post image
KOMENTAR
(Untuk para pemburu hujan, sahabatku bermandi hujan: Robby, Rinaldi dan Ronal)

HUJAN masih mengurung malam. Tetesnya menyusup ke balik kelam. Dinginnya membebat tulang. Hujan terus mengalir. Jatuh ke atap, menelusuri talang, masuk ke cerobong, jatuh ke selokan, menggenang dan membanjiri jalanan. Tak ada apa-apa di sana, kecuali tetes hujan yang terus jatuh memecahkan kesuraman.

"Kapan berhentinya ya?"
"Entahlah,"
"Mungkin Sebentar lagi,"
"Semoga saja,"

Di luar, selain hujan, perlahan suara kodok bersahut-sahutan muncul dari kebuntuan. Mereka berkrak-krak-krok-krok menambah riuh ketakutan. Keempat pemuda itu duduk menahan gigil di depan perapian. Mereka kian cemas pada kengerian malam.

"Sambil menunggu, kita matangkan rencananya,"
"Entahlah, aku tak punya rencana baru, hujan brengsek ini membuatku pesimis dengan semua rencana, dengan semua peta,"
"Cobalah,"
"Aku tak bisa berpikir. Satu-satunya yang kupikir adalah, kapan hujan ini berakhir,"

Geledek sesekali membahana membelah langit. Kilatnya masuk ke dalam ruangan. Keempat pemuda itu menutup telinganya masing-masing.

"Semoga, itu geledek terakhir,"
"Kau bilang apa?"
"Hei, geledek ya?"
"..."

Dua jam berikutnya, hujan mulai berakhir. Dan kodok memulai pestanya. Suaranya kian keras terasa di telinga. Mengalahkan suara John Lennon yang lantang meneriakkan "Revolution". Keempat pemuda itu mulai kesal dan marah.

"Mereka, masih saja memanggil hujan,"
"Berikan pistolmu, biar kutembak saja mereka semua,"
"Sial..."
"Busyet..."

Empat jam sudah mereka terperangkap dalam sunyinya hujan. Seluruh rencana yang dimatangkan berbulan-bulan, luruh gara-gara kehadiran tamu yang sama sekali mereka tak pernah perhitungkan.

"Ini semua salahmu, kau pilih hari ini. Dan coba lihat, sekarang air menggenang setinggi mata kaki..."
"Kok salahku? salahkan hujan keparat ini..."
"Berikan pistolnya, biar aku saja yang menjalankan misi ini. Kalian semua pengecut! Pengecut!"
"Kau mau memburu siapa di pasar malam?"

Keempatnya kembali duduk. Berjauhan. Hujan telah merusak segala mimpi dan harapan. Keempat pemuda itu mulai kehilangan keykinan. Keyakinan pada perjuangan, keyakinan pada perubahan dan keyakinan pada kesetiakawanan.


Di luar, kodok kian asik dengan pestanya. Mereka bernyanyi, merayakan suka cita.

Handy talky berbunyi. Suaranya memperjelas ketakutan mereka.

"Bengsek! Apa yang kalian lakukan? Mengapa tak kalian eksekusi itu tiran?" suara lantang dan tak sopan terdengar di ujung sana.

"Maksudnya?"

"Hei, dengar! Aku masih bisa melihat si bodoh itu berpidato di televisi. Kalian semua bodoh atau apa? Mengapa penjahat peradaban ini masih keliaran? Seharusnya, menurut rencana, dia sudah tinggal nama! Penjelasan macam apa lagi yang akan kalian berikan? Kalian memang empat manusia yang tak berguna!" suara itu terus mendamprat.

Rencana, rencana, dan rencana lagi. Mengapa di saat begini selalu ada orang yang memperjelas soal rencana. Rencana tinggal rencana. Hujan datang, apa yang bisa dilakukan? Selain duduk menunggu dan berharap sang tiran mati kedinginan di balik selimut atau di bawah ketiak gundiknya.

"Ketua, dengar penjelasan kami..."
"Penjelasan macam apa? Penjelasan kalau kalian semua takut hujan? Kambing!"

Tut...tut...tut...tut...

Seratus tahun sudah. Dan hujan tetap turun. Tak ada yang bisa mencegahnya untuk turun membasahi bumi. Bahkan pawang berilmu tinggi pun! Mereka hanya menjual mantra dan sihir. Tak ada yang bisa mengatur hujan. Tak ada. Meski pun alasan untuk mencegahnya turun kadang terdengar masuk akal. Tapi, bila sudah datang saatnya, hujan akan tumpah juga. Tumpah mengeluarkan segala isi yang terkandung, keinginan, harapan, ketakutan, kecemasan, kekuatiran, rencana. Dan rencana.

***

Seratus tahun yang lalu…

"Ini untuk masa depan yang gemilang. Satu kata: SAMA. Sama rasa, sama rata!"
"Aku tahu. Terus?"
"Kita terobos hujan ini,"
"Lantas?"
"Kita ke pasar malam,"
"Lalu?"
"Kita cari Sang Tiran,"
"Kemudian?"
"Bidik kepalanya. DOR! Dan hilanglah segala penderitaan di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini,”
“Itu ‘kan katamu,"
"Tidak, kata kita semua,"
"Lihat, sekarang, bahkan tak ada yang bisa menghentikan hujan ini. Seolah dia mendukung penuh segala perbuatan Sang Tiran. Lihat hujan ini, dia terus turun, sementara banyak orang berharap dalam doanya, agar segala kelaparan segera sirna dan musnah dari negeri kita. Lihat hujan ini. Kau bisa menghentikannya?"

"Kita bisa menerobosnya!"
"Ya, kita bisa!"
"Merdeka!"

***

Meski tak sesuai rencana, akhirnya keempat pemuda itu nekat juga untuk keluar rumah. Mereka menggulung celananya. Menyibak selimut dan memadamkan api di tungku. Semua senjata mematikan dipersiapkan. Mereka berdoa untuk terakhir kalinya. Meminta agar hujan sedikit memihak pada mereka.

"Untuk orang banyak!"
"Untuk kelaparan dan penindasan yang berlangsung lama!"
"Aku siap!"
"Aku tak siap!"

Sial! Selalu ada ketidaksiapan di balik turunnya hujan. Selalu ada alasan untuk mengkambinghitamkan hujan. Lelaki itu mundur sedepa. Kemudian mengeluarkan pistolnya.

"Aku mundur, terserah, kalian mau apakan aku,"
"Brengsek!"
"Pengecut!"
"Kambing!"

"Aku tak siap dengan misi agung ini. Lebih baik aku mati. Dari pada harus menanggung segala kemungkinan yang akan terjadi"
"Bah! Apapun! Segalanya mungkin! Hujan ini pun mungkin akan terus turun, mungkin akan berhenti. Satu yang pasti, kalau si tiran itu berhasil kita eksekusi malam ini, negeri kita akan terbebas dari kezaliman,"
"Betul"
"Untuk selama-lamanya, mungkin!"

"Pokoknya aku tak siap! Bunuh saja aku, atau aku yang akan melakukannya sendiri…" kata lelaki itu sambil membuka kunci revolver di tangannya, menarik pelatuk kemudian mengarahkan ke kepalanya,"
"Omong kosong! Hentikan aksimu itu bodoh!"
"Kita bersama, selamanya bersama. SAMA!"
"..."

Handy Talky berbunyi lagi.

"Apalagi yang kalian tunggu? Sang Tiran sudah melenggang dengan anggun menuju pasar malam. Hujan bersama kita. Hujan mendukung kita! Setengah jam lagi aku ke sana. Sampai berjumpa! Merdeka!"

Di luar, hujan berhenti berderai. Tak ada rinai-rinai. Tinggal hingar bingar pesta kodok itu saja yang agaknya terus terdengar, hingga pagi. Mungkin.

"Siap perintah Ketua!"

Suara di ujung Handy Talky menghilang. Dengan sekejap, hilang pula kekecutan hati mengingat segalanya memungkinkan untuk menyelesaikan akhir dari sebuah rencana.

"Apa lagi alasanmu? Ayo kita lakukan bersama-sama,"
"Siap..."
"Untuk merdeka, aku selalu siap sedia"
"Apa yang akan kita buru di sana?"
"Hujan, mungkin..."

Keempatnya keluar rumah, dengan tertawa, tanpa acara doa bersama.

Alkisah, goro-goro terjadi di pasar malam. Ribuan demonstran yang sudah menunggu kedatangan Sang Tiran berhasil dibubarkan dengan kekerasan. Peluru bertebar di mana-mana. Aroma mesiu tercium jelas memenuhi sudut kota. Darah yang menetes, mengalir, menggenang. Genangan air hujan berubah merah oleh darah yang tumpah dari rakyat yang marah.  Ratusan orang ditangkap. Ratusan orang terluka, ratusan orang mati, dan ratusan orang menghilang.

Di tengah jalan, Handy Talkie berbunyi lagi.

"Merdeka!"teriak seseorang disusul rentetan berondongan senjata mesin.

Keempat pemuda itu berhenti, mematung. Saling melempar pandang dengan tajam. Dan dari langit, hujan kembali turun. Membilas segala kebencian. Memudarkan segala rindu dendam. Keempat pemuda itu melangkah, melompati genangan air. Sambil terus menggulung celanannya masing-masing.


Binjai 26 Maret 2002-"Binjai 05 Januari 2010.

KOMENTAR ANDA