post image
KOMENTAR

BARANGKALI banyak yang belum sadar, manusia dari belahan 'bumi yang maju' itu banyak belajar dari kita (yang sering dicap) 'terbelakang' ini. Studi tentang bangsa lain sudah sejak lama dilakukan bangsa Eropa Barat. Jauh sebelum mereka meng-kolonialisasi. Sebelum dikoloni, dikenali dulu. Seperti sepasang manusia yang mau menikah, dikenali dulu baru dikeloni.

Dalam perbendaharaan kata bahasa Inggris, ada kata 'amock', kalau dibahasakan jadi 'amuk'. Konon katanya, orang Inggris dapat kata ini dari 'kita'. Mereka dapat kata 'amock' dari menyaksikan 'kita' (yang katanya) suka 'mengamuk'. Menurut mereka, 'amuk' terjadi saat massa irrasional dan tak terkendali merusak dengan liar. Tindakan tak terkontrol membabibuta.

Kenapa 'amuk' bisa terjadi?

Amuk muncul dari erupsi titik kulminasi teratas emosi manusia. Mengamuk karena endapan emosi tak mampu lagi ditahan kaldera jiwa. Makanya ketika semua memuncak, manusia dikuasai amarah dan bertindak ganas. Amarah meluber kemana-mana. Tidak ada pertimbangan baik-buruk tindakan. Manusia membabibuta. Tidak perlu akal sehat lagi.

Orang-orang yang punya potensi 'amuk' biasanya suka brangasan. Membaca dan mencerna fenomena lebih pakai perasaan ketimbang pikiran. Tidak salah pakai perasaan. Tapi mesti diingat, perasaan itu memperoleh input data dari pikiran. Kemudian perasaan itu yang mengkonstruksi pola pikir. Sekilas tampak sama, tapi awas terjebak (!). Pikiran sebagai garda depan mesti dibiarkan terbuka agar perasaan mendapat asupan gizi yang sehat. Bukan sebaliknya, perasaan mengikat pikiran. Pikiran jadi beku karena tunduk pada emosi. Syukur kalau emosinya positif, coba kalau emosi sebaliknya?

Memori kerusuhan '98' masih membekas. Amuk sana-amuk sini. Sebagai peristiwa politik, arah wacananya kabur. Wacana simpang siur di tingkat elit. 'Orang atas' mulutnya berbusa-busa. 'Orang menengah ke bawah' sudah puas dengan jatah amuk sana-amuk sini. Amuk-amuk seperti nyamuk. Suka nekad hisap darah. Sekali tepuk, langsung keok, penyet dan muncrat. Sebagai peristiwa sosial, menyisakan traumatis. Syukur mau ambil hikmah dari kejadian. Kohesi dan jiwa sosialnya sembuh.

Keadaan bisa dirubah tanpa amuk-amukan. Pakai akal sehat dan perbuatan nyata. Kalau amuk-amukan yang rugi kita sendiri, saudara sendiri. Kalau sudah rugi, pasti ada yang untung. Para peneliti sosial-politik dari luar negeri untung. Karir akademik mereka terdongkrak. Hasil penelitiannya direferensi pemerintah mereka untuk mengelola negara dengan baik dan benar. Dikelola secara Pancasilais, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab".


*Praktisi Simbol & Meditasi

 

'Orang Kampus' Deadlock?

Sebelumnya

Absurditas "Kami Tidak Takut"

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel TaraTarot