post image
KOMENTAR
MBC.  Enam hari sudah tiga paket kebijakan ekonomi racikan Presiden Jokowi aktif. Namun, belum ada tanda-tanda resep itu bereaksi. Hingga kemarin, rupiah masih di bawah tekanan dolar AS, daya beli masyarakat loyo, dan PHK (pemutusan hubungan kerja) makin tak terhindarkan, terus terjadi di mana-mana.
 
Jokowi mengumumkan paket kebijakannya pada Rabu (9/9). Paket yang berisi tiga poin itu dinamai Paket September 1. Isinya, pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan. Ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti.

Jokowi berencana mengeluarkan paket susulan akhir September dan awal pertengahan Oktober nanti. Namun, reaksi dari paket pertama saja belum terlihat. Berdasarkan data Bank Indonesia, sampai kemarin, nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp 14.234 sampai Rp 14.378 per dolar AS. Padahal, sebelum paket kebijakan itu dikeluarkan, nilai tukar rupiah sempat menguat sampai di atas Rp 14.200.

Dari sisi industri, sebagian perusahaan mulai kolaps dengan merumahkan sebagian pekerjanya. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, sampai 1 September 2015 sudah terjadi PHK terhadap 26.506 orang. Daerah yang paling banyak terjadi PHK yaitu Jawa Barat, sekitar 12.000 orang. Disusul Banten 5.424 orang, Jawa Timur 3.219 orang dan Kalimantan Timur 3.128 orang. DKI Jakarta berada di posisi kelima dengan jumlah tenaga kerja yang kena PHK sebanyak 1.430 orang.

Dari sisi investasi, paket kebijakan itu juga belum menolong banyak. Buktinya, lelang surat utang negara (SUN) yang diandalkan dapat mendorong masuknya dana segar malah nggak laku. Sampai akhir pekan lalu, pemerintah baru menerima penawaran dari empat seri SUN yang ditawarkan sebanyak Rp 216 miliar. Rinciannya, SUN seri FR0030 sebesar Rp 55 miliar, seri FR0060 sebesar Rp 45 miliar, seri FR0028 sebesar Rp 111 miliar dan seri FR0038 sebesar Rp 5 miliar.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta menilai kondisi ini terjadi karena paket kebijakan pemerintah tidak ada yang istimewa. Para pengusaha melihat belum ada hal baru yang dikeluarkan pemerintah.

"Saya lihat paket kebijakan ini tidak ada yang istimewa. Ini hanya menunjukkan pemerintah mengakui ada yang salah," ucapnya dalam diskusi di Gedung Dewan Pers, kemarin.

Menurut Tutum, deregulasi kebijakan yang termuat dalam paket kebijakan ekonomi tak cukup merangsang para pengusaha mendapatkan berbagai macam kemudahan. Dia berharap, dalam paket kebijakan kedua pada akhir September dan Oktober nanti Presiden Jokowi melakukan perbaikan.

Di sektor perdagangan, kata dia, masih banyak yang harus dideregulasi. Salah satunya aturan pembukaan toko modern baru. Surat Edaran Menteri Perdagangan Nomor 1310/M-Dag/SD/12/2014 tentang Perizinan Toko Modern berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 dan Permendag Nomor 70 Tahun 2013 untuk menerbitkan izin sementara toko modern bagi daerah yang belum punya rencana detail tata ruang (RDTR).

Deregulasi atas surat edaran tersebut sangat penting bagi kepastian usaha peritel. Karena hingga saat ini baru ada sembilan provinsi yang sudah menyelesaikan tata ruangnya. Surat edaran tersebut menunjukkan bahwa peraturan di satu kementerian tidak sinkron dengan peraturan kementerian lain.

Jika regulasi tersebut tidak segera dibenahi, lanjutnya, sama saja para pengusaha ritel dipersulit melakukan ekspansi toko baru. Padahal, sektor ritel merupakan salah satu penyerap tenaga kerja di sektor riil. Untuk ukuran minimarket saja, setidaknya menyerap 10 karyawan. Setiap tahun, sebanyak 2.000 minimarket baru tumbuh di Indonesia. Belum lagi toko modern yang lebih besar skalanya.

"Itu yang bekerja langsung saja. Yang tidak langsung, kantor pusatnya nambah orang, distributornya, pemasoknya (juta tambah). Kalau pemerintah tidak peka yang seperti ini, saya kira kita akan tambah dalam, krisis muncul tambah cepat," ucapnya.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin berharap, paket kebijakan ekonomi selanjutnya akan lebih terperinci dan menyentuh sektor pertanian. Perbaikan di sektor industri saja tidak akan banyak membantu ekonomi nasional. "Pertanian juga sangat penting bagi perekonomian negara," kata Bustanul.

Paket kebijakan ekonomi bidang pertanian berupa kemudahan pembiayaan akan menolong petani untuk berkembang. "Saya diskusikan soal ini sampai lelah. Petani juga butuh kemudahan pembiayaan sebagai agen swasembada pangan," imbuhnya.

Dari pemerintah, Menko Perekonomian Darmin Nasution agak sewot dengan komentar sebagai pengamat yang menyangsikan implementasi paket kebijakan itu. Eks Gubernur BI ini memastikan pemerintah akan menindaklanjuti semua kebijakan yang ada dalam Paket September 1.

"Memang banyak komentar yang menyatakan, yang penting implementasinya. Itu sebenarnya komentar standar setiap kebijakan dikeluarkan. Tapi kitapertimbangannya dengan sungguh-sungguh. Kemudian menyiapkan apa yang bisa dijelaskan lebih lanjut," jelas Darmin, sesaat sebelum terbang ke Timur Tengah untuk mendampingi kunjungan Presiden Jokowi, Jumat (11/9).  [hta/rmol]

 

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi