post image
KOMENTAR
Sepanjang sejarah, kerjasama bilateral yang pernah dibangun, Indonesia selalu mengalami kerugian, dimana para pemimpinnya tidak terlalu mementingkan negari maupun rakyat. Hal itu telah dimulai sejak kekuasaan Orde Baru digelar dan terus beregenerasi dari satu pemimpin ke pemimpin selanjutnya.

"Berdasarkan pengalaman selama ini, kerja sama Indonesia dengan negara mana saja cenderung menjadi kerja sama yang tak berimbang. Indonesia sering dijadikan sebagai sapi perahan. Ada beberapa sebab, pertama, pemerintah Indonesia tidak memiliki prinsip yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan negara dan bangsanya untuk lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kisah awal orde baru (Orba) ditandai dengan pemangsaan yang sangat tak berdaya. Dari satu ke lain presiden pola itu terjadi. Bantuan-bantuan dari lembaga bantuan malah banyak dikorupsi," kata pengamat sosial dan politik  Drs Shohibul Anshor Siregar di kediamannya Jalan Cendrawasih III No 339, kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang,

Terkait hal di atas, Sohibul menilai, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Tiongkok untuk membangun kerjasama bilateral merupakan sebuah jalan-cerita yang panjang.

Dalam catatan sejarah, lanjut Sohibul, Indonesia pernah menghentikan hubungan politik kedua negara pada tahun 1965 silam. Setelah itu terjadi, Tiongkok malah meraup keuntungan besar dari Indonesia sehingga perekonomiannya tak seimbang.

"Jika kini Jokowi meneguhkan kerjasama dengan Tiongkok, itu adalah sebuah skenario yang sudah panjang," ujar dia.

Dikatakan Sohibul, Indonesia telah lama menjadi destinasi bagi pendatang asal negeri tirai bambu untuk berdomisili. Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, WNI asal Tiongkok sangat bebas sehingga diberikan kesempatan untuk mengendalikan pembangunan, serta memiliki dukungan ekonomi yang kuat. Sehingga usah-usaha asli Indonesia mengalami kebangkrutan.

"Kedua, Indonesia sudah lama menjadi negara perantauan masyarakat Tiongkok. Perang candu yang terkenal di Indonesia, itu pelakunya orang-orang Tiongkok. Pada zaman Soeharto, kemaharajalelaan WNI asal Tiongkok itu sangat perkasa di Indonesia. Ia mengendalikan pembangunan, memiliki support terhadap basis ekonomi dan pertumbuhan yang sangat eksklusif. Bahkan usaha-usaha pribumi seperti Bank Batak, Syarikat Tapanuli, Atjeh Kongsi, semua gulung tikar," tambahnya.

"Ketiga, dunia sekarang sedang berubah peta ekonomi dan geopolitik. Tiongkok dengan segenap kekuatan inteligennya yang memasok berbagai informasi yang akurat terhadap para pelaku ekonominya sangat jauh diatas kemampuan Indonesia. Dari dahulu hingga sekarang Indonesia mengeluhkan modal, ahli dan teknologi. Itu karena para pemimpinnya malas dan berwatak komprador," tuturnya. [hta]
 

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Ekonomi