post image
KOMENTAR
DI tulisan kali ini, wacana saya yang belum utuh di diskusi kemarin mau dilanjutkan. Diskusi bertema "Masih Perlukah Pilkada?" yang diselenggarakan medanbagus.com di Jus Kuphi (Sabtu/13 Juni 2015). Narasumbernya dari KPU, akademisi, dan perwakilan organisasi mahasiswa. Pesertanya dari bermacam kelompok. Wartawan, aktifis mahasiswa, pengunjung biasa, bahkan pengurus parpol.

Sebagai peserta diskusi, jatah waktu bicara buat saya tinggal sedikit. Selain dapat urutan terakhir, ramai peserta diskusi lain mengajukan pertanyaan dan opini kepada para narasumber. Diskusi asyik dan menarik. Tak mengapa biar cuma kebagian di ujung acara. Saya masih bisa mengulasnya di kolom TaraTarot ini. Wah, syukurlah.

Dari judul acara, kita tentu paham konklusi macam apa yang diharapkan. Para narasumber menyampaikan pandangan masing-masing. Tak kalah seru, peserta diskusi berkomentar. Ada pula pernyataan bernada tajam ke arah narasumber. Wajar. Berdiskusi itu seperti lalu lintas jalan raya. Ragam jenis kendaraan bisa melintas. Menjadi tak wajar kalau kendaraan tak melintas di jalur dan diskusi tidak menuju ke arah tujuan. Itulah sebabnya dibuat rambu tematik,"Masih Perlukah Pilkada?"

Tetapi, dari sisi saya yang suka mengamati dari pojok sini, ada wacana dominan yang menarik. Atmosfer wacana yang menurut saya merepresentasikan atmosfer berpikir warga kota kebanyakan. Paling tidak, orang-orang yang hadir bukan sekedar 'warga biasa' tetapi para 'pemain garis depan' wacana kota. Wacana dominan yang mengemuka lebih kepada sisi personalitas calon walikota Medan ke depan. Disinggung pula dua mantan walikota sebelumnya yang berturut-turut jadi tersangka korupsi.

Menanggapi hal itu, saya katakan (kemarin), bahwa dua mantan walikota itu tak lain tak bukan cerminan warganya sendiri. Warga kota yang gemar abai aturan. Dari yang suka melawan arah sampai lampu 'merah' sebagai tanda berani (menerobos) di jalanan. Kebiasaan kecil tapi massif. Kebiasaan kecil tapi sulit diabaikan. Sebuah ironi dari jargon "Medan Kota Metropolitan".

Sebuah kota metropolis, pastinya, tak hanya diukur dari jenis bangunan atau volume kendaraan. Esensi kota lebih kepada tingkat keberadaban warganya. Bagaimana warga memandang dan mempraktikkan hukum dan etika berkehidupan. Seperti warga kelas satu di negara-kota Yunani kuno yang membedakan dirinya dari budak sebagai warga kelas dua.

Semestinya pula, warga kota punya perspektif menyeluruh soal ajang pemilihan kepala daerah. Apalagi bagi mereka yang suka mendengungkan kata 'demokrasi'. Demokrasi selayaknya diletakkan pada penguatan masyarakat sipil. Membangun aliansi bersama yang merumuskan visi kota yang paripurna. Memperkuat posisi tawar masyarakat di hadapan mafia politik. Bila ini terkondisikan, maka akan tercipta pola di masyarakat yang menyeleksi calon kepala daerah. Sekaligus pula akan ada pengawasan kepada kepala daerah yang menjabat. Minimal oleh para aktifis dan cendikiawan kota 'garis depan' dipandu kesepakatan visi bersama. Bukankah para narasumber dan para peserta diskusi kemarin adalah mereka yang punya kemampuan untuk melakukan itu?

Apapun itu, kota dan kita yang termasuk di dalamnya adalah sebuah arena simbolik. Setiap warga, bangunan, tata ruang, dan perangkat kota lainnya saling berinteraksi dalam komposisi simbolik. Setiap simbol itu bisa dibaca dan punya pesan masing-masing. Tak ubahnya kitab, kota Medan ialah sebuah kitab yang mesti dibaca dan dipahami oleh warganya. Seperti saya suka membaca salah satu halamannya,"Kluster kampus berjamur kafe hedonis." Ini kalau saya, bagaimana dengan Anda? [***]

*Praktisi simbol & meditasi

'Orang Kampus' Deadlock?

Sebelumnya

Absurditas "Kami Tidak Takut"

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel TaraTarot