post image
KOMENTAR
...SYARIFAH sudah tak muda lagi. Tak ada yang tersisa dari kecantikan masa belianya. Tak ada yang percaya seandainya aku ceritakan pada orang-orang bahwa Syarifah itu adalah bunga desa di masa lalu. Tak akan. Mana sudi orang mempercayai kisah ini...

Tak lama setelah Ismail, suaminya yang pertama tewas pada sebuah insiden, Syarifah masih sempat menjadi incaran lelaki. Bukan saja pemuda kampung, dan Teungku Maimun juga tergila-gila padanya. Bahkan kabarnya Syarifah itu sempat pula menjadi incaran aparat yang bertugas di kampung kami. Percaya? Ada sebuah kisah di balik jalan hidup Syarifah yang sekarang ini tengah berada di depan mata saya.

Coba perhatikan matanya. Dulu mata itu telah membuat pemuda Ismail memberontak lari dari pesantren. Dia bersumpah akan membawa lari Syarifah andaikan kedua orang tuanya tidak setuju dengan hubungan mereka. Entah setan apa yang merasuki jiwa Ismail. Dia nekat membawa lari putri Haji Umar dari kampung.

Mata Syarifah telah membuat temanku itu meninggalkan akal-rasionalnya. "Tidak San," ujar Ismail beberapa tahun lalu. "aku tidak melarikan diri semata-mata karena takut pada Haji Umar," terangnya.

"Lantas karena apa? Kalau bukan karena kau takut dan telah mencoreng malu wajah orang tua?" tanyaku ketika itu.

***
Perempuan itu kini menatap padaku. Matanya berbinar-binar. Ada setitik cahaya penerang ingatan yang keluar dari sepasang mata yang indah itu. Entah dia masih mengenalku atau tidak. Yang jelas aku sudah puas menatap pada janda temanku itu.

Jilbabnya diayun-ayunkan angin siang. "Syarifah?" tanyaku. Dia tertegun. Ditariknya seorang bocah perempuan yang ada di depannya. Astaga! Aku baru sadar kalau ternyata sekarang ini dia telah punya anak. Selangkah kumundurkan kaki. Kutarik kembali kehadiran diriku yang mengejutkannya.
"Hujan?" tanyanya kembali. Aku mengangguk dan menoleh kepada gadis cilik berusia lima tahunan yang ada di gandengannya.

"Anakmu?"
"Maksudmu?"
"Apa maksudmu dengan maksudku?"
"Aku menemukannya sesaat setelah air surut."

Perempuan itu tersenyum getir. Dibuangnya pandangan ke sekeliling pasar. Ya, pasar yang sempat porak poranda itu kini perlahan telah kembali pada keramaian.

"Berapa lama kita tak bertemu?" tanyanya. Kami masih berdiri mematung, dipisahkan oleh jarak sedepa.

"Entahlah, aku pikir..."
"Aku kawin lagi," potongnya.

"Maksudmu? Kau kawin lagi?" tanyaku. Dia mematutkan wajah. Gadis kecil yang ada di gandengannnya mendengar pembicaraan kami.

"Dengan seorang tentara,"
"Seorang tentara?" aku mengulangi.

"Seorang tentara. Memangnya kenapa?" balasnya bertanya. Aku menggeleng. Kuatur langkahku untuk semakin menjauhinya.

Sekarang, siapa yang percaya bahwa ternyata perempuan yang sedang di hadapanku ini adalah istri seorang tentara? Bukan istri seorang santri yang telah mati di tangan tentara.

"Lupakah kau?"
"Maksudmu?"
"Ismail, dan..." aku terdiam sesaat. Hancur hatiku. Mengingat nasib temanku Ismail.
"Mengapa kawin dengan seorang tentara?" tanyaku lagi.
"Biar bisa membalas sakit hatiku," katanya ketus. Aku mendekat dan mengajaknya berjalan-jalan.

 "Di mana rumahmu?" tanyaku.
"Tak ada. Sudah hilang dibawa air," jawabnya singkat. Kemudian dia berhenti.
"Berhenti saja. Aku tak bisa istirahat lama-lama"
"Maksudmu?" tanyaku
"Apa maksudmu dengan maksudku?" balasnya.
"Tentara itu sudah mati," dia melanjutkan.

Aku semakin tak mengerti, "Kenapa? Ditembak? Kamu racun?" tanyaku girang bercampur cemas.

"Bukan," jawabnya semakin dingin. Kemudian dia menghentikan langkahnya. Kami sudah sampai di depan masjid raya. Gadis kecil melepaskan gandengannya dari tangan Syarifah. Aku semakin tajam melihat kepadanya. Perempuan ini sangat berubah. Aku ingat kalau perkawinannya dengan Ismail tidak disetujui oleh keluarga mereka.

Aku masih ingat ketika malam itu Ismail rebah. Dia sempat berbisik padaku. "Aku difitnah. Aku difitnah. Bawa pergi Syarifah. Kutitipkan dia dan janin bayiku," kemudian Ismail menghembuskan nafasnya yang terakhir di hadapanku.

***
Malam itu, ketika Ismail dieksekusi, aku dibebaskan. "terima kasih atas laporannya, Tengku" bisik salah seorang tentara yang menginterogasi kami, sambil melepas tali yang mengingat tubuhku di atas sebuah gelondongan kayu.

Mataku ditutup dan ketika dibuka, aku baru bisa menyaksikan kondisi tubuh sahabatku itu. Bagaimana mungkin santri yang baik seperti dia melakukan kebodohan dengan cara menutup mulutnya rapat-rapat?

***
Perempuan itu masih berdiri mematung di depan halaman mesjid. Sedangkan dari menara lamat-lamat terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan. Kutatap tajam pada matanya yang sudah kehilangan sinar namun tetap menyimpan magis. Aku tertarik pada magnet tatapan matanya yang masih kuat menarikku.

Dia bekas istri temanku. Bagaimanapun aku pernah diberikan amanah untuk menjaganya. Seharusnya aku menjaganya dan tidak membiarkan amanah itu berkeliaran apalagi sampai kawin dengan orang yang telah mengambil kehidupannya.

***
Percayakah kalau dulu aku pernah jatuh hati pada bunga desa itu? Wajar saja. Aku sudah mengatakannya tadi. Beruntunglah Ismail, Syarifah lebih memilih dia menjadi suaminya.

"Syarifah, aku salat jumat dulu. Kamu masih di sini bukan?" aku tersadar dari ketakjuban rasa yang muncul tiba-tiba. Dia menggeleng. Si Inong yang tengah bermain di sampingnya itu dipanggil. Dengan gerakan lincah gadis kecil itu menghampiri dan kembali menggengam tangan Syarifah.

"Kami harus pergi, mencari sesuap nasi." Katanya. Hatiku terenyuh. Jilbabnya masih dimain-mainkan angin siang.
"Ke mana?" tanyaku kemudian.
"Ke pasar," jawabnya.

"Tapi kita belum selesai bicara,"
"Bicara? Tentang apa?" tanyanya.
"Suami keduamu. Yang tentara itu?"

Air mata mulai menetes dari pipinya. "Peduli apa, dengan itu semua? Ismail, Pratu Suryo, suami, keluarga, masa depan, perang dan air bah…" dia menghentikan kata-katanya. Aku masih berdiri mendengar keluh perempuan itu. "Semuanya sudah pergi, semua sudah berlalu." Dia memambalikkan badannya. Suara adzan tak terdengar lagi.

Perempuan itu sekarang telah meningalkanku. Untuk kedua kalinya dia melakukan hal yang serupa. Yang pertama, ketika dia menampik cintaku lebih dari enam tahun lalu. Dan sekarang, ketika aku mencoba hadir di dalam kehidupannya dan menjelaskan amanah yang telah diserahkan Ismail padaku…

***
Aku masih penasaran dengan isi hatiku. Bagaimana? Sekarang percayakah kalau aku bilang sampai saat ini aku masih tergila-gila padanya.

Perempuan itu telah kembali kepada kesibukannya. Dia duduk di salah satu sudut pasar yang mulai sepi. Dan meletakkan sebuah mangkok di hadapannya. Sementara gadis kecil itu tidur-tiduran di sampingnya.

Aku membalikkan badan pula dan mendekati teras mesjid. Kulangkahkan kaki ke anak tangga sambil pikiranku terus kepada Syarifah. Begitu besar penderitaan perempuan itu. Begitu dahsyat yang harus ditanggungnya. Tunggulah lihat saja. Dan semoga bisa dipercaya. Setelah salat, aku akan mencarinya dan menceritakan kebenaran sebuah kisah yang terjadi lima tahun lalu tatkala di dalam ruang interogasi bersama suaminya Ismail.

***
...Setelah Ismail terbujur kaku, aku masih menyesali tindakanku. Ismail tidak bodoh, akulah yang mengambil kesempatan dari interogasi yang dilakukan tentara malam itu. Aku pikir setelah Ismail mati, maka Syarifah akan menjadi milikku. Sayang aku keliru. Keliru sekali...

Jakarta, 17 Juli 2005

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca