post image
KOMENTAR
Simbol tidak lebih tinggi derajat takhtanya dari esensi. Berlaku untuk seluruh apa yang ada di alam semesta ini. Simbol yang mencoba lebih tinggi dari esensinya dapat dikatakan sebuah pengkhianatan.

Misalkan, seorang pejuang Indonesia yang tidak dapat dikatakan pejuang apabila hanya bambu runcing dan selembar kain berwarna merah putih. Ia harus memiliki prinsip fundamental tentang Indonesia, tentang republik, tentang bhineka tunggal ika.

Walaupun bambu runcing dan sepetak kain merah putih adalah simbol yang tersimbolkan, itu tidak bisa lebih tinggi dari esensi keindonesiaan yang selalu berbicara tentang republik dan bhineka tunggal ika lalu dikenal sebagai Pancasila.

Begitu juga jika berbicara tentang kemanusiaan, pecahan simbol-simbol kemanusiaan yang terpatri di berbagai lambang dan bendera berbagai negara tidak boleh berada di atas kemanusiaan universal. Begitu seterusnya sampai kepada pecahan ras, etnis, agama, hingga pandangan politik.

Jika ingin berbicara tentang kemanusiaan, maka tidak sedang berbicara tentang aku, kamu, dia, atau mereka. Tetapi sedang berbicara tentang seluruh manusia di muka bumi ini!

Alangkah lucu dan konyol jika ingin berbicara kemanusiaan tapi malah memonopoli nilai kemanusiaan berdasarkan hasrat dan nafsu sudut pandang pribadi.

Manusia, diorientasikan oleh Sang Maha Pencipta yang entah berada dimana hanya untuk saling bersama dan bersatu di antara setiap bilik perbedaan demi terciptanya peradaban sempurna. Peradaban yang di dalamnya terdapat manusia-manusia teratur tanpa harus ada manusia lain yang mengatur, meciptakan sebuah tatanan surga.

Jarak fisik yang jauh antara manusia dengan Maha Pencipta ini yang sepertinya menjadikan manusia memiliki disorientasi atas peradaban untuk waktu yang sementara. Namun sementara ini yang tidak dapat dipastikan kapan ujungnya, seperti tidak mampunya manusia mencapai ujung alam semesta dan benar-benar berlutut di depan fisik Maha Pencipta.

Disorientasi atas peradaban pada manusia akhirnya menjadikan manusia memiliki versi masing-masing untuk menentukan takaran dari nilai kemanusiaan. Kelompok manusia yang di sini mengatakan versi merekalah yang benar-benar dapat menjadi tolak ukur kemanusiaan, begitu sebaliknya dibuat oleh kelompok manusia yang ada di seberang sana. Akhirnya setiap kelompok manusia saling berusaha tanpa penat memonopoli nilai kemanusiaan, terlantar lah misi menuju peradaban sempurna itu.

Sumatera Timur 1946 adalah salah satu tempat terjadinya tarik-menarik penentuan tolak ukur nilai kemanusiaan, terjadi polarisasi kemanusiaan.   Ada dua kutub yang saling berseberangan, kaum bangsawan dan pejuang republikan.

Saat 1946 itu, tidak terjadi perdebatan tentang tolak ukur nilai kemanusiaan. Revolusi sosial terasa terjadi begitu saja, menyisihkan nilai kemanusiaan menurut versi mereka masing-masing demi memperjuangkan sebidang tanah.

Polarisasi kemanusiaan justru terjadi di sepanjang rentan waktu 1946 hingga 2016. Pada 1946, kaum republikan atas dasar anti feodalisme yang dinilai melanggar nilai kemanusiaan melakukan revolusi sosial menentang para sultan, bangsawan.

Apakah monopoli atas tanah dan keringat setiap manusia jelata tidak melanggar nilai kemanusiaan?

Sesuatu yang dikenal sebagai feodalisme ini bisa mendapatkan keuntungan dan kekuasaan dari hasil tanah-tanah yang bukan hasil keringat mereka. Tak cukup sampai di situ, tak cukup dipaksa mengeluarkan keringat tanpa imbalan yang layak, cambukan-cambukan yang menjadikan para penghasil tanah ini duduk sama rata dengan kerbau yang sedang membajak sawah.

Itukah kemanusiaan?

Tentu saja bukan, manusia diciptakan dengan potensi di dalamnya. Tanah diciptakan tidak disertai sertifikat hak tanah untuk seseorang dari Tuhan. Semua manusia berhak memiliki dan menikmati hasil tanah asalkan mereka mampu mengupayakan kucuran keringat yang keluar dari seluruh pori-porinya. Kemanusiaan bukan perbudakan.

Maka pada saat itu, kelompok manusia yang sedang memonopoli nilai kemanusiaan pergi keluar dari pintu strateginya bergerak ke seluruh penjuru Sumatera Timur. Mencari setiap raja-raja bangsawan kemudian menculik dan memenggalnya.

Tentunya itu juga tidak bisa dikatakan tidak melanggar nilai kemanusiaan walau didasari oleh penentangan terhadap pelanggaran nilai kemanusiaan. Bukankah kebaikan tidak bisa dilakukan dengan cara jahat?

Tentunya sudah dapat ternilai siapa-siapa saja yang baru dibicarakan. Setelah berbicara tentang 1946, maka beranjak ke 2016 yang katanya sudah modern.

Ternyata label era modern ini adalah kata-kata palsu, manusia tetap pongah. Memonopoli nilai kemanusiaan untuk kemungkinan-kemungkinan adanya kepentingan yang tersembunyi dari sumpah serapahnya.

Suatu kelompok manusia di 2016 ini mengatakan bahwa mereka ingin memperjuangkan kebenaran dan nilai kemanusiaan. Dikatakannya bahwa pemenggalan leluhurnya di revolusi sosial Sumatera Timur 1946 adalah perbuatan yang melanggar nilai kemanusiaan, tentu saja dengan disimpannya kenyataan bahwa perbuatan feodalisme yang dilakukan leluhurnya juga termasuk melanggar nilai kemanusiaan.

Sama seperti konflik-konflik antar saudara setanah dan seair yang terjadi di dataran Nusantara ini, tak ada yang mutlak dapat dikatakan benar dan tidak ada pula yang mutlak dapat dikatakan salah. Setiap kelompok memiliki salah dan benarnya.

Arifkah jika di era yang katanya modern ini masih juga ada yang berupaya memonopoli nilai kemanusiaan?

Tanah yang sudah damai dari konflik berdarah, biarlah damai. Tidak perlu mencungkil luka-luka terpendam yang dapat membangkitkan amukan seorang militan perkasa.

Jika di hari-hari lusa tetap muncul sekelompok manusia yang ingin memperjuangkan nilai kemanusiaan, ingat-ingat kata bung Pram, “Berpikir adil sejak dalam pikiran”.

Adil saja, maka semua akan baik. Perjuangkan nilai kemanusiaan yang berstandar universal. Anak cucu butuh atmosfer peradaban Indonesia yang lebih ramah dan subur dibandingkan hari ini.

Kalau mau menghakimi pelanggaran nilai kemanusiaan oleh sekelompok manusia lain, maka juga harus siap dihakimi atas pelanggaran nilai kemanusiaan yang telah kita buat, baik sadar maupun tidak!

Revolusi sosial Sumatera Timur 1946, romantis bukan?
 
#NikmatnyaSeranganFajar

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Serangan Fajar