post image
KOMENTAR


Tadi pagi, sembari menyeruput segelas kopi, saya membaca sebuah berita di salah satu media daring. Judul berita tertulis,"Tidak Boleh Mengajar, Dosen ISI Akan Gugat Dekan ke PTUN" (kompas.com/2/4/2016). Salah seorang dosen jurusan etnomusikologi, Citra Aryandari, di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta melalui kuasa hukumnya berencana akan mengajukan gugatan hukum kepada Dekan Fakultas Seni Pertunjukan. Rupanya, terhitung sejak 23 Januari 2016 lalu, sang dosen telah kehilangan haknya sebagai dosen, mengajar, membimbing tugas akhir mahasiswa, dan menjadi dosen wali.

Seperti diberitakan, alasan pelarangan dari pihak dekan dikarenakan sang dosen dinilai mengajarkan materi kuliah yang tidak sesuai dengan visi dan misi Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Menurut dekan, Yudi Haryani, dosen tersebut tidak bisa bekerjasama dengan dosen lainnya. Dosen bersangkutan pun dikatakan tidak punya keahlian secara keilmuan dan praktik. Dekan juga menganggap dosen tersebut cenderung tidak menyukai musik tradisi, "Padahal Etnomusikologi dibentuk untuk menjaga musik tradisi,"tambahnya. Dekan mengakui, sanksi yang diberikan memang tidak tertulis, hanya berdasarkan kesepakatan.

Sementara itu, menurut pengakuan Citra Aryandani, ia mengajarkan materi aliran posmodern demi mengikuti standar internasional dan menambah pengetahuan mahasiswa. Sebelumnya, permasalahan ini pernah dibawanya langsung ke Rektor ISI dan ia diperbolehkan mengajar satu mata kuliah. Namun, surat dari rektor tidak dijalankan oleh pihak dekanat. Justru dekan dan dosen lainnya memngadakan rapat intern tanpa menghadirkan Citra Aryandani dan berujung pada hilangnya hak mengajar. Menurut Citra Aryandani, permasalahan keilmuan seperti ini bisa diselesaikan dengan membuat forum diskusi atau lewat debat terbuka.

Membaca pemberitaan ini, nalar saya tergelitik. Biar bagaimana, polemik yang mengemuka adalah persoalan keilmuan. Tentu saja, menurut hemat saya, bisa diselesaikan melalui forum akademik. Tidak perlu pendekatan struktural-kekuasaan. Lagipula, proses dialektika dunia ilmu pengetahuan 'dari sononya' diramaikan perdebatan wacana semacam ini. Atau, kalau kita pakai ‘jangan-jangan': "Jangan-jangan ini bukan soal keilmuan an sich." Bukan hal yang aneh lagi bagi kita, siapa pun yang pernah berinteraksi dengan 'dunia kampus', bahwa di dalam kampus 'atmosfir politik' malah anginnya lebih kencang hembusannya ketimbang 'atmosfir akademik'. Biasanya dimulai dari prakondisi suksesi pemilihan rektor, dekan, sampai ketua jurusan. Dimulai dari sini, dan akhirnya eh...keterusan...

Memang tak sedikit 'orang kampus' yang mencicipi sajian khas berselera posmodern, postruktural, dan sejenisnya bertingkah 'orang silau cahaya' ala Nietzschean. Dimana saja, ketemu siapa saja, itu-itu terus yang dirapalkan. Seolah-olah dunia ini hanya 'itu' saja. Kakinya seperti tak memijak bumi lagi. Persis yang saya alami ketika berdiskusi dengan salah satu teman. Sedari awal, bibirnya masih melafalkan nama-nama orang beken, katanya, "Menurut Foucault, genealogi itu bla-bla-bla-bla...dst. Nah, karena itulah kemapanan mesti didekonstruksi seperti kata Derrida bla-bla-bla-bla...dst..." Saya diam saja mendengarkan. Entah sudah berapa nama yang dia sebutkan. Setelah panjang lebar, dia diam sejenak dan langsung saya sambut,"Iya, itu orang hebat semua. Terus, habis itu kamu mau apa? Kita pesan makan, yuk." Kebetulan kami memang sedang ngobrol di warung makan. Ibu pemilik warung dari tadi sudah melihat ke arah kami terus,"Pesan makanannya kapan?" Barangkali begitu suara dalam hati si Ibu yang baik dan sabar.

Mengatakan 'ilmuwan kontemporer' itu sebagai 'pemamah' teori-teori barat seperti dituduhkan salah seorang 'ilmuwan mapan' asal dalam negeri juga sebuah kekeliruan. Perkembangan ilmu pengetahuan sebaiknya tidak melulu dibaca secara struktural, dari sudut pandang kekuasaan, anti kritik, dan paranoid pada perubahan. Khazanah ilmu pengetahuan adalah ruang dimana arus interaksi penalaran wacana yang dinamis. Tidak terjebak dalam pembekuan makna. Kebekuan makna tentunya tidak selaras dengan sifat bawaan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bukankah kemahaluasan alam semesta raya menjadi begitu kerdil bila telah ada kata final dalam penalaran dan sudut pandang?

Kalau mau jujur, polemik yang terjadi di ISI Yogyakarta di atas merupakan potret buram dunia akademik kita. Menarasikan gambaran tentang praktik dunia kampus yang mengalami kebuntuan merespon perkembangan ilmu pengetahuan. Dunia kampus yang lebih memercayai pendekatan 'kekuasaan politik' ketimbang nalar kecerdasan untuk menyelesaikan masalah keilmuan. Kalau memang kampus dan 'orang-orang cerdas di dalamnya' telah mengalami kebuntuan (deadlock), kepada siapa lagi kita akan bertanya soal keilmuan? Apa iya, ada istilah 'deadlock' dalam wacana keilmuan?
 



 

Absurditas "Kami Tidak Takut"

Sebelumnya

Manusia Fiktif dalam Dunia Fiksi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel TaraTarot