post image
KOMENTAR
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Federasi Demokrasi Digital menagih janji pe­merintah untuk merevisi UU no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE).
 
Alasannya, Pasal 27 ayat 3 UU ITE masih digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi di dunia maya. Tercatat sampai saat ini ada 118 orang netizen yang dijerat pasal tersebut.

Koordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengkritik pemerintah yang tidak bisa memenuhi permintaan netizen untuk merevisi UU ITE. Pihaknya mencatat, sampai November 2015 sudah 118 orang yang dijerat pidana lewat Pasal 27 ayat 3 UU ITE.

"Pasal pencemaran nama baik di UU ITE sering digunakan untuk memenjarakan netizen. Ini jelas ancaman kebebasan berekspresi," katanya.

Damar menerangkan, penggunaan Pasal 27/3 tersebut tidak hanya digunakan untuk menjerat seseorang atas tuduhan pencemaran nama baik. Namun juga sering digunakan untuk balas dendam, barter kasus, dan shock therapy.

Dia mencontohkan, kasus kriminalisasi yang dialami netizen Rudy Lombok, yang menggunakan sosial media untuk mengkritik pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat, malah berakibat yang bersangkutan dilaporkan balik ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik.

"Sekarang Pasal 27/3 tersebut juga mengincar aktivis anti korupsi, orang yang mengkritik pemerintah, aktivis oposisi, media/jurnalis, hingga para whistle blower," ungkap Damar.

Dia melihat, pasal tersebut membuat para netizen merasa takut menggunakan sosial media karena takut dituntut. Selain itu, Surat Edaran (SE) Kapolri tentang Hate Speech juga mendorong orang untuk melaporkan pencemaran nama baik.

"Ini menambah kesemrawutan delik pencemaran nama baik. Apalagi tidak ada tanda UU ITE akan direvisi, semua elemen demokrasi akan terus terancam," tandasnya.

Anggota Paguyuban Korban Pasal 27/3 UU ITE, Furqan Ermansyah alias Rudy Lombok menuturkan, dia melontarkan kritik lewat Facebook karena melihat banyak kejanggalan dalam promosi pariwisata di provinsi NTB.

"Kritik itu malah membawa saya dijerat UU ITE. Undang undang ini sangat jahat karena kebenaran yang kita ungkap di dunia maya malah membuat kita yang dinyatakan salah," keluhnya.

Atas postingannya di Facebook tersebut, pada 11 Mei lalu Rudy ditangkap dan langsung dijadikan tersangka. "Saya sama sekali tidak tahu saya salah apa, tapi polisi bilang pokoknya kamu salah," ujarnya.

Seminggu kemudian Rudy dibebaskan, namun aparat kepolisian mengingatkannya bahwa sewaktu-waktu kasus tersebut bisa berlanjut. "Saya juga dijadi­kan tahanan kota. Padahal saya pekerja pariwisata yang sering keluar kota, ini sama saja dengan mematikan ekonomi saya," katanya.

Rudy menegaskan, dirinya tidak pernah bermaksud mencemarkan nama baik pejabat setempat, namun hanya me­nyampaikan kritikan terhadap kondisi di daerahnya. "Kasus ini membuat kami di NTB ketakutan sekali, setiap kali mau mengkritik kami terpikir, awas UU ITE," tandasnya.

Kepala Riset dan Pengembangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Asep Komaruddin menambahkan, sejak berlakunya UU ITE pada 2008, kasus-kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di dunia maya meningkat tajam.

"Kami sudah mengajukan judicial review Pasal 27/3 UU ITE ke MK, tapi ditolak karena mahkamah berpendapat tetap harus ada pengaturan pencema­ran nama baik di dunia maya," sebutnya.

Asep menilai, Pasal 27/3 tersebut multi interpretative, dimana banyak unsur pidana yang tidak dijelaskan lebih lanjut. "Berbeda dengan KUHP Pasal 310-311, sudah sangat detail dan ada pembagian jenis tindak pidananya hingga ada pasal pembelaan di mana seseorang tidak dapat dipidana jika untuk kepentingan publik," terangnya.

Asep menambahkan, UU ITE awalnya bertujuan mengatur e-commerce. Sementara pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang tidak ada dalam naskah akademik tiba-tiba masuk saat UU tersebut akan disahkan. "UU ITE semakin diperparah dengan adanya sank­si pidana sampai 6 tahun untuk mempermudah polisi melakukan penahanan," imbuhnya.

Pihaknya mendesak pemerintah serius merevisi UU ITE. "Kalau tidak mau cabut secara keseluruhan, pemerintah harus mencabut duplikasi pasal pidana pencemaran nama baik di KUHP dan UU ITE. Karena ada potensi over kriminalisasi. Kembalikan UU ITE untuk mengatur e-commerce dan tindak pidana khas dunia cyber bukan tin­dak pidana yang sudah ada di KUHP," tekannya.

Sementara peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Miftah Fadhli, menuturkan lewat UU ITE pemerintah melihat internet sebagai tempat kejadian tindak pidana baru, bukan tempat setiap orang bebas berekspresi.

Dia mencontohkan kasus Florence Sihombing yang dijerat Pasal 27/3 UU ITE atas pencemaran nama baik kota Yogjakarta. "Padahal pencemaran nama baik subjeknya per individu bukan ke kota atau suku," katanya.

Menurut Miftah, tahun ini, ada 41 kasus pencemaran nama baik yang dijerat dengan Pasal 27/3 UU ITE, dimana yang melapor­kan adalah orang yang kedudu­kan tinggi sementara yang dilaporkan adalah masyarakat awam yang kritik kinerja pejabat tersebut.

"Dengan merevisi UU ITE kita harus mendorong pemerin­tah mengubah cara pandangnya terhadap media maya," pungkas­nya. [hta/rmol]

 

KOMENTAR ANDA