post image
KOMENTAR
BEBERAPA waktu terakhir ini pers yang memihak, media yang berbohong berikut pemilik media yang berpolitik, ramai dipersoalkan.

Surya Paloh dengan Metro TV merupakan contoh paling aktual dan faktual.

Metro TV dianggap banyak menyampaikan berita 'bohong' terutama tentang Aksi Super Damai 212.

Akibatnya antara lain muncul petisi yang mendesak agar izin siaran Metro TV dibekukan oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).

Namun yang menarik untuk dipertanyakan atau dipersoalkan - wajarkah Surya Paloh sebagai pemilik untuk disalahkan? Patutkah Metro TV diboikot dan dicabut izin siarannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya coba berikan contoh, yang mungkin bisa membuka cakrawala berpikir yang lebih baru.

Stasiun televisi berbasis di Amerika, CNN misalnya melakukan kesalahan atau berbohong dalam meliput tentang Indonesia. Sehingga kita sebagai bangsa bermaksud mempermasalahkan media tersebut.

Lalu apakah kita akan menempatkan Ted Turner, pemiliknya sebagai pihak yang bersalah?

Atau harian The Australian yang berbasis di Sydney melakukan hal serupa. Apakah Ruppert Murdoch pemiliknya yang harus kita persalahkan?

Dalam bisnis media, di broadcasting maupun cetak, berlaku sistem pembagian tugas dan tanggung jawab. Antara Metro TV dan CNN, ada kesamaannya. Demikian pula antara The Australian dan Media Indonesia.

Di Indonesia, hirarki pertama yang bertangung jawab atas pemberitaan adalah Pemimpin Redaksi atau Direktur Pemberitaan.

Dengan sistem ini, menjadi tak wajar jika Surya Paloh yang bukan Pemimpin Redaksi ataupun Direktur Pemberitaan. lantas diposisikan sebagai pihak yang bersalah.

Jadi, jika kita menyalahkan Surya Paloh, hal itu sama saja dengan mempersalahkan Ted Turner, pemilik CNN ataupun Ruppert Murdoch, pemilik The Australian.

Pada tahun 2003 Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sangat marah atau menyalahkan RCTI. Kemarahan sang Jenderal yang mantan Komandan Paspampres di era Presiden Soeharto itu, bersumber pada peliputan RCTI tentang Aceh. Khususnya dengan kehadiran GAM atau Gerakan Aceh Merdeka di sana.

Panglima menilai pemberitaan RCTI lebih memihak kepada GAM ketimbang NKRI. Atas penilaian itu, pimpinan RCTI pun diminta menghadapnya di Mabes TNI Cilangkap.

Didampingi oleh tiga Jenderal  yang bertanggung jawab atas bidang Intelejen, Operasi dan Teritorial, plus Mayjen Sjafrie Samsuddin selaku Kapuspen TNI, Panglima TNI menyidang pimpinan RCTI.

Tapi satu-satunya yang dijadikan sasaran kemarahan, termasuk teguran keras, bukanlah Harry Tanoesudibyo sebagai pemilik. Harry Tanoe memang hadir di situ. HT bahkan diminta tidak boleh bicara.

Sebab yang dianggap pihak bersalah adalah Pemimpin Redaksi. Kebetulan saat itu yang menjabat sebagai Pemred, saya sendiri.

Cara yang dilakukan Panglima TNI - seperti itu merupakan sebuah prosedur yang tepat dan benar.

Selain Metro TV, pada masa Pilpres 2014, TVOne juga sempat dituding menyiarkan beberapa berita bohong. Tapi yang dipersalahkan bukan Aburizal Bakrie, pemiliknya. Melainkan Pemimpin Redaksinya, Karni Ilyas.

Lantas apa yang menyebabkan dalam kasus Aksi Super Damai 212, Surya Paloh menjadi sosok yang disalah-salahkan, sementara dalam kasus TVOne, Aburizal Bakrie, tidak demikian?

Saya melihat ada mispersepsi dan miskonsepsi, serta kerancuan dan kesemrawutan berpikir dalam masyarakat kita.

Surya Paloh, karena sangat sering tampil di layar tv miliknya sendiri, dipersepsikan sebagai pemilik yang memanfaatkan medianya untuk kepentingan pribadi.

Surya Paloh dengan Metro TVnya yang kebetulan berhasil membela Joko Widodo di Pilpres 2014, dipersepsikan sebagai tokoh politik yang menggunakan Metro TV untuk kepentingan rezim Joko Widodo.

Ini merupakan sebuah kerancuan dan kesemrawutan.

Kerancuan itu semakin menjadi-jadi ketika kedudukan Surya Paloh sebagai pemimpin Partai Nasdem dan pemilik Metro TV, dicampuradukkan. Lagi pula terlalu banyak berita  Nasdem yang berisikan propaganda disiarkan Metro TV.

Mestinya ada pembatasan atau pembuatan kanal tersendiri.

Dengan teknologi digital yang ada, mestinya Metro TV menciptakan Kanal Partai Nasdem seperti halnya TVOne menciptakan kanal TVOne Sport.

Di luar itu, pencampur adukan ini boleh jadi dipicu oleh  persepsi bahwa Pemimpin Redaksi ataupun Direktur Pemberitaan Metro TV hanya bonekanya Surya Paloh. Sebagai boneka, mereka hanya mau melakukan ASPS - Asal Surya Paloh Senang.

Apapun yang diperintahkan Surya Paloh, kepala pemberitaan nurut saja.

Entah demikian keadaannya atau tidak sama sekali, yang pasti kerancuan dan kesemrawutan itu harus dikoreksi.

Pengalaman saya sebagai wartawan yang digaji Surya Paloh selama 13 tahun (1986-1999), boleh jadi bisa dijadikan rujukan.

Saya punya penilaian dan catatan tersendiri terhadap putera Indonesia asal Aceh ini.

Saya banyak terlibat dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di harian Prioritas”, Vista”, Media Indonesia” dan koran-koran daerah yang masuk dalam Surya Persindo Group”.

Selama itu, saya tidak merasakan adanya sikap Surya Paloh yang senang menempatkan bawahannya sebagai boneka. Kami berdikusi tapi juga berdebat.

Bahwa kecenderungan Surya Paloh mau memaksakan keinginan dan agendanya, tetap ada. Dan bagi saya, itu normal dan sah-sah saja. Wong duit yang membiayai media kami dapatkan dari dia.

Tapi tidak ada kejadian yang sifatnya memaksa apalagi tak menghormati pendapat. Bahkan salah satu kebiasaan Surya dalam menentukan keputusan di sebuah rapat, semua peserta lebih dulu memaparkan pandangannya. Semua berhak bicara termasuk mengeritik apa yang dilakukan Surya Paloh.

Jadi semuanya terpulang kepada masing-masing.

Menghadapi Surya Paloh, jangan pernah menempatkannya sebagai pemimpin yang untouchable”. Apalagi yang tidak bisa didebat.

Dalam kasus Metro TV menyiarkan berita ‘bohong’ saya tidak yakin hal tersebut sebagai akibat dari kebijakan Surya Paloh.

Karena Surya bukanlah manusia yang tidak berpikir jauh ke depan dan luas.

Dia tahu resiko yang akan diterima oleh medianya, jika menjadi pendistribusi berita bohong. Surya Paloh di mata saya masih merupakan seorang pendobrak kekakuan dan kebuntuan, terutama dalam peran media dan wartawannya.

Dia masuk kategori manusia yang dilahirkan terlalu cepat oleh republik ini. Akibatnya, prilakunya banyak yang kelihatan aneh dan kontroversil.

Terjadinya ‘berita bohong’ ciptaan wartawan Metro TV, boleh jadi karena keteledoran, kesalahan manusiawai maupun akibat kurang profesionalnya awak Metro TV yang meliput berita sensitif.

Masalahnya berkembang menjadi kontra produktif, karena sikap Metro TV yang tidak mau mengaku salah apalagi minta maaf. Pengasuh Metro TV, akibatnya dikesankan terlalu arogan.

Penampilan Surya Paloh yang selalu dandy, ditambah tampangnya yang brewokan, mengesankan pengusaha yang berayahkan seorang polisi ini, terkesan arogan.

Kesan itu kemudian menciptakan stigma, termasuk bagi stasiun televisi yang tahun ini merayakan kelahirannya yang ke-16 tahun. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Menghilangnya Karakter Kebangsaan pada Generasi Z

Sebelumnya

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini