post image
KOMENTAR
PUMALINCE ingin maju kembali menjadi kepala daerah. Tapi dia harus putar otak karena sudah tidak didukung partai pengusung periode sebelumnya.  

"Kalau begitu kamu harus membentuk relawan yang mendukung saya. Mulailah mengumpulkan KTP, sebab itu satu-satunya cara agar saya bisa maju kembali. Segera! Waktu kita tidak banyak," kata Pumalince pada orang kepercayaannya.
    
Sejak perintah itu, di mal-mal dan pusat keramaian berjamur boot atau stand relawan yang mendukung Pumalince. Tidak tanggung-tanggung kerja tim belakang layar Pumalince.

Disokong dana besar yang tak terbatas, para SPG dan SPB rokok yang terkenal cantik dan ganteng dibayar untuk menarik perhatian masyarakat. Setelah mereka tertarik, satu-satu KTP mereka dilucuti sebagai bentuk dukungan pada Pumalince. Orang-orang yang memberi KTP itu pun disebut "Kawan Lince".
***
   
Menjadi kepala daerah sebenarnya bukan cita-cita Pumalince. Ayahnyalah yang membuat Pumalince terjun ke dunia politik. Namun, ayah Pumalince bukan politikus. Ayahnya seorang pebisnis sukses yang terkenal jujur serta dermawan pada masyarakat di daerahnya. Makanya orang-orang di daerah Pumalince heran tatkala Pumalince menjadi kepala daerah. Bukan pengusaha mengikuti jejak ayahnya.

Seperti orang kebanyakan, Pumalince muda awalnya ingin menjadi dokter. Dia tergiur dengan kesuksesan adik ibunya yang paling bungsu sebagai dokter kandungan di ibu kota. Bagaimana tak tergiur menjadi dokter kandungan, mobil dan rumah pamannya di ibu kota sudah tidak terhitung lagi dengan sebelah jari tangan Pumalince. Belum apartemen dan rukonya yang berserak di mana-mana. Sungguh membuat Pumalince berdecak kagum pada profesi dokter kandungan. Tapi berkat dorongan kuat dari ayahnya, cita-cita menjadi dokter pun berubah menjadi kepala daerah.

"Kalau kau mau bermanfaat di dunia ini, jadilah kepala daerah. Tapi kepala daerah yang jujur, ikhlas dan bisa dipercaya. Jika tidak bisa seperti itu, jadi pedagang saja sepertiku!" kata Ayah Pumalince suatu kali. Sejak itu Pumalince pun masuk ke partai politik.

Awalnya Pumalince hanya anggota biasa di salah satu partai nasionalis di daerahnya. Tapi karena sifatnya yang penurut�"mau saja disuruh-suruh serta rajin mengerjakan semua perintah senior di partainya, karir politik Pumalince lancar bak jalan tol.
Pelan-pelan namun pasti. Satu demi satu jabatan penting di pegang Pumalince. Mulai dari wakil bendahara, bendahara, kemudian menjadi sekjen partai di dewan pimpinan daerah.

Meski karir politik Pumalince lancar bak jalan tol, tetapi ada yang janggal dari perilaku politik Pumalince. Kejanggalan ini tak lain karena sejak terjun ke dunia politik, Pumalince sudah tiga kali berganti partai politik. Namun tetap saja dia diterima dan plus karir yang mulus pula"seperti ada sesuatu pada dirinya. Karisma, atau…? Ah, masih samar-samar.

Terlepas dari kejanggalan itu, Pumalince tak perlu menunggu waktu lama untuk mewujudkan cita-citanya. Cukup lima tahun setelah terjun ke dunia politk, Pumalince sudah berhasil terpilih menjadi wakil rakyat di daerah tingkat dua. Kemudian menjadi wakil rakyat tingkat satu, bupati dan kini telah pula menjadi gubernur. Dan untuk menuju pucuk karir politiknya di negeri ini, Pumalince ingin memimpin satu periode lagi agar lebih lapang peluang.

Tapi rencana Pumalince untuk memimpin dua periode sepertinya mendapat tantangan yang tidak ringan. Soalnya, bersamaan dengan naiknya popularitas Pumalince yang dinilai berani dan tegas, muncul pula seorang tokoh yang tak kalah berani dan tegas seperti Pumalince. Bahkan tokoh tersebut dinilai lebih berprestasi membangun kota ketimbang Pumalince yang lebih banyak marah-marah dan copot sana copot sini.

"Jadi bagaimana hasil poling saat ini, Mahli?"
"Poling saat ini menunjukkan kalau Bapak hanya terpaut beberapa persen saja dari Bapak Nikeponce."
"Beberapa persen? Memang dia serius ingin maju juga menjadi gubernur?"
"Kalau dari sumber yang saya terima katanya tidak, Pak. Tapi apa Bapak masih percaya kalau orang yang mengatakan tidak itu benar-benar tidak mau? Buktinya saja Bapak sendiri."
"Hahaha…, ya, ya, ya."
¤ ¤ ¤
 
Pumalince tampak gelisah. Sudah tiga kali dia bolak-balik ke toilet. Dari dulu Pumalince memang selalu bermasalah dengan pencernaan kalau sedang menghadapi masalah besar. Lantas masalah besar apa yang membuat Pumalince seperti strika siang itu? Ah, itu juga masih samar-samar. Tapi yang jelas, siang itu Nikeponce akan mendeklarasikan kesediaannya menjadi calon gubernur di daerah yang Pumalince pimpin. Tak tangung-tanggung, hampir seluruh partai yang memiliki kursi di daerah tingkat satu mendukung Nikeponce.

O, pantaslah Pumalince menceret. Ternyata saingannya maju menjadi gubernur sudah start duluan dari dirinya.
Di tengah kegalauan Pumalince, ponselnya berdering. Tak lama terdengar suara berat dari seberang ponsel Pumalince.
"Halo, Lince."
"Ya, Pak."
"Bagaimana kondisi terkini relawan, Kawan Lince? Apa semua keperluan mereka sudah kamu penuhi?"
"Sudah, Pak. Bekal yang Bapak berikan masih sangat cukup. Kondisi terkini jumlah dukungan yang menjadi syarat sudah melebihi target. Tapi masalahnya, hari ini Nikeponce mendeklarasikan dirinya, Pak. Hampir semua partai mendukungnya. Saya sebenarnya tidak takut dengan partai-partai itu. Tapi Bapak sendiri kan tahu kalau Nikeponce juga kepala daerah yang populer seperti saya. Itu yang saya khawatirkan, Pak."
"Hahaha…, kamu ini seperti baru kenal saya saja. Kalau soal itu kamu tidak usah khawatir. Memangnya siapa yang selama ini memuluskan karir politikmu, Pumalince? Sudah, kamu fokus saja pada pekerjaanmu, soal yang lain sudah ada yang mengurus."
"Siap. Terima kasih, Pak."

Suara dari seberang ponsel Pumalince menghilang.
Seperti sudah mendapat kepastian, Pumalince pun menjadi lebih tenang. Dia tidak bolak-balik lagi ke toilet. Malahan semakin percaya diri.
¤ ¤ ¤

Pilkada serentak pun berlangsung. Singkat cerita, Pumalince dan pasangannya keluar sebagai pemenang. Semua memang di luar dugaan para pengamat. Partai pendukung Nikeponce berbalik arah menjelang hari pencoblosan. Entah angin apa yang membuat partai-partai itu tiba-tiba mendukung Pumalince. Ditambah lagi Nikeponce mendapat surat penetapan sebagai tersangka korupsi. Sontak nama Nikeponce menjadi buar bibir dan popularitasnya pun menurun drastis.

Benar ternyata janji seseorang yang berbicara dengan Pumalince melalui ponsel tempo hari. Pumalince mulus terpilih kembali. Bahkan dari jalur independen yang selama ini belum pernah seorang pun yang berhasil menjadi kepala daerah.
Namun setelah pelantikan, semua di luar perkiraan Pumalince. Orang yang menelepon Pumalince tempo hari kini mulai banyak permintaan di periode kedua Pumalince menjabat gubernur. Padahal di periode sebelumnya, bahkan saat Pumalince menjabat bupati dulu, seseorang itu sama sekali tidak pernah mengusik Pumalince.
Pumalince mulai merasa terganggu. Setiap kerjaannya seperti diawasi. Semua kebijakan harus mengikuti arahan dari seseorang itu. Padahal sebagai pemimpin seharusnya Pumalince mengikuti hati nurani, bukan keinginan seseorang. Saat itulah, pesan almarhum ayahnya kembali terngiang di kepalanya.

Tak tahan terus diintervensi, Pumalince balik melawan. Kini Pumalince sudah berani terang-terangan menolak semua permintaan seseorang itu.
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa memberikan izin. Itu sama saja saya menghianati rakyat yang memilih saya."
"Apa? Menghianati rakyat? Lantas ini bukan penghianatan?"
"Tidak, Pak. Sama sekali tidak!"
"Hahaha…, kamu ini lucu apa pura-pura lucu, Lince?"
"Saya serius, Pak. Sebaiknya Bapak segera pergi sebelum semuanya menjadi tidak terkontrol."
"O, kamu mengusir saya, Lince? Baiklah, saya akan pergi. Selamat tinggal."
Seseorang itu pun pergi meninggalkan ruangan Pumalince sambil membanting pintu. Untung para pegawai bawahan Pumalince sudah tidak ada. Pumalince memang sering pulang malam, bahkan bisa sampai menginap. Seperti hari itu, dia pun memutuskan tidur di kantornya, di balai kota.

Wajah Pumalince tampak lelah sekali. Menjadi gubernur memang memusingkan. Ditambah lagi peristiwa barusan. Tapi Pumalince tahu risikonya, termasuk pembangkangannya pada seseorang itu juga sudah dia perhitungkan konsekuensinya. Sejak awal, saat dia berhubungan dengan seseorang itu, Pumalince mahfum kalau persoalan balas budi bisa menjadi masalah dikemudian hari. Bahkan jika harus kehilangan nyawa sekalipun, Pumalince sudah siap.

Pumalince ingin membasuh mukanya. Namun belum selesai, terdengar suara orang menggedor dengan kasar. Buru-buru dia membasuhnya. Lalu berjalan cepat ke arah pintu. Tak sempat Pumalince membuka pintu, segerombolan orang yang memakai masker sudah duluan masuk ke dalam ruangan kerjanya.
"Selamat malam, Bapak Pumalince. Ini surat perintah kami, Pak."

Jakarta, 2016
 
ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Ia seorang fundraiser dan penggemar berat Chelsea Football Club. Beberapa cerpennya telah dimuat koran-koran, majalah dan antologi.

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca