post image
KOMENTAR
Saat ini dunia Internasional dilanda krisis pangan yang ditandai dengan naiknya harga komoditi pangan.  Menurut Food Price Watch terjadi kenaikan harga komoditi pangan secara signifikan pasca krisis di tahun 2007. Hal itu terbukti dengan kenaikan harga komoditas jagung sebanyak 84%, gula 62%, gandum 55%, dan lainnya.

Hal ini menjadi ancaman serius bagi perkembangan perekonomian dunia terkhusus karena krisis utang eropa dan perlambatan Amerika Serikat. Di saat krisis pangan mengintai dunia, Indonesia malah kebanjiran komoditas pertanian impor. Hal ini dikarenakan adanya liberalisasi pasar pertanian Indonesia, yang dimulai ketika Indonesia mengikuti World Trade Organization (WTO) pada 1995. Nilai impor pangan Indonesia yang  mengalami peningkatan tiap tahun, bahkan tercatat nilai impor pangan tersebut mencapai US$ 5,36 miliar atau sekitar Rp 45 Triliun. Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi.

Pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus member peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell.

 Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang. Indonesia dengan lebih 17.000 pulau yang dikelilingi lautan, mempunyai curah hujan yang tinggi dan cahaya matahari sepanjang tahun, ditambah tanah vulkanik yang subur, menjadikan keanekaragaman hayati amat kaya. Akan tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah produksi pangan yang meningkat itu tidak diproduksi oleh petani, tetapi oleh perusahaan agri bisnis.

Pemerintah lebih mengandalkan korporasi untuk meningkatkan akses pangan ketimbang keluarga petani kecil dan petani gurem yang jumlahnya mungkin sudah lebih dari 16 juta kepala keluarga pada saat ini. Hal ini bias diartikan seandainya targetpeningkatan akses pangan tercapai, namun belum tentu terjadi pada target penurunan tingkat kemiskinan dan kelaparan �" setidaknya di tingkat petani kecil karena prioritas akses pangan tersebut adalah orientasi produksi untuk ketahanan pangan, bukan kesejahteraan petani kecil. Kondisi di atas diperparah dengan ketiadaan akses petani dan buruh tani terhadap kredit usaha dari perbankan, kualitas benih yang bagus, tidak ada pupuk ketika dibutuhkan, irigasi rusak, hingga penyuluh yang tidak berkualitas. Pun ditambah dengan gonjang ganjing import kentang, garam, gula, gandum, dan import bahan makanan lain, seolah semakin tidak berpihak pada para petani Indonesia. Korporasi dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan karena akan lebih mudah mengontrol dan memainkan harga pangan bila produksi pangan ada di dalam genggamannya. Bahkan korporasi telah dan akan melakukan kriminalisasi terhadap petani atau siapa pun yang menghambat usaha agribisnis mereka.

Pemerintah sebaiknya segera mencabut keputusan yang memberikan peran besar kepada perusahaan agribisnis untuk mengurus pangan. Selanjutnya membuat kebijakan yang mendukung pertanian rakyat dengan menerakan prinsip pertanian berkelanjutan, membatasi impor pangan dan segera mendistribusikan lahan pertanian produktif kepada petani dan buruh tani melalui Program Pembagian Agraria Nasional (PPAN). Hal ini dikarenakan disaat lebih dari 30% penduduk Indonesia menghadapi ancaman kelaparan, pemerintah dalam World
Economic Forum On East Asia menghasilkan kesepakatan untuk membentuk World Economic Forum Partnership For Indonesia Sustainable Agriculture dengan 14 perusahaan pangan dan pertanian dunia seperti metro, nestle, unilever, Cargill, sygenta, dupon, mosanto, mckinsey, Indofood, adm, swissRA, sinar mas, bungee, dankraft. Pola ini dianggap cocok untuk memajukan pedesaan dan pertanian Indonesia di tengah ketiadaan dana negara.

Indonesia dengan perusahaan-perusahaan tersebut sepakat untuk melakukan investasi di bidang pangan dengan formula 20-20-20. Angka 20-20-20 terkait dengan sasaran untuk menaikan produktivitas pertanian sebesar 20%, mengurangi kemiskinan di desa hingga 20%, dan pengurangan emisi sebesar 20%.Sejarah mencatat sejumlah perusahaan benih utama dunia seperti Monsanto, sygenta, dan Cargill menjadi pihak pertama yang mengambil keuntungan saat krisis pangan melanda dunia.

Di saat orang-orang yang mengalami kelaparan berlipat ganda, perusahaan tersebut membukukan keuntungan hamper dua kali lipat. Harian The Independent dari Inggris mencatat Monsanto menghasilkan keuntungan hamper dua kali lipat dalam periode tiga bulan, dari US$ 1,44 miliar (Desember 2007) menjadi US$ 2,22 miliar (februari 2008). Selain Monsanto, pendapatan bersih Cargill pada periode yang sama meningkat 86% dari US$ 533 juta menjadi US$ 1,030 miliar. Padahal dunia mencat, saat itulah krisis harga pangan memburuk.

Di berbagai daerah seperti India, Afrika Selatan, Filipina, Monsanto terlibat konflik dengan petani lokal, umumnya karena benihnya memiliki productivity yang rendah dibandingkan apa yang sebelumnya dijanjikan. Bahkan di Negara Awalnya Amerika, monsanto juga menghadapi konflik dengan petani lokal. Di level nasional, sengketa Monsanto dengan petani kapas di Bulukumba, Sulawesi Selatan menjadi pengingat penting betapa petani menjadi korban. Pada kasus yang terjadi pada awal dekade 2000, Monsanto sebagai penyediaan bench kapan transgenic terdekat dua kejahatan  sekaligus.

Pertama adalah janji Monsanto untuk meningkatkan produktivitas tidak terbukti, petani yang kecewa melakukan protes dengan membakar hamparan kapas yang gagal. Janji hasil panen hingga 3,5 ton per hektar hanya mendapatkan hasil panen kapas kurang dari satu ton per hektar bahkan beberapa ada yang gagal total. Kejahatan kedua dan yang lebih besar adalah penyuapan sejumlah petinggi termasuk di pemerintah pusat senilai US$ 373.990 agar Monsanto bisa menjual benih kapas transgeniknya di Indonesia tanpa melewati serangkaian uji keamanan hayati dan pangan yang cukup. Kasus ini tidak berlanjut, meskipun KPK pernah mengumpulkan keterangan tentang kasus ini.

 Sementara di Negara asalnya, Monsanto dihukum oleh Pengadilan New York dengan  kewajiban membayar  denda sebesar US$ 1,5 juta karena  telah melanggar aturan laranganm enyuap di luar negeri (the foreign corrupt practices act)
karena kasus di Indonesia.Selain kasus di atas masih banyak kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional kepada masyarakat Indonesia. Kasus penimbunan 13 ribu ton kedelai di Surabaya  pada 2008 di saat harga kedelai sedang tinggi menyeret nama PT. Cargill Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab. Selain itu, Greenpeace organisasi lingkungan mencatat pengrusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan domestic seperti Sinar Ma's akibat alih fungsi lahan pertanian dan hutan menjadi lahan sawit dalam skala  luas. Menjadi aneh pemerintah Indonesia malah bernafsu untuk bekerja sama dengan para perusahaan yang memiliki catatan buruk.

Bukannya menyelesaikan masalah hukum yang pernah membelit, pemerintah malah membuat Mom baru dengan pihak yang pernah bersalah.

Mungkin inilah yang dinamakan sebagai sebuah dilema kebijakan. Di satu sisi makin terintegrasinya perekonomian global memaksa Indonesia untuk bergantung pada aktor lain di level internasional, namun di sisi lain kepentingan masyarakat nasional sebagai konstituen sering kali berbenturan dengan kondisi internasional.

 Sudah seharusnya kesejahteraan rakyat, yang menjadi amanat konstitusi, menjadi rujukan penyelenggara Negara. Bukan hanya sekedar pencitraan bahwa Indonesia adalah bagian dunia yang terbuka untuk siapapun. Kalau citra seperti ini yang dikejar oleh pemerintah, bukannya mensejahterakan rakyat, tetapi mendukung keberlanjutan kejahatan dan pengeksploitasian yang dilakukan perusahaan multinasional di bidang pangan.  [hta]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas