post image
KOMENTAR
Sudah lama terkubur, pemerintah malah pengen membangkitkan pasal penghinaan terhadap presiden. Caranya, lewat pengajuan draf revisi KUHP yang diserahkan ke DPR, 5 Juni lalu. Heran, di zaman sulit seperti ini masih saja ada yang sempet memikirkan nama baik.

Dalam revisi KUHP ini, pasal penghinaan presiden diselipkan pada Pasal 263 ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

Sedang Pasal 264 mengatur ruang lingkup penghinaan itu berbunyi: "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".

DPR langsung bersikap keras dengan adanya pasal itu. Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin menyatakan pihaknya akan menolak usulan itu. Alasannya, pada 2006, Mahkamah Konstitusi sudah menganulir pasal itu.

"Sesuatu yang telah dibatalkan di MK tak bisa lagi untuk dibahas atau dihidupkan kembali dalam RUU yang baru. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat," tegas Aziz di Gedung DPR, kemarin.

Politisi Golkar ini setuju, martabat Presiden harus dijaga. Tapi, hal ini tak boleh membatasi hak masyarakat untuk berpendapat atau menyampaikan kritik. "Sebagai kepala negara dan pemerintahan, Presiden harus dilindungi undang-undang. Tetapi, dalam hal tertentu akan berimpit pada kebebasan dalam mengungkapkan pendapat," jelasnya.

Saat ini DPR sudah membentuk Panja untuk membahas draf revisi KUHP pemerintah itu. Namun, khusus untuk pasal penghinaan itu, Panja ogah membahasnya.

Eggy Sudjana, sebagai pihak yang menggugat pasal itu ke MK 2006 lalu, heran dengan sikap pemerintah sekarang. Jika pemerintah keukeuh mengajukan pasal itu, sama saja menarik demokrasi Indonesia ke zaman otoriter. "Kalau Jokowi mengajukan ini, bukan hanya mundur ke Orde Baru, ini kayak zaman penjajah," cetusnya.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengakui, walau sudah dianulir MK, pasal itu bisa dihidupkan kembali dengan catatan mengubah dari delik umum ke delik aduan. Namun begitu, tetap saja pasal itu akan kontroversial. "Yang jadi masalah bukan delik tapi pokok masalahnya. Sebenarnya apa sih yang dimaksud menghina itu? Apa mengkritik termasuk menghina? Kalau seperti itu yang dimaksud, bisa jadi ini pasal pamungkas yang digunakan pemerintah untuk membungkam dan menghabisi para pengkritiknya, termasuk media," jelasnya.

Menurut Margarito, pengajuan pasal itu jelas bertentangan dengan demokrasi dan reformasi yang digulirkan selama ini. Pasal ini bisa menjadi tameng pelindung saat pemerintahan tidak dijalankan dengan transparan.

"Maksud kita menghadirkan demokrasi itu adalah untuk pemerintahan yang akuntabel. Kalau mengkritik pemerintah supaya menjalankan roda pemerintah dengan demokrasi dianggap menghina Presiden, habislah kita," cetusnya.

Pemerintah keukeuh mengajukan pasal itu. Wapres Jusuf Kalla menyebut rencana ini sebagai sesuatu yang wajar. "Presiden kan kepala negara. Di mana pun di dunia ini, Presiden itu dihormati. Jadi, kalau memaki-maki atau menghina Presiden tentu fungsi pemerintahan juga terkena. Jadi wajar saja (pasal itu dihidupkan)," ucap JK, sapaan Jusuf Kalla, di Kantor Wapres, kemarin.

Namun JK tak mau bicara panjang kemungkinan pemberlakukan pasal itu. Dia mengajak semua pihak menunggu proses pembahasan di DPR. "Ini kan masuk KUHP baru. Nantilah kita lihat (proses di DPR)," imbuhnya.

PDIP sebagai parpol penyokong pemerintahan Jokowi-JK ikut memberikan pembelaan atas rencana menghidupkan kembali pasal itu.

Wasekjen PDIP Ahmad Basarah membantah, pasal penghinaan presiden merupakan usulan pemerintahan Jokowi. Menurut Basarah, usulan pasal ini sudah ada revisi KUHP diusulkan di zaman SBY. Namun karena berbagai alasan, revisi ini tak kunjung diselesaikan DPR.

Namun Basarah menjamin, pasal ini tidak akan menghalangi kebebasan berpendapat. "Yang paling penting adalah bagaimana pasal ini tidak dibiasakan dengan kebebasan mengkritik presiden/wapres atas kebijakannya," ujar Basarah. [hta/rmol]

KOMENTAR ANDA