post image
KOMENTAR
SAYA sering berpikir jangan-jangan kebanyakan kita sedang mengalami neurotis atau gangguan kejiwaan. Lihatlah, kehidupan kita hari ini. Sadar atau tidak, hidup kita penuh dengan hal fiktif. Tujuan hidup, cita-cita atau bahkan sekedar mimpi dan fantasi seperti semak belukar yang tumbuh di dalam kepala, semuanya fiktif. Belum dan entah akan terwujud atau tidak di masa depan nanti. Mulai dari tingkat individu sampai masyarakat, bangsa sampai tingkat global punya cita-cita dan harapan untuk kehidupan ke depan. Cita-cita dan harapan yang fiktif karena belum terealisasi sama sekali atau malah wujud yang mewujud justru berbeda dari semula diharapkan. Sungguh, dunia kita dipimpin dan dikendalikan oleh hal-hal fiktif.

Kita menjadi neurotis karena gemar bereuforia pada yang fiktif. Meluap gegap gempita pada wacana harapan dan cita-cita. Dinyatakan lewat jargon dan cerita. Cita-cita di atas segalanya! Bebas terabas kiri-kanan dan atas-bawah. Lupa diri pada diri sendiri dan kehidupan nyata yang riil dijalani kini, saat ini, dan sepersekian detik ini. Secara kejiwaan, kesadaran kita terpaku dunia fiksi dan narasi. Dalam fantasi yang tak berpijak di bumi. Seperti seorang ayah yang mengidamkan anak lelakinya jadi seorang polisi. Anak tak minat polisi, ayah memaksa dan memaki. Ayah frustasi, anak depresi.  

  Fiksi memang punya energi yang mendorong manusia untuk memikirkan atau melakukan sesuatu. Ketiadaan tujuan hidup biasanya membuat seseorang kurang gairah. Lesu dan merasa kehidupan begitu miskin untuk dirayakan. Ibarat melakukan perjalanan, kehilangan arah dan tak tentu arah. Orang-orang di sekitar merespon negatif karena dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan umum atau nilai norma kemasyarakatan. Nilai kemasyarakatan yang berada dalam ruang 'ada dan tiada'. Entah kapan 'ada' entah kapan 'tiada', sesukanya saja. Namanya juga fiktif.

Biar bagaimana manusia butuh fiksi sebagai salah satu sarana pemanusiawian diri. Membawa diri manusia pada ruang imajinatif yang melampaui ruang dan waktu. Bisa kepada masa depan atau masa lalu. Masa depan sebagai proyeksi dan tujuan sedangkan masa lalu sebagai refleksi dan evaluasi diri. Meski keduanya fiksi, namun bisa menghadirkan petikan hikmah untuk diaplikasikan di kehidupan nyata kini. Merumuskan cara berkehidupan kini yang memetik pelajaran dari masa lalu dan mengarah pada tujuan hidup masa depan.

Ya, kita memang sekumpulan manusia fiktif dalam dunia fiksi. Lebih bijaksana untuk mengakui dan menerima bahwa sebagian dari diri kita adalah fiksi dan mengandung hal-hal fiktif. Ini kenyataan. Tidak masalah. Menjadi masalah kalau keseluruhan diri kita malah melekat erat kepada hal-hal fiktif yang hanya sebagian itu. Inilah gejala neurotis. Gangguan kejiwaan alias sakit jiwa. Badan jasmani tampak utuh tapi badan rohani ringkih dan rapuh. Bisa disadari atau tidak, diakui atau tidak sama sekali.

*Praktisi simbol & meditasi

'Orang Kampus' Deadlock?

Sebelumnya

Absurditas "Kami Tidak Takut"

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel TaraTarot