post image
KOMENTAR
BEDA antara kata "buruh" dan "burung" bedanya tipis. Jika kita pandang ke arah esensial fisiknya, jelas perbedaan antara buruh dan burung ini. Coba alihkan pandang tadi ke arah persepsi esensial beban hidup, pasti ditemukan kesamaan pada keduanya.

Beban hidup buruh dan burung terasa kian sama, ditambah dengan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang tidak menentu. Bukan ingin menyamakan kodrat kelahiran buruh dan burung, kita sedang berbicara tentang dinamika kehidupan yang sedang dihadapi.

Buruh terpenjara di setiap pabrik-pabrik, mesti memuaskan keinginan bos pabrik. Bos-bos pabrik tak ingin kehilangan pangsa pasar, tak ingin para konsumen enggan memperkaya setiap bos pabrik. Jika tanggal 1 Mei hadir, akan kita lihat jalan-jalan disesaki perserikatan buruh.

 Tapi hasilnya sama saja, jalan sesak hanya dijadikan sebagai panggung untuk melampiaskan nafsu, bukan mengupayakan tersepakatinya sistem yang akan memerdekakan kehidupan setiap buruh. Hasilnya tetap sama, buruh dan burung tak ada bedanya, kenyang di dalam penjara pabrik dan tidak berhasrat untuk memerdekakan diri walau pintu terbuka lebar.

Lihatlah, apa bedanya dengan burung yang dihadapkan dengan dilema hidupnya. Pintu terbuka lebar mempersilahkan burung untuk terbang bebas. Namun burung tak pernah yakin, tak yakin kalau di alam bebas sana tetap sekenyang ketika dikandangkan.

Pada dasarnya, buruh memiliki semangat yang tak pernah hilang, namun juga tak pernah berkobar. Semangat buruh terpendam di bawah pabrik-pabrik tempat mereka bekerja. Dapat kita pahami, kenapa buruh tetap enggan memerdekakan diri walau pintu terbuka lebar. Semangatnya belum menyala.

Sampai kapan buruh tetap ikhlas disamakan dengan burung? Sampai kapan buruh benar-benar memunculkan semangatnya?
Peluang sudah ada, kendaraan sudah ada walau masih terpendam, pasti para buruh menunggu pemicu.  Setiap kemungkinan sudah mengarahkan kepada kemerdekaan para buruh. Tidak akan pernah bisa semangatnya dipicu oleh orang lain, semangat berjuang setiap makhluk hidup diproduksi oleh jiwanya.

Indonesia sedang mengeluarkan gejala-gejala yang berpotensi memperburuk kehidupan para buruh. Perusahaan-perusahaan besar mulai hengkang dan melakukan eksodus, pertanda PHK akan segera mengetuk jiwa dan raga para buruh.

Perusahaan-perusahaan besar itu hengkang bukan karena kesulitan mengenyangkan perut buruh di kemudian hari. Gaji-gaji yang mengenyangkan perut buruh tidak akan pernah membuat perusahaan multinasional jatuh bangkrut.
Lalu apa yang menjadi penyebabnya?

Daya konsumsi rakyat Indonesia mulai menurun, pasti juga disebabkan keadaan ekonomi Indonesia yang sedang kacau balau. Tak akan ada rakyat yang berani memngeluarkan simpanan hartanya untuk memenuhi kebutuhan sekunder.

 Bukan televisi canggih, handphone mewah, kendaraan mahal, dan kebutuhan sekunder lainnya yang dapat mempertahankan kemampuan fisik untuk tetap berdiri menyusuri jalan. Daya beli dan daya pikir setiap rakyat terkuras untuk mengupayakan terpenuhinya kebutuhan primer. Tarif listrik, bahan bakar minyak dan gas, sembako, dan kebutuhan primer lainnya sudah sangat mahal.

Keadaan ekonomi yang kacau ini menjadi senjata untuk menghujam mengkritisi kinerja pemerintah, hanya mereka yang dapat menetapkan kebijakan-kebijakan guna  menjadikan harga kebutuhan-kebutuhan rakyat menjadi stabil. Pemerintah kacau, mereka malah saling bertarung memperebutkan kekuasaan dan kepentingan.

Rakyat kembali ke kehidupan berabad-abad yang lalu, kehidupan yang wakil rakyatnya hanya menghisap darah dan keringat rakyat. Rakyat berpikir dan berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Buruh termasuk dalam bagian besar dari rakyat. Buruh lebih parah penderitaannya daripada rakyat non-buruh. Bukan hanya memikirkan dan memperjuangkan kebutuhannya sendiri, mereka juga di penjara di dalam ruang persegi yang menyengat panas dan menguras kemerdekaan.

Dengan melihat kenyataan bahwa buruh adalah salah satu bagian besar yang mewakili jumlah rakyat dan kemudian sebagian besar dari mereka akan dihadapkan dengan problema PHK, sudah dapat menjadi pemicu berkobarnya semangat memerdekakan diri dan keluar dari pintu penjara pabrik yang sudah menganga lebar.

Kalau sudah bisa menggunakan semangat itu, buruh tak boleh lagi mengeluarkan aksi yang hanya dapat memenuhi kepuasan nafsu, nafsu untuk sekedar mengenyangkan perut. Jadikan semangat itu sebagai cikal bakal terbitnya kemerdekaan.

Perjuangan dengan semangat untuk merdeka sudah menjadi bom waktu, dapat meledak kapanpun dan dimanapun. Kaum intektual, kalian juga tidak boleh hanya berdiam diri, jangan merdeka sendiri. Sambut semangat buruh untuk merdeka, bantu mereka merdeka.

Kodrat kelahiran para intelektual akan sama seperti burung jika membiarkan para buruh memperjuangkan sendiri kemerdekaannya. Kenalkan mereka, ajarkan, dan bantulah mereka untuk mandiri, mereka harus melepaskan ketergantungannya terhadap pihak dan sistem kapital.

Desakan pertanyaan sesungguhnya bukan ditujukan untuk para buruh, harusnya ditujukan untuk para intelektual, termasuk pemerintah.

Sampai kapan kalian biarkan para buruh serupa dengan burung dalam berjuang menjalani realita beban kehidupan?
Buruh tetap bagian dari rakyat, bagian dari Indonesia, mereka juga anak bangsa.

#NikmatnyaSeranganFajar     
 

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Serangan Fajar