post image
KOMENTAR
Kebijakan Presiden Donald Trump tentang pelarangan warga dari negara muslim untuk berkunjung ke Amerika Serikat (AS) telah menimbulkan keresahan. Apalagi kebijakan tersebut didasari atas asumsi dan prasangka berlebihan terhadap Islam.

"Trump menganggap bahwa Islam adalah radikalisme negara dan tindakan terorisme, padahal Islam adalah beragam aspek yang tidak berdiri sendiri dan sudah terbukti memiliki kontribusi besar terhadap peradaban dan perdamaian dunia," ungkap Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar, Senin (30/1).

Pada Jumat pekan lalu (27/1), Presiden Trump telah menandatangani surat perintah untuk melarang warga dari tujuh negara Muslim memasuki AS selama 90 hari mendatang.

Ketujuh negara ini adalah Suriah, Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan dan Yaman. Aturan ini juga mencakup larangan selama 120 hari bagi pengungsi dan menghentikan arus pengungsi dari Suriah.

Rofi mengakui bahwa sejak kampanye pemilihan Presiden AS, sudah bisa menangkap ketidaksenangan Trump terhadap dunia Islam. Namun dari kebijakan yang dikeluarkan semakin menegaskan bahwa Trump kesulitan menemukan formula terbaik menghadapi krisis yang sedang terjadi di Amerika Serikat.

"Trump dengan kebijakannya ini telah mempersonalisasi masalah Islam menjadi masalah seluruh Amerika. Padahal dengan sikap seperti itu, akan semakin membuat negara tersebut mengalami kerugian luar biasa dan secara tidak sadar perlahan-lahan akan terkucil dari pergaulan insternasional," ujarnya.

Menurutnya secara umum kebijakan Trump menunjukan bahwa proses dialog tidak menjadi prioritas utama dalam membangun diplomasi dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.

"Kebijakan tersebut semakin menyulitkan dialog antara dunia Islam dan barat untuk membangun kondisi dunia yang lebih kondusif," sambung legislator yang baru saja menghadiri pertemuan tahunan Parliamentary Union of the OIC Member States/Parlemen Negara-negara OKI (PUIC) di Bamako Mali pada tanggal 21-28 Januari 2017 ini.

Di sisi lain, Rofi menduga bahwa kebijakan Trump ini didasari oleh kekhawatiran yang berlebihan terhadap aksi terorisme dan perubahan kebijakan yang cenderung proteksionis.

Akibat kebijakan tersebut, protes tidak hanya terjadi dari luar, namun juga terjadi di berbagai negara bagian AS sendiri. Bahkan sejumlah perusahaan teknologi seperti Google dan Apple menyatakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan imigrasi Presiden Trump yang melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim memasuki AS.

Sabtu 21 Januari 2017 waktu setempat, dalam pidato politik pertamanya sebagai presiden Amerika Serikat ke-45, Presiden Trump menjadikan perang terhadap kelompok radikal Islam sebagai salah satu prioritas utama kebijakan luar negeri pemerintahan barunya.

Trump sendiri telah lama mengkritik Barack Obama, presiden AS ke-44, karena menolak menggunakan kalimat radikal Islam.” Ia berulang kali menegaskan penggunaan frase ini akan berdampak besar dalam perang melawan teror.[rgu/rmol]

LPM dan FKM USU Gelar Edukasi Kesahatan dan Pemberian Paket Covid 19

Sebelumnya

Akhyar: Pagi Tadi Satu Orang Meninggal Lagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa