post image
KOMENTAR
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak kembali digelar pada tahun 2017. Menurut data KPU, ada 101 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada tersebut terdiri atas 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sesuai jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan oleh KPU, maka pelaksanaan hari pemungutan suara (hari pencoblosan) dilaksanakan serentak pada tanggal 15 Februari 2017 (Peraturan KPU No.7 tahun 2016)

Salah satu tahapan yang paling krusial dalam proses Pilkada ini adalah masa pencalonan (mulai pendaftaran hingga penetapan) baik pencalonan jalur perseorangan maupun melalui jalur partai politik. Sebagaima Per-KPU Nomor 7 tahun 2016 jadwal dan tahapan, maka sekarang ini, sedang memasuki masa krusial tersebut. Penyerahan sejumlah syarat dukungan terhadap calon perseorangan yang diverifikasi faktual oleh penyelenggara pemilihan (PPS :panitia pemungutan suara) yang diawasi pula oleh PPL atau Panwas). Sementara masa pendaftaran dilakukan mulai tanggal 21 hingga 23 September 2016. Seterusnya KPU Provinsi/Kabupaten/Kota akan meneliti dan memverifikasi berkas/dokumen pencalonan dan berkas/dokumen persyaratan calon dan ditetapkan hasilnya pada masa penetapan calon. Masa pendaftaran bakal calon ini sering dan sangat berpotensi timbul sengketa.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 (perubahan kedua UU Nomor 1 tahun 2015 jo Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015) yang merupakan peraturan dasar yang menjadi hukum materil (pokok) tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada Gubunernur/Bupati dan Walikota). Dalam undang-undang ini, ditentukan ada dua jenis sengketa yaitu sengketa antarcalon (calon versus calon) dan sengketa antara calon dengan KPU (calon vesus KPU) akibat keluarnya keputusan/penetapan (sebagaimana pasal 142 UU 1 jo 8/2015). Sesuai pasal 143 UU ini, maka yang berwenang menyelesaikan kedua jenis sengketa itu adalah Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Sementara sengketa hasil (perolehan suara calon) masih menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sambil menunggu terbentuknya peradilan khusus pemilu. Putusan sengketa di Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota berifat mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh para pihak terutama KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota (vide pasal 144 ayat 1 dan 2). Proses penyelesaian ini disebut sistem adjudikasi sengketa (non hasil perolehan suara). Model penyelesaiannya adalah model peradilan semu (quasi adjudication) walau semu namun substansi unsur peradilannya sama dengan peradilan murni.

Adjudikasi sengketa di Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota merupakan keunikan tersendiri dalam penyelesaian sengketa hukum di Indonesia khususnya dalam bidang kepemiluan. Norma adjudikasi sengketa ini adalah sesuatu yang baru dalam proses Pilkada sehingga menarik untuk didalami. Dikatakan unik sebab kewenangan adjudikasi adalah kewenanga  mutlak (absolut) ini diberikan oleh Undang-Undang secara khusus kepada lembaga pengawas dan tidak ada pada lembaga atau bahkan peradilan murni (PTUN). Pengawas pemilu pun pada kenyataannya, memiliki tiga fungsi  yang menyatu (three in one fungtion) yaitu fungsi pengawasan (controlling), penindakan pelanggaran (prosecution) dan penyelesai sengketa (a-judikasi). Bukanlah hal mudah memerankan sekaligus tiga fungsi itu. Tapi pembentuk undang-undang nyatanya berkehendak demikian. Adjudikasi sengketa ini sangat penting dan menentukan.Putusan Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota terkait sengketa bersifat mengikat (pasal 144 ayat 1 UU 10/2016) dan KPU wajib menindaklanjuti putusan tersebut paling lambat 3 hari kerja (pasal 144 ayat 2). Putusan (atau vonis dalam istilah  peradilan) diputuskan oleh majelis penyelesai/pemutus (pejabat Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas) paling lama 12 (dua belas) hari kalender sejak permohonan sengketa diregistrasi (dinyatakan lengkap) oleh Panwas atau Bawaslu Provinsi. Adapun yang mengatur tata cara adjudikasi (hukum formil) diatur dalam Peraturan Bawaslu (Per-Bawaslu Nomor 8 tahun 2015;vide www.bawaslu.go.id)

Sengketa akibat keluarnya keputusan/penetapan oleh KPUD dalam proses pendaftaran atau pencalonan yang kerap pula muncul misalkan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), calon dinyatakan terlambat mendaftar, bakal calon perseorangan yang tidak memenuhi jumlah dukungan, dan lain sebagainya akan menjadi objek sengketa yang akan bermuara ke penyelesaian atau adjudikasi di Bawaslu dan Panwas. Keputusan atau penetapan KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota yang berbentuk tertulis (konkrit,individual, final) sepanjang substansinya adalah menimbulkan atau merugikan kepentingan hukum seseorang atau badan hukum perdata (parpol). Dalam kaitan ini subjek penggugat adalah bakal calon/balon atau partai politik pengusung balon maupun bakal pasangan calon/bapaslon maupun partai politik pengusung bapaslon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat atau dicoret atau bahkan ditolak pada masa pendaftaran maupun masa penetapan calon.

Dalam sistem hukum administrasi (administrative law system), objek sengketa yang dijadikan gugatan (disebut : permohonan) adalah keputusan pejabat administrasi negara atau pejabat tata usaha negara. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pejabat atau badan administrasi negara yang diberi wewenang berdasarkan undang-undang sehingga setiap keputusannya layak diuji atau diawasi. Sebagai sebuah negara hukum (rechtstaat), setiap keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi negara tentunya dapat dilakukan pengawasan (controlling) maupun pengujian (toesting) jika ada warga negara yang dilangar haknya. Tentu pula, dalam teori negara hukum, dalam menjalankan pemerintahan, jika pejabat atau aparatur penyelenggara negara melakukan pelanggaran hak warga negara maka harus ada peradilan administrasi yang menyelesaiakannya. Disinilah arti pentingnya keberadaan peradilan administrasi atau sistem adjudikasi administrasi (administration of adjucation system).

Dalam kerangka penyeleggaran tahapan Pilkada, tentunya mekanisme penyelesaian sengketa administrasi  yang dibutuhkan adalah mekanisme yang berlandaskan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan (bahkan tanpa biaya). Hal ini selaras dengan prinsip dasar peradilan pada umumnya namun dalam konteks hukum Pilkada prinsip ini sangat diperhatikan dan merupakan salah satu tolak ukur penting keberadaan adjudikasi tersebut. Penyelesaian yang cepat dan tidak bertele-tele adalah roh dari adjukasi administrasi ini. Disini azas kepastian hukum (rechtmatigheid) dan kemanfaatan (doelmatigheid) yang menjadi prioritas di depan dan tentunya dibarengi adanya rasa keadilan bagi pencari keadilan (justiabelen). Kurang ada manfaatnya bila putusan sebuah sengketa pencalonan dibuat  sementara hari pemungutan suara sudah hitungan satu atau dua hari. Sekalipun putusan itu memberi kepastian maupun keadilan bagi pencarinya jika tidak bisa diaplikasikan kurang bermanfaat. Sistem hukum Pilkada yang ada, sudah memberikan limitasi waktu adjudikasi sengketa di Bawaslu dan Panwas yaitu 12 (dua belas) hari dan tahapan Pilkada  pun sudah ditentukan kerangka waktu. Korelasi, pertimbangan waktu dan kerangka tahapan disini menjadi titik perhatian pihak penyelenggara maupun pihak berwenang yaitu Bawaslu dan Panwas yang akan membuat putusan.

Dengan demikian, hakikat adjudikasi administrasi ini sejatinya sangat relevan menciptakan keadilan pemilu (electoral justice) apabila ada persengketaan yang timbul. Adjudikasi menjadi sarana untuk mendapatkan keadilan pemilu pula. Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan : pertama, Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota adalah sarana yang penting untuk menyelesaikan sengketa baik antar calon maupun calon dengan KPU sebagai akibat keputusan yang dikeluarkannya. Kedua, waktu penyelesaian sengketa 12 hari kalender dan putusan bersifat mengikat dan wajib ditindaklanjuti KPU. Ketiga, dalam sengketa administrasi (keputusan atau beschikking yang menjadi objeknya), Bawaslu dan Panwas sebagai lembaga/majelis banding administrasi (administrative beroep) yang wajib dilalui sebelum ke PT-TUN, dikatakan lembaga banding karena Bawaslu dan Panwas berada diluar hirearki KPU. Keempat, dalam memutuskan sengketa Bawaslu atau Panwas mempertimbangkan dua aspek yaitu tidak hanya aspek rechtmatigheid (fakta atau kepastian hukum) tetapi juga aspek doelmatigheid (kegunaan atau kemanfaatan) sekaligus secara proporsional, kedua aspek ini yang membedakan dengan peradilan murni.Kelima, Bawaslu Provinsi dan Panwas sebagai lembaga atau majelis banding administrasi tentunya haruslah memiliki batu uji yang standard dalam memutuskan suatu sengketa. Keenam, majelis atau pejabat yang memutuskan tentunya harus memiliki kapasitas dan kemampuan yang mumpuni berupa ethos (etik/moral), phatos (berempati dan menguasai masalah ) dan logos (kemampuan dan keterampilan teknis hukum).

Maka dengan demikian untuk memastikan ethos, phatos dan logos ini, perlu diperkuat peningkatan kapasitas (capacity building), perlu kesiapan sarana/prasarana yang mendukung, dukungan advokasi hukum (expert/ahli/konsultan hukum) karena kerap dijumpai pejabat atau komisioner Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota bukanlah berlatar belakang pendidikan hukum. Perihal ini sangat penting dan strategis, karena putusan yang dibuat oleh Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota. Diluar itu, perlu dipastikan transparansi dan pertanggungjawaban terhadap putusan yang diambil. Dalam kaitan ini, ada mekanisme pengawasan etik (dewan kode etik) yang bekerja jika ada dugaan pelanggaran etik yang tentunya dengan pembuktian yang beralasan dan kuat.***


*** Penulis adalah lulusan Magister Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan sekarang menjabat selaku pimpinan Badan Pengawas Pemilu Provinsi Sumatera Utara periode 2013-2018.


Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Sebelumnya

Delapan Butir Maklumat KAMI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini