post image
KOMENTAR
Penolakan pemilihan kepala daerah lewat DPRD juga disampaikan beberapa kalangan dari lembaga survei. Mereka menilai pilkada oleh DPRD langkah mundur dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Namun, penolakan itu ditengarai bermuatan agenda tersembunyi. Karena sejatinya, lembaga survei diduga tidak berpihak pada rakyat, tetapi pada kepentingan pangsa pasar mereka yang terancam.

Demikian disampaikan koordinator Presidium Parlemen Pemuda Indonesia Ahmad Fanani (Selasa, 9/9), dalam keterangan persnya tanpa merinci lembaga survei nama. "Siapa bilang kalau pilkada DPRD merampas hak-hak rakyat? Bukankah hak rakyat telah disalurkan secara demokratis melalui pemilihan legislatif?" tegasnya.

Karena itu, dia meminta lembaga survei memahami secara baik makna "kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" dalam sila ke-4 Pancasila. Kalau pilkada oleh DPRD disebut upaya merampas hak-hak rakyat, berarti sama saja menuduh founding father negeri ini juga telah melakukan hal yang sama.

Karena faktanya, sistem permusyawaratan dan perwakilan itu sudah diwariskan oleh para pendiri bangsa ini.

"Kalau betul maksud permusyawaratan dan perwakilan itu adalah pilkada langsung, pasti kita memiliki catatan sejarah tentang perdebatannya ketika itu. Malah, mungkin sedikit pun tidak terbetik di benak mereka bahwa pilkada akan dilakukan secara langsung," ungkapnya.

Karena itu, Fanani mengingatkan, jangan sampai pendapat-pendapat yang mengatasnamakan rakyat justru dipergunakan untuk meraih keuntungan finansial.

"Secara logis, siapa sebetulnya yang dirugikan dari pilkada oleh DPRD? Apakah rakyat secara langsung atau lembaga-lembaga survei. Bagi yang cerdas, pasti bisa melihat bahwa yang paling rugi adalah lembaga survei," tegasnya.

"Bayangkan, ada lebih 500 pilkada kabupaten/kota ditambah lagi 34 pilkada provinsi. Andaikata mereka menjadi konsultan untuk satu pasangan calon dengan nilai kontrak Rp 500 juta, berapa kesempatan mereka yang hilang?" sambungnya.

Dalam konteks perdebatan ini, sebetulnya lembaga survei lebih pragmatis dari parpol-parpol yang mengusung pilkada oleh DPRD. Hanya saja, lembaga survei kelihatannya netral sehingga mudah menggiring opini publik. "Sebetulnya dibalik itu, mereka memiliki kepentingan finansial temporal dari pelaksanaan pilkada langsung," ungkapnya.

Oleh karena itu, lembaga survei sebaiknya tidak ikut mengomentari proses legislasi terkait pilkada yang sedang dibahas di DPR. Karena bagaimanapun, dalam hal ini mereka pasti tidak netral. Sebaik pihak terkait,  pendapat lembagai survei tidak bisa dijadikan sebagai referensi.

"Kalau soal hitung cepat, ya kita masih sedikit bisa mempercayai mereka. Tapi kalau soal RUU Pilkada, mereka bias dan agak sulit dipercaya," tandasnya. [rmol/hta]

Pertamina Turunkan Harga Beberapa Produk BBM Non Subsidi

Sebelumnya

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa