MBC. Dalam sejarah peradaban kita mengenal sebuah istilah yang tak asing didengar dan dipraktikkan pada kehidupan manusia dalam satu tatanan kehidupan yang disebut dengan negara: “perang” dalam arti sesungguhnya.
Dalam sejarah peperangan yang terjadi dalam peradaban manusia, ada pembedaan secara konsep peperangan yang secara nyata disaksikan oleh dunia. Pembedaan tersebut dibagi dalam dua bentuk, yakni perang konfensional dan perang modern. Dalam perang konfensional yang terjadi sepanjang abad ke 19, (yang dikenal dengan perang dunia I dan perang dunia II), aspek perebutan kekuasaan ditentukan oleh perluasan wilayah jajahan/kekuasaan. Maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa semakin berkuasanya sebuah negara atau peradaban, ditandai dengan semakin meluasnya wilayah teritorial yang dapat ditaklukkan dengan senjata dan kekerasan.
Kali ini masyarakat Indonesia (bahkan seluruh dunia) menyaksikan dan ikut merespon sebuah tragedi perang modern (yang pada mulanya ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi). Adalah tragedi “chaos Sarinah”, pada kamis, 14 Januari 2016, yang saat ini menggegerkan seluruh masyarakat Indonesia.
Kondisi ini dikategorikan sebagai perang modern yang dalam kontestasinya adalah menguasai dan menyebarluaskan wacana. Kelompok teroris ISIS dalam hal ini adalah pihak yang diduga bertanggung jawab terhadap aksi teror yang dilakukan di jalan MH Thamrin tersebut.
Sejauh ini tidak begitu jelas apa target yang ingin dicapai oleh kelompok teroris tersebut dalam insiden penyerangan ini. Secara simbolis dapat diinterpretasikan bahwa kelompok teroris ini mampu menyampaikan eksistensi mereka di Indonesia.
Seperti yang diungkapkan oleh mantan ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abbas menyatakan bahwa kombinasi antara ledakan bom dan serangan terhadap aparat polisi di kawasan Pos Polisi Sarinah, jalan Thamrin Jakarta Pusat, sesungguhnya sinyal bahwa ISIS benar-benar sudah ada di Indonesia (jpnn.com, 14/1).
Dalam hal ini berkembang pula wacana bahwa pelaku teror kali ini ingin menyebarluaskan sayap pergerakan ISIS di Indonesia dan menunjukkan bahwa pergerakan ISIS di Indonesia cukup mumpuni untuk mendapatkan pengakuan jaringan teroris internasional.
Apapun motif dari tindakan penyerangan tersebut, terlepas dari apakah pelaku penyerangan tersebut adalah benar dari kelompok ISIS atau bukan, yang pasti dan mutlak terjadi dalam penyerangan tersebut adalah berhasilnya kelompok teroris mengembangkan wacana ketidakamanan Indonesia dari ancaman terorisme (Indonesia selaku negara anti terorisme).
Kali ini kelompok teroris tersebut berhasil mengimplementasikan apa yang disebut dengan spectacle teory secara sosiologis. Asumsinya adalah, bahwa kelompok teroris tersebut mampu mengembangkan wacana hingga mencuat keseluruh penjuru Negara dengan aksi teror yang tergolong sederhana dalam teknis pelaksanaannya.
Keunggulannya adalah dalam penyerangan kali ini kelompok teroris tersebut mampu mengambil celah yang tepat berupa ruang dan waktu yang tepat.
Aksi teror dilakukan pada jantung kota Jakarta (pusat perekonomian, pusat perbelanjaan bersejarah, tidak jauh dari pusat pemerintahan, dilengkapi dengan tersedianya merk dagang kapitalis, dan lain sebagainya). Ditambah lagi dengan berakhirnya tenggat waktu penawaran saham freeport Indonesia yang bertepatan dengan tanggal penyerangan tersebut.
Agaknya pelaku teror sedikit melihat ini akan menjadi pengalihan isyu yang menguntungkan mereka untuk mencuatkan wacana teror yang meraka lakukan.
Sejatinya terorisme secara konsep adalah perlawanan terhadap lembaga negara dalam menyampaikan suatu paham, nilai atau ideologi tertentu. Dalam hal ini sekali lagi kelompok teroris tersebut berhasil menyampaikan wacananya. Terbukti dengan kondisi gamang yang dialami aparatur negara dengan timbulnya sikap saling tuding dan saling melemahkan antara satu lembaga dengan lembaga lain. Dalam hal ini sepertinya yang banyak mengalami sorotan adalah isyu tentang melemahnya lembaga Badan Intelijen Negara.
Seperti yang disampaikan oleh ketua DPR Ade Komaruddin (Kompas.com, 14/1) bahwa Badan Intelijen Negara kali ini mengalami kebobolan dalam menangani aksi teror tersebut. Kondisi ini juga membuat wajah Negara Indonesia, terutama lembaga yang menjaga stabilitas keamanan tercoreng di mata dunia internasional dan rakyat Indonesia sendiri. Kejadian ini menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap lembaga negaranya.
Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini pada dasarnya adalah penyerangan terhadap sendi-sendi negara yang akhirnya berdampak pada bergejolaknya stabilitas nasional. Dalam interpretasi struktural fungsional dalam sosiologi, kejadian ini disebut dengan disekuilibrium sosial yang berakibat pada kepincangan setiap sendi-sendi pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan keamanan negara.
Kondisi ini tidak dapat dipungkiri akhirnya memancing berbagai respon terutama oleh rakyat Indonesia sendiri. Dalam kondisi ini yang dapat menyelesaikannya adalah lembaga negara itu sendiri. walaupun dalam penggiringan wacana seolah-olah masyarakat secara tidak langsung diarahkan untuk memunculkan sisi nasionalismenya.[hta]
KOMENTAR ANDA