post image
KOMENTAR
Proses liberalisasi Migas di Indonesia sudah berlangsung sejak lama tepatnya saat diberlakukannya  Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah merusak tatanan tata kelola Migas nasional saat ini kian mengkhawatirkan. Demikian disampaikan Jurubicara Forum Pemuda Kedaulatan Energi (FPKE), Muhamad Adnan Rarasina melalui surat elektronik kepada redaksi medanbagus.com, Senin (29/6/2015).

"Dari sisi ekonomi, liberalisasi ini begitu merugikan negara. Akibatnya, ketergantungan akan Minyak impor kian tinggi, harga Bahan Bakar Minyak melambung tinggi. Disisi lain, laju eksplorasi minyak tak pernah berhenti sementara penemuan akan cadangan minyak baru hingga kini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan," katanya.

Adnan menegaskan Gejala ini semakin diperparah setelah dibentuknya BP Migas atau kini menjelma menjadi SKK Migas. Menurunnya lifting minyak yang dulu era 90-an mencapai 1,7 juta barel/day dan kini hanya dikisaran 800 ribu barel/day merupakan fakta dimana eksistensi lembaga seperti SKK Migas tak patut dipertahankan, bahkan keinginan untuk membentuk Badan Usaha Khusus Migas hanyalah akal-akalan untuk melestarikan praktek liberalisasi sektor Migas nasional.

"Ini tak boleh dibiarkan. Negara tak boleh tunduk pada tangan-tangan jahat yang tak ingin Indonesia kuat dan mandiri dalam mengelola energi nasional," ungkapnya.

Menurut adnan yang sangat menyedihkan adalah sampai saat ini Pemerintah masih saja mempertahankan model pengelolaan sektor Migas yang salah kaprah dengan mempertahankan adanya lembaga seperti SKK Migas. Banyak yang tak sadar, akibat lemahnya posisi negara, karena menggunakan model Goverment to Bussines (G to B) dalam menjalankan praktek bisnis Migas, Indonesia menghadapi krisis energi nasional yang sudah begitu dirasakan masyarakat dampaknya. Lembaga yang mengatur tata kelola Migas telah terbukti gagal dalam membangun industri hulu Migas secara baik dan efektif. Dan lucunya, salah kaprah ini didiamkan begitu saja tanpa ada keinginan untuk menghentikannya.

Masalah lain yang patut dicermati dan menjadi tanya ialah soal pengambil-alihan Blok Mahakam yang semestinya 100% sahamnya diambil negara. Pemerintah dengan bangganya menyatakan bahwa hanya 70% saham pemerintah akan diserahkan kepada Pertamina di Blok Mahakam dan masih memberi jatah preman bagi TOTAL dan INPEX sebesar 30%.

"Sekali lagi, pemerintah yang diwakili Menteri BUMN terlihat lemah dan pengecut. Realitas Ini kian menunjukkan seolah-olah kita menjadi Hamba Sahaya kepentingan negara lain," beber adnan yang juga koordinator Indonesia Energi Watch (IEW) ini.

Berdasarkan kondisi tersebut, dengan penuh kesadaran kritis Forum Pemuda Kedaulatan Energi menuntut pemerintah agar  Pemerintah Harus Memberikan 100% Hak Mengelola Blok Mahakam Kepada Pertamina, Pemerintah dan DPR Harus Melanjutkan Revisi UU Migas Dengan Mencoret Opsi Pembentukan BUMN Khusus Migas Yang Hanya Akan Menimbulkan Persoalan Baru, Seluruh Blok Migas Yang Akan Habis Masa Kontraknya Harus Diserahkan Kepada Perusahaan Milik Negara.

"Tak Ada Tawar Menawar," demikian Adnan.[rgu]

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi