post image
KOMENTAR
LELAKI itu tak menemukan apa-apa selain apa yang tak diharapkannya. Dia tiba juga pada suatu kesempatan yang paling ditakutkan….

Angin lembab bertiup sembab. Berkelindan membungkus tubuhnya yang kuyub karena keringat. Sepanjang hari dia berjalan, menapaki kisaran waktu-waktu silam, kenangan kanak-kanak yang menempel pada kerak-kerak harapan. Lelaki  itu tiba juga di kampungnya, sebuah tempat yang paling dirindukannya. Sepuluh tahun menghilang dan dia telah menemukan kekosongan.

Dia takjub dengan keadaan ketika tak ada seorang pun dari penduduk desanya menyapa layaknya dahulu kala kerap dia dengar teriakan "Saiman… Saiman.. jangan berjalan sendirian…" Kini siapapun yang berpapasan dengannya di jalan hanya menoleh sejenak, memandang dalam-dalam dan penuh pertanyaan. "Ini aku, Saiman. Anak lugu dan lucu yang menghilang bersama dendam kemiskinan itu.." ingin sekali dia teriakkan kalimat itu setiap bertemu dengan orang kampung. Namun agaknya Saiman tak sanggup. Dia terlalu malu untuk mengangkat wajah dan membusungkan dada. Sepuluh tahun menghilang dan yang dia temukan hanyalah setumpuk penyesalan harapan.

"Sejak kepergianmu, semua remaja satu per satu pergi. Kampung kita menjadi begitu sepi oleh nyanyian anak-anak. Tak ada lagi tarian Indian di malam purnama raya. Tak ada lagi yang berlarian menggiring angin dan melepas layangan di udara," ujar Wak Leman sambil mengepulkan kekecewaannya bersama asap rokok. Saiman khusu mendengarkan, sementara rembulan di langit kian menyempit. Awan bergelung berhimpit. Suara pungguk pelan-pelan meredam. "jadi mengapa kau kembali? Apa yang akan kau lakukan di desa ini? Bukankah dulu kau yang memulai dan mendahului pergi? Lihat, akibat mimpi-mimpimu yang kau tularkan itu, sekarang sudah tak ada lagi pemuda di kampung kita. Semua mengikutimu, ke kota, menjadi gembel. Gembel sepertimu!" lanjut Wak Leman yang tak lagi dapat menahan geram.

"Entahlah Wak, aku pun tak tahu. Aku tak tahu..." jawab Saiman sambil beranjak pergi meninggalkan kediaman Wak Leman, ayah Sueb, teman karibnya yang kini menghilang di belantara ibukota.

Menjelang subuh, pemuda kampung yang berharap banyak dari mimpi-mimpi itu tak dapat tidur untuk meneruskan mimpinya. Galau bergelayut di pikirannya. Dia tak bisa menerima penghakiman yang telah diberikan Wak Leman. Saiman mencoba melawan cara pandang orang tua itu dengan cara pandangnya sendiri. Namun cara pandang yang seperti apa? Cara pandang yang mengenyampingkan logika dan membicarakan kehendak dan kehendak melulu? Benarlah, bahwa hak semua manusia melakukan apa saja untuk meneruskan kehidupan. Termasuk ke kota dan menggantang cita-cita di sana. Benarlah bahwa semua orang berhak menjadi kaya dan hidup  berlimpah-limpah. Benar dan itu semua benar. Namun, ketika semua remaja memiliki cara pandang seperti Saiman, apa jadinya kampung? Saiman menutup wajahnya dengan bantal. Dia menyadari kekeliruannya. "Aku sangka, pada suatu ketika nanti, aku pulang dan menemukan kampungku sudah berjaya. Tapi, yang kutemukan adalah sebaliknya. Apa yang bisa dilakukan orang-orang tua untuk bergerak memajukan kampung, meretas kutuk kemiskinan dan menolak takdir kepapaan. Tak ada apa-apa, tak ada siapa-siapa di ibukota! Bahkan untuk menemukan Sueb pun aku tak bisa!" sesal Saiman. Dia tak tahu harus dengan cara apa dia menghapus rasa bersalahnya. Tapi kini Saiman tahu bagaimana caranya menemukan Sueb. Saiman bangkit, beranjak dari ranjang bambu yang hanya dilapisi sarung, kemudian bergegas menyambar kaos singletnya. Saiman pergi ke sumur dan mencelupkan tangannya ke air di dalam timba. Subuh akhirnya mampir juga di kampung kami.

Fajar kemerah-merahan muncul dengan penuh kemalu-maluan. Saiman masih membelalakkan matanya yang merah karena marah. Disambarnya golok yang terselip di dinding tepas dapurnya. Kemudian berangkat dengan penuh semangat ke rumah Wak Leman….

"Saiman… Saiman.. jangan berjalan sendirian.." Namun Saiman tak mendengarkan teriakan emaknya. Dipacunya langkahnya dengan penuh gegap gempita. Disongsongnya takdir dan keharusan sejarah.

"Jadi kau mau membuka hutan di balik bukit itu?" sidik Wak Leman sambil menyeruput kopinya.
"Iya Wak, kita sediakan lahan dan  pemukiman baru untuk pendatang"
"Untuk pendatang ya?"
"Sekalian untuk yang pulang, Wak"

Wak Leman tersenyum kecut. Sejurus dia berkata "Aku sudah tua, tenagaku sudah tak ada. Kurasa-rasa, begitu pula orang-orang tua yang lain. Untuk mengurus sawahnya sendiri, mereka pun tak kuasa. Coba kalau para pemuda itu ada…"

Saiman merasa kembali terpukul oleh kata-kata Wak Leman yang menyudutkannya. Tapi, dengan penuh keinsyafan, dia mencoba paham, dan berdamai dengan apapun yang keluar dari mulut orang tua yang terus dimamah kecewa itu.

***
Siang menggerayang. Sinarnya membakar tubuh kering Saiman. Saiman mulai kelelahan untuk meneruskan jalan menuju hutan di balik bukit. Sementara Wak Leman yang sudah renta itu sudah sejak tadi berpisah dengannya. Di pertigaan, ujung perladangan dan pemukiman. Di bawah beringin yang rindang Saiman duduk sejenak melepas penat dan kantuk yang sudah menyerang selintas lalu meneruskan kembali melanjutkan tekatnya yang bulat: lahan baru, pemukiman baru atau menghilang selamanya dimakan hewan atau hantu.

***
Menjelang tengah malam, pemuda yang bercita-cita menjadi seniman  itu tiba juga di tengah-tengah belantara rimba. Dihempaskannya perbekalan dan peralatan ke atas sebongkah batu. Saiman menancapkan obor, untuk kemudian membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan kain sarung. Dia terlelap, mendengkur. Dengkurnya menambah ramai suara-suara malam di tengah hutan.

***
"Saiman… Saiman.. jangan berjalan sendirian.."
"Sudahlah, kau pulang saja Sueb. Bantu Wak Leman menggarap sawah,"
"Tidak, aku mau ikut kau. Aku juga mau kaya. Aku sudah tak betah dengan kemiskinan yang kuderita. Aku menolak keadaan yang diyakini orang kampung sebagai takdir Tuhan! Aku ikut kau, Saiman!"
"Tak ada apa-apa di sana untuk orang yang sepanjang hidupnya hanya bisa memegang cangkul dan penggali lubang,"
"Aku bisa melakukan hal lain, apa saja,"
"Misalnya?"
"Memainkan pisau dan kapak"
"Itu sih keahlianmu di kampung. Di kota tidak diperlukan keahlian macam itu. Kalau pun ada, ya rampok lah namanya,"
"Kalau begitu aku mau jadi itu,"
"Jadi apa?"
"Jadi apa seperti katamu…"
Samar-samar bayangan Sueb memudar. Saiman terus memanggil Sueb, memeringatkannya  untuk segera pulang ke kampung. Tapi bayangan Sueb kian buyar. Saiman membuka mata. Dia ingat peristiwa itu adalah kali terakhir dia bertatap muka dengan Sueb, di sebuah persimpangan di belantara ibukota.

***
Usai meneguk kopi panas yang dibuatnya, Saiman kemudian membuka bungkusan peralatan. Cangkul, golok, arit, palu, linggis, pahat, dan batu asah. Pemuda yang tak kenal bangku sekolah itu mulai mengasah goloknya. Berlanjut ke arit, cangkul dan seterusnya pahat. Saiman mengasah dengan segala kekosongan rasa dan jiwa yang demikian ajaib. Dia merindukan masa remajanya yang terputus karena mengejar mimpi-mimpi yang ditawarkan sepotong iklan di koran. Dia merindukan berlari-larian, berkejaran di tegal persawahan. Dia merindukan tawa dan kisah-kisah Sueb mengenai Piramida di Ginza, Eiffel, Tembok China, menara Piaza. Mengenai tempat-tempat yang hanya bisa dikunjunginya di dalam cerita orang-orang melalui Sueb.
"Walau kita tak sanggup sekolah, tapi kita pasti bisa ke tempat-tempat itu," ujar Sueb suatu waktu
"Caranya?"
"Jadi kaya,"
"Gila!"
"Cuma orang gila yang tak mau kaya, aku cukup waras, kawan,"
"Dari mana kau dapat cerita-cerita dosa itu?"
"Mendengar orang membaca koran,"
"Mendengar orang?"
Sueb mengangguk. Senyum mengembang dari mulutnya yang lebar. Sementara kelebat bayangan Sueb bergentayangan mengisi hutan, Saiman terus menganyam pola-pola. Dia mulai memecah bongkah batu, membuat patron kemudian dengan lihai memainkan pahatnya.

"Kau akan pulang. bersama Karto, Ilyas, Maun dan kawan-kawan kita yang lainnya. Aku pastikan itu. Aku bertaruh untuk itu,"
"Kau saja yang pulang. tak ada yang bisa diharapkan dari kampung miskin, dengan hama manusia yang berkembang biak subur menjamur. Aku tak mau terus diinjak. Kau sendiri yang bilang, kita harus melawan tengkulak!"
"Iya tapi bukan lari ke ibukota caranya,"
"Lantas apa yang harus kita lakukan? Lagi pula aku ingin sekali ke Piramida, melihat dan memaki langsung firaun yang telah menularkan penyakitnya,"
"Gila!"
"Cuma orang gila yang tak punya kehendak untuk melawan,"
"Dari mana kau punya cara pandang seperti itu?"
"Mendengar orang berdebat di warung kopi,"
"Mendengar orang?"
Sueb mengangguk. Senyum mengembang dari mulutnya yang lebar. Sementara kelebat bayangan Sueb bergentayangan mengisi ingatan, Saiman terus memahat batu membentuk sesuatu."Kau akan pulang. bersama Karto, Ilyas, Maun dan kawan-kawan kita yang lainnya. Aku pastikan itu. Aku bertaruh untuk itu. Kau akan pulang Sueb!" teriak Saiman kepada hutan yang tiga hari belakangan dengan tertib telah menjaganya dari mimpi-mimpi ibukota.
"Harus kunamai apa patung ini? Harus kuberi nama apa tempat ini?" namun bayangan Sueb tak lagi  muncul memecahkan teka-teki Saiman.

***
Kabar terus beredar. Menembus ruang menembus waktu. Menembus batas-batas akal dan nalar. Menyambar-nyambar, mengampar-ampar. Tak ada yang bisa membendungnya. Cerita menyusup masuk ke dalam tahun-tahun yang perlahan berubah seiring perubahan ekonomi di kampung kami ke arah yang menjanjikan. Bersambung dari mulut ke mulut. Terdengar dari telinga ke telinga. Membentuk sebuah citra yang nyata: rupiah dan rupiah.

Sejak penemuan patung dewi matahari di tengah belantara halimun, kampung kami perlahan bangkit dari keterpurukan dan keputusasaan. Tak ada kesulitan pangan karena musim alam. Karena sekarang kesulitan ditentukan kalender dan jadwal liburan. Warga berbondong-bondong menyambut baik cerita yang berpangkal entah dari mulut siapa. "...namun kira-kira beginilah dongengnya," begitu para guide biasa mulai membuka kisahnya.

Tengkulak mati angin, karena petani kini telah mennggantung cangkul. Untuk bertahan hidup para drakula itu bermetamorfosis menjadi monster yang lebih menyeramkan lagi.

Satu dua pendatang mulai berdatangan, mendirikan hunian, penginapan, vila, bungalow, kafe, rumah makan, seketika area persawahan disulap menjadi halaman parkir. Rumah produksi berdiri di sana-sini. Warga rebutan rejeki. Saling silang sikut menyikut. Tepa selira hanya panji usang yang dilipat rapi di dalam lemari. Cerita baru ditegakkan, cerita lama dibungkam. Pemodal ibu kota berjamaah mengkapling tanah-tanah kami. Dalam tempo sepuluh tahun. Ya sepuluh tahun, kampung kami sudah menjadi tong sampah segala kotoran. Mulai dari kantong plastik, sampai kondom bekas bertebaran di jalan-jalan. Kampung kami begitu membanggakan, fantasis. Seperti cerita Saiman.

Sejak kampung kami menjadi kantong sampah segala kotoran, konon Saiman tak pernah lagi memunculkan batang hidungnya. Kabar yang kudengar, dia malu atas usahanya itu. Tapi ada juga kabar yang kudengarkalau saat ini dia sedang mendapat proyek untuk memahat Semeru, lantas mengarang sebuah cerita yang kelak bisa mendatangkan dolar. Namun, apapun kabar itu, tetaplah sebuah kabar yang simpang siur seliweran terdengar.

Suatu hari, sejak kampung kami menjadi kantong sampah orang-orang kota, lelaki itu singgah di kafe tempat aku bekerja mencari rupiah. Sebuah kafe yang pemiliknya adalah orang luar daerah. Kepadaku dia berkisah.
"Berubah!" Seperti orang bingung lelaki itu berkali-kali menunjukkan rasa kagumnya. "Berubah!"
"Dulu di sana ada pertigaan," ujar dia sambil menunjukkanku pada sebuah arah. "ke selatan persawahan, ke barat pemukiman, ke utara menuju hutan. Tapi sekarang papan iklan bertahta dengan megah. Di tepi kali itu ada sebatang pohon beringin, dangau bagi petani dan anak-anak angon. Dulu, ketika Karto, Ilyas, Maun, Saiman dan aku, seusia kau, kami habiskan senja dengan cerita dan cita-cita. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Betapa senangnya aku, andaikan kawanku-kawan sepermainanku dulu tahu…" ujar dia sambil membayar bill. Seraya menepuk perutnya yang gendut, lelaki itu kemudian bertanya padaku tentang suatu alamat.
"Wah maaf pak, sejak saya lahir, saya tak pernah tahu kalau daerah itu bernama seperti yang bapak maksud," kataku menjawab pertanyaanya. Dia mengangguk dan memandangiku beberapa lama. "kau asli pribumi, anak muda? Maksudku benar-benar dari kampung ini?" tanya dia lepas lalu. Aku mengangguk malu. Dia mengernyitkan dahi sambil mengangkat bahu. "Ibu saya asli orang sini, ayah saya datang dari kampung sebelah. Yang penting masih Indonesia," kataku mencoba berseloroh. Dia tersenyum lantas tertawa. "Betul kau, yang penting masih Indonesia," sambung dia. "Baiklah," akhirnya dia menutup pembicaraan. "kalau begitu aku mau menyambangi beberapa teman kecilku dulu, barang kali mereka sudah beranak pinak sekarang," sambung dia sambil mengambil geretan dan membakar cerutu kuba yang sejak tadi menempel di mulutnya yang lebar. Dia bangkit dan menarik  celana kenes dan distrika rapi, yang kedodoran. "Aku pulang, Aku pulang.." bisiknya lantas disambung dengan tawa.

Lelaki itu melangkah dengan gagah meninggalkan kafe tempat aku bekerja. Kusidik dia, barangkali dia hanya tamu yang numpang singgah untuk memberi sumbangan sampah di kampung kami, barangkali dia calon penguasa baru di kampung kami, barangkali pula dia memang orang sini. Asli pemuda kampung kami yang dulu menghilang. Bersama Saiman, kemudian datang kembali untuk mengambil bagian. Barangkali. Barang kali nanti bila dia memang mencari seseorang di sini dan tak menemukannya, dia akan kembali begitu saja pergi, menghilang, seperti Saiman yang menurut kabar yang beredar telah menghilang. Yah, seperti kabar tentang Saiman yang menghilang, kalau aku tak salah dengar.

"Saiman! Saiman! jangan berjalan sendirian..."

Bandung, 26 Januari 2007

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca