post image
KOMENTAR
Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur nomor 3, Chaiuman Harahap-Fadly Nurzal, mengusung program pembangunan dari desa di acara debat cagub Jumat (1/3/2013).

Bagaimana pandangan ekonom Ichsanudin Noorsy terhadap program yang diusung Golkar dan PPP itu?

Ichsanudin Noorsy, yang malam itu didaulat menjadi salah satu panelis, berhasil diwawancarai MedanBagus.Com secara khusus. Berikut uraiannya.

Chairuman-Fadly mau kasih duit Rp 1 milyar 1 desa. Gak dapat. Saya kejarnya (argumentasinya) begini.

Ketika seseorang melakukan apa yang disebut rule oriented (pembangunan yang beorinetasi dari desa), maka anda harus menghadapi tiga masalah besar:

1. Anda harus mengetahui struktur masalah pada masyarakat bawah. struktur masalahnya tidak sama pada masyarakat ini.

2. Struktur aspirasi pada tingkat golongan. Mereka yang berusia 14 tahun, itu beda dengan aspirasi yang 25 tahun beda pula dengan aspirasi 40 tahun. Demikian juga aspirasi usia 55 tahun. Jadi Anda harus bikin strukturnya.

3. Struktur Golongan Wilayah.  Begitu beragamnya situasi desa di Sumatera Utara. Beragamnya luar biasa. Itu saya pelajari dari 25 kabupaten dan 8 kota.

Saya ambil contoh begini. Mari kita lihat wilayah terpadat dan wilayah terenggang dari sisi kepadatan jumlah penduduknya. Diadu dengan tingkat luasnya wilayah. Dari situ nampak problem besarnya.

Teralisasi gak itu? Jadi saya kira, pasangan Chairuman Fadly tidak akan bisa merealisasikan Rp 1 Miliar untuk 5.828 desa di Sumut.

Ingat, saya datang (menjadi panelis) dengan data, saya juga tak sekadar datang tapi juga terjun ke lapangan. Jadi saya datang tidak dengan angan-angan.



Kemudian pasangan ini juga berbicara soal pembagian hasil pusat dan daerah dari sektor perkebunan karet dan sawit. Menurut saya, pasangan ini juga tidak mengerti esensi sebenarnya.  

Soal sawit, dia gak ngerti. Sawit di Sumut itu didominasi oleh korporasi.

Saya ingin mengatakannya begini; pola kepemilikan sawit dan karet di Sumatera Utara tidak mengalami perubahan sejak jaman penjajahan hingga saat ini. Itu berbahaya. Masak dari jaman penjajahan sampai saat ini struktur kepemilikan kebun tidak berubah. Cuma dulu namanya perkebunan besar milik Belanda kalau sekarang pemiliknya korporasi asing dan swasta. Apa bedanya?

Ditambah lagi sengketa lahan. Sengketa lahan justru antara rakyat dengan negara (PTPN). Dan sengketa lahan di Sumut tinggi luar biasa. Kan ada yang salah lagi ngeliatnya, gimana ini?

Jika pasangan ini ingin menyelesaikan masalah bagi hasil perkebunan, maka polanya adalah: Human exit, depend on the property. The Property depend on the land, on the sea on the air, social and culture capital.

Tanah-tanah Anda kenapa Anda pusing. Lokasi-lokasi Anda, kenapa Anda kasih. Sama dengan kasus Mahakam sekarang. Bagaimana  orang Kalimantan Timur bisa menolak keputusan pusat, itu kan karena saya mengajak mereka untuk memiliki sendiri lahannya.

Artinya, eksistensi sebuah provinsi tergantung pada propertinya. Anda punya properti apa, masak properti itu tetap dikuasai orang asing/swasta. Gimana..... [ded]

Pertamina Turunkan Harga Beberapa Produk BBM Non Subsidi

Sebelumnya

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa