post image
KOMENTAR
TAK salah kalau instansi-instansi pemerintahan di kota Medan tak merayakan hari jadi kota Medan yang ke-425 (1 Juli 1590 - 1 Juli 2015). Tak salah kalau para pengusaha yang mengoperasikan bisnisnya di kota Medan ini tak merayakannya pula. Tentu saja tak salah kalau dunia kampus sepi wacana hari jadi kota. Lebih tak salah lagi kalau warga kota (yang katanya) metropolis ini minim yang merayakannya. Tak ada yang salah. Mereka semua benar. Ya, mereka benar. Benar-benar kelewatan parahnya!

Saya hampir sering berkeliling Indonesia. Melihat-lihat kota. Menikmati suasana pedesaan. Mengalami langsung ke-Indonesia-an saya. Beberapa kali bahkan saya merasakan sendiri atmosfer perayaan ulang tahun sebuah kota di Indonesia. Dipersiapkan jauh hari sebelum hari pelaksanaan perayaan. Unsur pemerintahan, pelaku bisnis, dan warga kota ramai mengadakan persiapan. Dari acara seremonial, karnaval budaya, sampai segala spanduk dan baliho menghiasi jalanan. Tak ketinggalan kelompok masyarakat non-mainstream juga ikut berpartisipasi.

Berbeda dengan kota Medan kali ini. Semuanya beraroma sepi dan abai. Dari jauh hari pun tak ada tanda-tanda persiapan. Bahkan di hari-H (Rabu 1 Juli 2015) pun pemerintah kota Medan sendiri terkesan menciutkan hari jadi kotanya. Ya, tentu saja dengan pengecualian acara kibot kecil-kecilan di rumah dinas walikota. Di sini, saya tunjuk langsung dan bertanya kepada walikota Medan, Drs. Zullmi Eldin, M.Si, dan Sekretaris Daerah, Ir.Syaiful Bahri Lubis, M.M, "Ada apa dengan Anda berdua Bapak yang terhormat lagi terdidik?"

Kalau dianalogikan, kota Medan itu seperti sebuah pohon. Akar pohon yang diletakkan Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi jelas tertancap di dalam tanah. Menumbuhkan batang yang kokoh sebagaimana kota hari ini. Rindang daunnya menaungi dan meneduhi. Sesekali dedaunan itu bisa diramu menjadi tawar penyembuh. Buahnya manis dan bisa dinikmati warga tetap dan tak tetap dari beragam latar belakang suku, agama, dan kebangsaan. Oksigen yang dihasilkannya bisa dihirup oleh manusia manapun yang ada di dekatnya. Pertanyaan selanjutnya adalah,"Kalau kita semua bisa merasakan dan menikmati manfaat sang pohon lantas mengapa tak merawat akarnya? Bukankah tanpa akar dan perawatannya pohon itu sendiri bisa hancur dan tumbang? Atau, apa memang itu maunya sekalian?"

Saya kira warga kota Medan perlu merefleksikan dirinya kembali. Bercermin diri. Menyadari sepenuhnya keberadaan dan mengenali tanah tempat berpijak. Tempat dimana ia mencari penghidupan, makan-minum, buang hajat, berinteraksi, dan merasakan suasana yang aman dan tentram. Semua itu tak terlepas dari fondasi awal yang menjadi akar kota ini. Hendaknya kita tak menjadi manusia yang tak tahu diri. Akibatnya bisa rugi sendiri. Bak kisah Sampuraga atau Si Malin Kundang anak durhaka sebab alam semesta raya punya cara sendiri. Andai saja kita tak lupa pribahasa,"Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Semoga saja.

Penulis adalah praktisi simbol & meditasi.

'Orang Kampus' Deadlock?

Sebelumnya

Absurditas "Kami Tidak Takut"

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel TaraTarot