post image
KOMENTAR
NEGERI ini dikelilingi gunung berapi aktif dan (katanya) termasuk paling banyak di dunia. Kita bahkan berada di ring of fire atau 'cincin api' yang diapit oleh pertemuan empat lempeng tektonik (lempeng Asia, Australia, Samudra Hindia, dan Samudra Pasifik).

Kondisi geografis ini membuat kita rentan mengalami peristiwa letusan gunung berapi dan gempa bumi. Ini karena lempeng tektonik atau patahan bumi terus bergerak dan bergeser. Keberadaan alam seperti ini mesti disadari terus menerus agar tidak kelabakan mengelola penanganan kemanusiaan saat siklus alam itu terjadi. Alih-alih bencana alam yang terjadi justru 'bencana manusia' karena lalai memahami alam sendiri.

Kemarin, beberapa hari lalu, saya dapat kesempatan baik berdiskusi dengan Irwansyah Oemar Harahap, seorang seniman kelas dunia yang berdomisili di Medan. Kami mendiskusikan banyak tema, dan saya bersama seorang teman lagi dapat oleh-oleh pengetahuan mencerahkan, tentunya.

Dari sekian banyak tema, secara pribadi, ada satu hal sangat menarik. Yaitu, ketika kami bertukar pendapat soal erupsi gunung Sinabung. Mulai dari peristiwa alamnya sampai pada penanganan manusia yang terkena dampaknya. Erupsi gunung Sinabung itu sebuah siklus alam yang bukan baru kali ini saja terjadi. Oleh karenanya, manusia yang tinggal di sekitarnya pasti punya pengetahuan kognitif untuk merespon peristiwa alam tersebut. Pengetahuan berwujud artifak (kebendaan) atau bisa jadi didokumentasikan lewat bentuk kebudayaan lainnya, seperti nyanyian, cerita rakyat, dan juga upacara ritual. Dewasa ini, hal semacam ini lazim dikenal sebagai kearifan lokal.

Di sela obrolan, sang seniman (dan guru saya ini), melontarkan satu pertanyaan imajinatif kepada kami. "Di kondisi seperti sekarang ini (erupsi Sinabung - pen.), kita (manusia) berdoa,'Oh, Sang Pencipta usaikanlah segera muntahan Sinabung agar kami dapat memulai lagi hidup seperti sedia kala.' Namun, di saat bersamaan pula, sang Sinabung memohon pula pada Sang Penciptanya,'Wahai Sang Pemilik, berikanlah aku waktu untuk menyembuhkan diriku. Berilah para manusia itu kesabaran. Bukankah selama ini aku telah memberi kebermanfaatan diriku bagi mereka. Maka, atas izinMu, biarlah kuselesaikan dulu siklusku sebagaimana memang diriku telah Engkau ciptakan.'"

Selanjutnya, kepada kami diberikan pertanyaan bernada reflektif,"Rief, seandainya saja doa dan permohonan itu ditujukan kepada dirimu, kira-kira doa mana yang akan engkau kabulkan?"

Saat mendapat pertanyaan yang terakhir ini, masing-masing kami langsung menjawab tanpa ragu. Tapi seperti apa jawaban beserta alasannya tidak usah dituliskan di sini. Setiap dari Anda yang membaca tulisan ini tentunya punya kemampuan untuk menjawab. Dan, seandainya, bila saja, kalau pun, kedua doa dari dua entitas (manusia dan gunung Sinabung) itu ditujukan kepada Anda, kira-kira permohonan manakah yang akan Anda kabulkan?[***]

Penulis adalah praktisi Simbol & Meditasi

'Orang Kampus' Deadlock?

Sebelumnya

Absurditas "Kami Tidak Takut"

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel TaraTarot