post image
KOMENTAR
Jika dasar terjadinya peristiwa percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep dikaitkan dengan radikalisme beragama, maka perlu ditelaah bagagaiman masyarakat dalam memaknai dan menafsirkan agama.

Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang anggota Ikatan Kajian Sosiologi Indonesia (IKSI), Puteri Atikah kepada MedanBagus.com, Selasa (30/8).

"Dalam kondisi masyarakat kita yang kurang kritis, tentu akan lebih mudah dipengaruhi oleh doktrin – doktrin agama yang radikal, intoleran dan cenderung menghalalkan kekerasan. Untuk itu, diperlukan peran berbagai pihak, mulai dari tokoh agama, keluarga, institusi pendidikan, aparat keamanan dan pemerintahan," jelas Putri

Puteri menambahkan, tindakan teror yang mengatasnamakan agama, juga bisa timbul sebagai bentuk ketidakpuasan dan keprustasian seseorang atau sekelompok orang terhadap penguasa.

"Kefrustasian ini bisa membuat masyarakat 'melarikan diri' ke agama. Oleh sebab itu, masyarakat juga sebaiknya jangan panik dan takut menyikapi hal ini, karena dalam kajian sosiologi, masyarakat Medan ini justru punya modal sosial yang kuat dalam menghadapi atau memfilter isu-isu yang memecah belah masyarakat," ungkapnya.

Puteri menekankan bahwa peristiwa tersebut tidak dapat dikaitkan dengan agama tertentu. Sebab setiap agama tidak membenarkan penganutnya melakukan kekerasan.
 
“ Untuk kasus yang terjadi di Gereja Katolik Santo Yoseph jalan Dr Mansyur belum dapat dipastikan aksi tersebut atas nama agama tertentu, yang jelas semua agama tidak membenarkan melakukan kekerasan, apalagi sesama manusia, “ tandasnya.[sfj]

Komunitas More Parenting Bekerja Sama Dengan Yayasan Pendidikan Dhinukum Zoltan Gelar Seminar Parenting

Sebelumnya

Sahabat Rakyat: Semangat Hijrah Kebersamaan Menggapai Keberhasilan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Komunitas