post image
KOMENTAR
MALAM itu aku mendapat kesempatan untuk pergi sejenak meninggalkan kota kelahiran, kota Medan. Kota yang sebenarnya juga pantas diberi julukan sebagai kota perjuangan. Medan ku tinggalkan dalam keadaan yang sedang gonjang-ganjing, berbagai kelompok bertarung  mempertaruhkan identitas, tak mengapa jika suatu saat terjadi 'cakar-cakaran'. Katanya demi Medan jadi lebih baik, tapi ingat loh, itu masih katanya.

Tiket menuju Blora, Jawa Tengah telah menyelip diantara genggaman tangan kananku, siap untuk ditukarkan menjadi bangku empuk yang dapat dibawa terbang. Alamak, langit tak sampai berganti kulit aku sudah tiba di tujuan. Masih saja malam yang menyambutku di Blora, sekilas tampak tidak ada bedanya dengan di Medan. 

Prass, seorang sahabat yang telah menunggu di Blora langsung membawaku ke sebuah rumah yang menurut pengakuannya, tempat itu memiliki nilai sejarah yang tinggi. Rumah itu adalah rumah kakeknya. Rumah tua bertingkat dua dengan pagar berhias karatan menjadi bukti awal bahwa rumah ini memang punya sejarah. Masuk ke dalam rumah, benda-benda mati warisan orde lama dan orde baru terlihat kompak menyapaku dengan nyanyian bisunya. Semakin terlihat tanda-tanda kesejarahan di sini. Tapi kemudian hatiku berkata,"kalau hanya rumah tua dan benda-benda peninggalan orde lama atau orde baru, di Medan juga masih mudah ditemukan, bukan sesuatu yang luar biasa". 

Hati yang berkata tadi hampir membimbing tubuh ini untuk menyerah mencari nilai kesejarahan yang spesial. Mata ikut-ikutan latah menggoda seluruh organ tubuh untuk beristirahat. Belum sempat ku tanyakan dimana tubuh ini bisa berbaring, segelas kopi dan sebungkus rokok tiba-tiba sudah tersedia di sebuah meja kerja yang dibelakangya terdapat tumpukan buku-buku usang. Nasib sial untuk nafsu tidurku, mesti tertahan sejenak demi rasa segan yang tidak dapat dibendung lagi, alih-alih aku sedang bertamu. Dengan mata sayu dan tubuh yang sudah layu ini, aku ladeni sesajian yang telah dibuatkan Prass. "Ini rokok untuk dihisap, kopi untuk diminum, jangan malu-malu, santap sepuasnya, tidak ada calon istrimu di sini," kata Prass tanpa empati kepadaku yang sudah ingin bersenggama dengan kasur.

Hangatnya kopi masih terasa di dinding gelas. Aromanya yang memang sangat ku senangi memaksa masuk ke kedua lubang hidungku. Irama pekat nikmatnya kopi dan rokok bergantian memeluk lidah. Kami memang sama-sama penggemar kopi dan rokok. Selain menggemari kedua hal yang dibenci calon istriku itu, kami juga gemar hidup bebas, dinamis, berontak dan hal-hal popoler di kalangan aktivis lainnya. Dia bertanya padaku tentang bagaimana semangat menyambut hari kebangkitan nasional di Medan. Malu-malu aku berkata padanya,"Payah aku bilangnya, Medan seperti tidak lagi memiliki spirit. Yang muda asik dengan onani-onaninya mulai dari onani biologis hingga onani ideologis. Yang tua asik berebut eksistensi, melihat masalah hanya dari kesenangan subjektifnya belaka, tidak pernah mencoba secara bersama-sama mengembalikan Medan menjadi kota yang memiliki nilai sejarah, perjuangan, dan spiritual tinggi".

Prass tertawa terbahak-bahak mendengar curhat dadakanku sembari mengangkat tubuh cungkringnya dari kursi. Rambut keriting sebahu Prass mengayun mengikuti langkah kakinya menuju rak buku di depan kami. Ia ambil empat buah buku karya kakeknya yang dari jarak kurang lebih dua meter aku sudah mengenali buku itu. "Kamu pasti sudah baca buku ini kan? Ada alasan khusus kenapa buku ini ku ambil untuk sekedar kita pandangi. Di buku ini diceritakan seorang bangsawan Jawa yang bangga disebut sebagai monyet. Bersematkan panggilan 'monyet', ia tidak memperdulikan kesenangan subjektifnya. Ia malah sangat berbangga hati melepaskan segala embel-embel kebangsawanan demi dapat berjuang membebaskan rakyat dari belenggu penindasan kompeni dan ambtenar. Sosok si monyet ini adalah kebalikan dari kaum tua di kotamu itu," diceramahinya aku karena kesalahan kaum tua itu.

Tunggu dulu, seperti ada yang aneh. Prass berkata rumah tua ini adalah rumah kakeknya dan keempat buku itu adalah karya kakeknya. Langsung ku pelototi dan ku hardik ia, "Kenapa tidak dari dulu kau katakan kalau kau itu cucunya si 'anak renaisans'? Kenapa tidak dari dulu kau katakan kalau kau itu produk biologis dari jejak sejarah?". Astaga, dia benar-benar cucu dari seorang kakek tua penggemar Gorky, sastrawan yang pernah diasingkan di Pulau Buru.

Belum sempat aku kandaskan hardikan mulut dan hati, Prass sudah nyeletuk,"Untuk apa aku bilang padamu yang sebenarnya? Aku buka rahasia ini padamu karena kau ceritakan masalah kotamu itu, aku kasihan. Mudah-mudahan sepulangnya ke Medan, bisa kau sampaikan kepada kaum muda dan tua itu. Bahwa untuk dapat kembali bangkit, jangan sertakan pamrih dalam perjuangan. Yang harusnya kalian bangkitkan dan perjuangkan itu adalah ruh dan spirit kota Medan, bukan nama harum semerbak yang kemudian disombongkan. Biarlah harum semerbak itu menjadi hak para bunga bangsa sejati. Belajarlah dari si monyet sakti dari Jawa itu, ia tak peduli bagaimana namanya disebut. Yang penting baginya, saudara sebangsa dan setanah air dapat terlepas dari segala ketertindasan".

Aku tertegun menahan malu dan beban berat mendengar nasihatnya tentang kotaku, Medan tercinta, Medan yang penuh perjuangan dan semangat. Mungkin ia telah berhasil mengidentifikassikan rasa maluku. Dicairkannya suasana dengan mengangkat gelas dan mengatakan,"selamat hari kebangkitan nasional kawan".   

#NikmatnyaSeranganFajar

Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Serangan Fajar