post image
KOMENTAR
KEPADA Mas Rendra di tempat. Iya, Mas,  aku tidak memanggilmu 'Mas Willi' seperti mereka yang akrab atau sekedar merasa dekat denganmu. Aku rasa itu tidak perlu. Justru dengan jarak seperti ini, aku bisa melihatmu lebih utuh. Membaca dan mencoba memahamimu sebagai manusia. Itu saja, cukup. Lagipula, bukankah orang yang pencapaiannya sudah seperti dirimu tidak ingin menjadi berhala dan diberhalakan? Bukan begitu, Mas?

Mas Rendra yang baik. Surat pendek ini kutulis untuk mencurahkan sebagian kecil dari anggapanku tentang dirimu. Anggapan yang kuperoleh dari pertemuanku dengan karya-karyamu dan juga dari cerita dan penafsiran orang lain terhadapmu. Oh iya, Mas, seminggu sebelum engkau berpulang ke rumah keabadian kita juga ketemu. Dari aroma tubuhmu, waktu itu, kuduga kau belum mandi pagi. Iya kan, Mas?

Mas Rendra yang baik. Mula sekali, aku terpesona pada karisma yang engkau pancarkan di atas panggung. Suara lantang, keindahan bahasa tubuh dan kepercayaan diri yang engkau hadirkan memompa kencang aliran darahku. Aku seperti dihisap oleh pusaran energi yang engkau ciptakan. Iya, betul sekali, Mas. Aku melihat garis cahaya dari setiap tarian tanganmu, liukan tubuhmu, kokohnya kakimu berdiri dan cahaya melesat dari tajamnya sorot matamu.

Mas Rendra yang baik. Lebih dari itu, syair yang engkau gelorakan menancap di dalam sanubariku. "Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." Demikian katamu dalam 'Paman Doblang' (1984), Mas. Iya, Mas. Aku sangat setuju denganmu. Kata-katamu ini aku buktikan dengan mata kepala sendiri ketika datang ke tempatmu. Di tempatmu itu, orang-orang muda tinggal dan datang silih berganti. Mereka datang untuk mencicipi ilmu kehidupan. Mereka yang engkau terima dengan tangan terbuka.

Aku suka caramu berbagi hikmah, Mas. Engkau meminta mereka untuk menanam bibit pohon berbuah di lahan yang telah engkau sediakan. Pohon itu lantas engkau pinta untuk dirawat. Saat musim berbuah tiba, engkau undang orang-orang kampung sekitar memetik dan memanen bebuahan itu sedangkan mereka yang menanam dan merawat cukup melihat saja. Melihat sambil merasakan nikmatnya menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang sanggup menghasilkan buah untuk dinikmati orang banyak. Manusia yang berhikmat. Sungguh, aku suka caramu ini, Mas.

Iya, Mas. Aku memang datang ke tempatmu, Mas. Biar pun aku diongkosi seorang sahabat untuk sampai ke tempatmu. Biar pun tak menyaksikan langsung perayaan masa panen, tapi aku lihat pepohonan yang ditanam itu, Mas. Wajar kalau engkau lupa, Mas. Apalah artinya aku. Apa pulalah artinya engkau, Mas? Tanpa ruh, tanpa makna, apalah arti aku dan dirimu, Mas. Seperti pertanyaanmu lewat larik dalam 'Sajak Seonggok Jagung' (1975),"Aku bertanya: Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya?"

Iya, Mas. Pertanyaan yang engkau lontarkan beberapa puluh tahun lalu, tetap masih menyala hingga kini. Kita memang kian terasing. Menjadi asing dan gamang di tanah sendiri. Pikiran kita mengawang entah ke mana. Andai saja kehidupan memang sebuah panggung sandiwara, kita hari ini, sudah tidak mampu memerankan penokohan dan setiap adegan dengan baik. Selebriti berselimut penyair. Politisi karbit polesan citra media dan rupa-rupa cerita. Politisi berselimut akademisi. Mafia berjubah penegak hukum. Pengusaha bertopeng aktivis sosial dan politisi. Pecundang berlagak pemimpin. Sementara itu, generasi muda dikepung narkotika dan penyelewengan (yang katanya) media 'massa'.

Mas Rendra yang baik. Sekarang ini, celah menjadi orang baik semakin sempit. Atau jangan-jangan, 'baik' itu tak lebih dari sebuah anugrah? Hanya bisa dicari tanpa tahu kapan bisa ditemui. Boleh mencari tapi kapan diberi menjadi sebuah misteri. Sama seperti pengalaman Mas Rendra dulu. Iya, Mas, saya pernah dapat cerita kalau salah satu momentum pencerahan Mas itu ketika bertemu dengan seorang penjual arang. Kala itu, Mas sedang laku olah batin untuk mendapat petunjuk dari alam semesta. Ya, dan Mas ketemu dengan seorang bapak penjual arang yang keinginannya hari ini adalah 'menjadi pembuat dan penjual arang yang baik'. Sontak ucapan sang bapak selaksa cahaya penerang kesadaran batinnya Mas. Begitu kan, Mas? Wah! Sungguh luar biasa sang bapak, Mas. Kalau Mas ketemu lagi dengannya, tolong sampaikan salamku, Mas. 

Mas Rendra yang baik. Mas tenang saja, ya. Istirahatlah dulu. Tidak perlu lagi Mas merisaukan keadaan hari ini. Serahkan itu pada kami: anakmuda. Biar ini menjadi tugas sejarah kami. Pokoknya, sekarang Mas rehat saja. Willibrordus Surendra Broto alias Wahyu Sulaeman Surendra Broto alias Rendra (1935-2009) sudah kami catat dan mewariskan makna kepada kami. Selanjutnya, biarlah kami yang membaca dan memahami. Biar menjadi urusan kami. Sekian dulu surat ini. Selamat beristirahat, Mas. Aku cinta padamu.


*Praktisi Simbol & Meditasi

KOMENTAR ANDA

Baca Juga