post image
KOMENTAR
Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau RUU Tax Amnesty yang saat ini sedang digodok Pemerintah dan DPR terus menuai penolakan.

"RUU Tax Amnesty oleh karenanya merupakan permufakatan jahat elit negara yang harus dicegah,"  demikian kesimpulan Diskusi Publik "Kontroversi RUU Tax Amnesty: Rencana Pemasukan Dari Tax Amnesti Cuma Ilusi?" yang diprakarsai Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH) di Jakarta kemarin.

Diskusi yang dipandu Direktur IEPSH Hatta Taliwang tersebut menghadirkan sejumlah pembicara. Yaitu, dua mantan anggota DPR Habil Marati dan Djoko Edhi Abdurrahman, pendiri Asian Institute for Information and Development Studies, DR.Syahganda Nainggolan; ekonom yang juga jubir Partai Demokrat DR. M. Ikhsan Modjo, peneliti Pusat Kajian Ekonomi Politik UBK, Salamuddin Daeng; dan aktivis '98 Haris Rusli Moti.

Penoalak terhadap RUU Tax Amnesty karena dinilai sebagai skenario besar dari kelompok pemilik modal, antara lain kelompok yang terkait dengan perampokan harta BLBI 1998, koruptor, mafia judi, pelacuran, narkoba dan "human trafficking" untuk mengendalikan Indonesia dengan rencana pembelian aset-aset properti dan instrument utang negara, SUN, obligasi, dan lainnya.

"Secara ideologis, pemilik uang yang ada di Singapore sebagai sasaran Tax Amnesty adalah kelompok masyarakat yang lebih jahat dibanding PKI," jelas Hatta dalam catatan resume dan kesimpulan diskusi tersebut.

Pasalnya, mereka membawa kabur uang negara pada masa krisis perekonomian bangsa 1998 sehingga negara sekarat. Kini para penjahat dan pengkhianat bangsa tersebut hendak mengubah dirinya sebagai pahlawan penyelamat negara, yang menolong keuangan pemerintahan Jokowi.

"Undang undang ini berniat melakukan rekonsiliasi politik dan hukum dengan para penjahat ini," tulis Hatta, yang juga mantan anggota DPR RI ini.

Apalagi, masih kata Hatta, terkait kesimpulan diskusi, RUU Tax Amnesty mensasar pengampunan pada uang halal dan haram. Karenanya, uang-uang kejahatan judi, prostitusi, narkoba dan lainnya akan masuk dalam pembiayaan negara, seperti kesehatan, pendidikan, pesantren.  

"Sangat berbahaya membiarkan uang haram masuk dalam pembangunan manusia kita," tegasnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, pada prinsipnya, tax adalah alat dan cara kapitalisme dalam bernegara, khususnya pembiayaan negara. Bahkan dalam era kolonialis, tax merupakan alat penghisapan terhadap pribumi. Dalam negara komunis Tax tidak menjadi penopang utama, karena semua harta milik negara.

Sementara Negara Pancasila secara prinsip tidak menempatkan pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Pembiayaan utama harus bersumber pada pemasukan selain pajak, seperti penerimaan sumber daya alam, bagi hasil sumberdaya alam, usaha negara dari cabang cabang produksi negara.

"Karenanya, rezim pajak Jokowi dan Tax Amnesty tidak sesuai dengan semangat proklamasi dan Pancasila," tandasnya seraya menambahkan Forum Diskusi juga merekomendasikan akan mengeluarkan Petisi penolakan. [zul]

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi