kebijakan Arya Artha Panalukan I, Tapi aku mencintainya sebagai raja yang memimpin ribuan rakyat jelata," ujar Wira Baradha. "untuk itu, segenap kebenaran telah kusampikan secara satria. Mari, tuntaskan dendammu dengan melangkahi mayatku," ujar Wira Baradha sambil maju dan menghunus kerisnya.

"Bukan beta tak berbakti pada guru. Tapi ini untuk kebenaran yang harus disingkap dengan sebuah sikap. Maafkan beta, kalau kebenaran yang guru sampaikan akan menjadi alasan bagi beta untuk mencabut nyawa Anda,"

"Carilah kebenaran itu. Sebagai mana aku dan rajaku mencarinya," ujar Wira Bharada kembali sambil mulai menyerang.


***

Aku, Setya Arya Panalukan hadir ke dunia yang penuh dengan warna dan cahaya. Tapi, sembilan bulan dalam kegelapan di dalam rahim ibuku, adalah sungguh suatu pengalaman yang selalu kurindukan. Pencarianku akan kebenaran akhirnya mengantarkanku kepada kegelapan. Karena di tempat yang gelap aku bisa mendapatkan kebahagiaan dan kenyamanan. Dalam kegelapan, aku merasa tenang, tenteram, damai dan bahagia.

Aku tidak meminta tahta atau mempercepat proses kenaikan posisiku sebagai raja semesta baru, menggantikan Arya Artha Panalukan I. Aku menggugat kebenaran. Aku menggugat cinta semu yang dimilikinya kepada ibuku, Permaisuri Merak, perempuan malang yang meski pada akhirnya mendapat rehabilitasi nama baik dan kembali diboyong ke istana, namun tetaplah seorang perempuan korban keragu-raguan. Aku menggugat alasan penyerangan atas Indra Jaya. Aku menolak pengadilan terhadap Bambang Sejati. Dan oleh itu semua, aku masuk ke istana pada pagi buta, dan membabat batang leher suami ibuku.

Aku, Setya Arya Panalukan beberapa saat lalu, telah kutuntaskan pencarian seseorang terhadap kebenaran. Kuantarkan dia pada kegelapan yang paling abadi.

Aku Setya Arya Panalukan, sungguh tak pernah minta untuk dilahirkan. Terserah kalian mau sebut apa aku. Aku tak peduli.


Binjai, 5 Agustus 2010

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca