Pengamat Politik Universitas Sumatera Utara, Agus Suryadi mengatakan wacana penghapusan pilkada langsung dan mengalihkannya kepada DPR merupakan wacana yang lebih didasarkan pada 'dendam politik' antara dua kubu koalisi parpol pada Pilpres 2014 lalu.
"Ini semuanya hanya bermotif 'dendam politik', ada keinginan balas dendam dari koalisi merah putih atas kekalahan mereka di Pilpres 2014," katanya, Selasa (9/9/2014).
Agus menyebutkan, 'dendam politik' yang terjadi ini membuat pemimpin-pemimpin partai politik yang tergabung dalam koalisi menjadi lupa bahwa banyak aspek yang harus dipertimbangkan jika sistem pemilu di Indonesia kembali kepada anggota dewan. Tanpa disadari, mereka justru mengusulkan sistem pemilihan yang menunjukkan adanya kemunduran dalam sistem demokrasi di Indonesia.
"Ini jelas kemunduran pada sistem demokrasi kita," ungkapnya.
Sesuai aturan, Agus menyebutkan fungsi DPR hanya 3 yakni Legislasi, Badgeting dan Controling. Jika mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik, maka ia yakin manfaat dari keberadaan anggota dewan akan sangat dirasakan masyarakat. Ironisnya, fungsi ini saja menurutnya tidak bisa dijalankan dengan baik oleh mereka. Besarnya anggaran pilkada yang menjadi alasan dibalik wacana tersebut menurutnya tidak memiliki dasar yang kuat.
"Fungsi mereka yang tiga itu saja belum bisa dijalankan sepenuhnya, gimana lagi kalau mereka harus menetukan kepala daerah. Maka akan menjadi politik transaksional juga," ujarnya.
"Kalau mau menghilangkan biaya besar, maka fungsi penyelenggara yang harus diperkuat. Bawaslu misalnya bisa diberi kewenangan untuk mengeliminasi peserta yang mengeluarkan budget diatas ambang batas kewajaran, saya yakin tidak akan besar lagi biaya pilkada," demikian Agus.[rgu]
KOMENTAR ANDA