post image
KOMENTAR
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin, memang tidak melihat video pidato terdakwa kasus penistaan agama Basuki T. Purnama secara langsung dalam proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI. Tetapi bukan berarti proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan ditetapkan tanpa melihat video.

"Komisi Pengkajian MUI mendalami secara serius, mulai dari telaah video, transkrip hingga validasi ke Kepulauan Seribu. Proses penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan dengan melibatkan empat komisi di MUI," jelas Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA, dalam keterangan persnya.

Ni'am yang turut mendampingi Kiai Ma'ruf saat menjalani persidangan pada Selasa lalu menjelaskan hal tersebut terkait serangkaian tudingan tim Ahok. Padahal penjelasan Kiai dalam sidang tersebut sangat jelas dan tegas.

"Dalam posisi sebagai saksi terkait penerbitan Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI terkait pidato BTP, KH. Ma'ruf Amin menjelaskannya dengan tegas dan jelas. Hanya saja, muncul opini yang menyesatkan, yang banyak tdak terkait dengan substansi. Misalnya soal tidak adanya tabayyun, status rapat-rapat di MUI, hingga masalah kuorum. Bahkan, Tim Advokasi BTP mengeluarkan rilis yang menurut hemat saya, menyesatkan," tegasnya.

Lebih jauh Ni'am mengungkapkan bahwa dalam Pendapat dan Sikap Keagamaan, MUI memang tidak fokus membahas makna QS. Al-Maidah 51 dan tafsirnya. Akan tetapi membahas dan mengkaji pernyataan Ahok yang belakangan membikin gaduh masyarakat, apakah masuk kategori menghina al-Quran dan ulama atau tidak, dalam perspektif agama Islam.

"Dengan demikian, tabayyun yang dilakukan adalah untuk memastikan apakah rekaman ucapan itu benar apa tidak, yaitu dengan konfirmasi pada pihak-pihak yang bisa dimintai penjelasan. Karenanya, tim MUI juga konfirmasi ke Kepulauan Seribu, untuk tabayyun terkait benar tidaknya rekaman ucapan itu disampaikan oleh BTP," ungkapnya.

Setelah memperoleh konfirmasi kebenarannya, Tim pengkajian memberikan data ke Komisi Fatwa MUI untuk dibahas dalam perspektif agama. MUI fokus pada teks, tidak mengejar niat. Karena dalam menetapkannya, MUI berpegang pada yang tersurat. Nahnu nahkumu bi al-zhawahir, Wallaahu yatawalla al-sarair," jelasnya.

Katib Syuriyah PBNU ini mengakui bahwa pada 9 Oktober 2016, MUI DKI Jakarta mengeluarkan Surat Teguran kepada Ahok. Sementara pada 11 Oktober 2016, MUI Pusat mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Dia menegaskan keduanya tidak bertentangan, bahkan paralel.

"Surat MUI DKI juga ditembuskan ke MUI Pusat, yang juga dijadikan masukan dalam penetapan Pendapat dan Sikap Keagamaan. Ketua Umum dan Sekum MUI DKI juga menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat," imbuhnya.

Hal yang perlu dipahami, katanya menambahkan, proses pembahasan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI telah dimulai sejak awal Oktober 2016, sebelum MUI DKI mengeluarkan Surat Teguran.  Dengan demikian, asumsi yang menggambarkan bahwa MUI Pusat menetapkan Sikap dan  Pandangan Keagamaan secara mendadak, tiba-tiba atau tergesa-gesa, sangat tidak beralasan.

"Prosesnya cukup lama dan serius dilakukan, dengan melibatkan empat komisi (Komisi Pengkajian, Komisi Fatwa, Komisi Hukum, dan Komisi Infokom). Pembahasan diawali dengan penelitian oleh Komisi Pengkajian, dilanjutkan ke Komisi Fatwa, Hukum dan Infokom. Setelah itu dibawa ke Rapat Pimpinan Harian, setelah itu dirumuskan sebagai hasil dari Rapat Pimpinan," tandasnya.

Kiai muda ini juga menjelaskan soal kuorum rapat yang dipersoalkan tim Ahok. Dalam Pedoman MUI, dia mengungkapkan, rapat Komisi Fatwa dapat dilaksanakan jika sudah mencapai jumlah anggota yang dianggap memadai oleh pimpinan. Dengan demikian, kuorum tidak terkait dengan jumlah minimal kehadiran. Walau demikian, dalam rapat-rapat pembahasan, peserta rapat dari sisi jumlah, bahkan lebih banyak dari rapat-rapat Komisi Fatwa pada kasus yang lain.

Pada rapat Komisi Fatwa membahas kasus Ahok, hadir Ketua MUI yang membidangi Fatwa, Ketua dan Wakil-Wakil Ketua Komisi Fatwa, Sekretais dan Wakil-Wakil Sekretaris Komisi Fatwa, dan puluhan anggota Komisi Fatwa. Bahkan hadir dalam rapat tersebut lima  guru besar dari berbagai bidang: fikih, ushul fikih, hukum, dan tafsir.

Hadir pula akademisi dari berbagai kampus: UIN Jakarta, UI, IIQ (Institut Ilmu Al-Qu'ran) Jakarta, Uniat (Universitas At-Tahiriyah) Jakarta, UAD, PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran), dan lain-lain. Ada juga Rektor IIQ dan Direktur Pascasarjana IIQ.

"Mereka hadir dan ikut pembahasan," tandasnya. [zul]

 

PHBS Sejak Dini, USU Berdayakan Siswa Bustan Tsamrotul Qolbis

Sebelumnya

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN NELAYAN (KPPI) DALAM MENGATASI STUNTING DAN MODIFIKASI MAKANAN POMPOM BAKSO IKAN DAUN KELOR DI KELURAHAN BAGAN DELI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Peristiwa