Tiket
menuju Blora, Jawa Tengah telah menyelip diantara genggaman tangan
kananku, siap untuk ditukarkan menjadi bangku empuk yang dapat dibawa
terbang. Alamak, langit tak sampai berganti kulit aku sudah tiba di
tujuan. Masih saja malam yang menyambutku di Blora, sekilas tampak tidak
ada bedanya dengan di Medan.
Prass, seorang
sahabat yang telah menunggu di Blora langsung membawaku ke sebuah rumah
yang menurut pengakuannya, tempat itu memiliki nilai sejarah yang
tinggi. Rumah itu adalah rumah kakeknya. Rumah tua bertingkat dua dengan
pagar berhias karatan menjadi bukti awal bahwa rumah ini memang punya
sejarah. Masuk ke dalam rumah, benda-benda mati warisan orde lama dan
orde baru terlihat kompak menyapaku dengan nyanyian bisunya. Semakin
terlihat tanda-tanda kesejarahan di sini. Tapi kemudian hatiku
berkata,"kalau hanya rumah tua dan benda-benda peninggalan orde lama
atau orde baru, di Medan juga masih mudah ditemukan, bukan sesuatu yang
luar biasa".
Hati yang berkata tadi hampir
membimbing tubuh ini untuk menyerah mencari nilai kesejarahan yang
spesial. Mata ikut-ikutan latah menggoda seluruh organ tubuh untuk
beristirahat. Belum sempat ku tanyakan dimana tubuh ini bisa berbaring,
segelas kopi dan sebungkus rokok tiba-tiba sudah tersedia di sebuah meja
kerja yang dibelakangya terdapat tumpukan buku-buku usang. Nasib sial
untuk nafsu tidurku, mesti tertahan sejenak demi rasa segan yang tidak
dapat dibendung lagi, alih-alih aku sedang bertamu. Dengan mata sayu dan
tubuh yang sudah layu ini, aku ladeni sesajian yang telah dibuatkan
Prass. "Ini rokok untuk dihisap, kopi untuk diminum, jangan malu-malu,
santap sepuasnya, tidak ada calon istrimu di sini," kata Prass tanpa
empati kepadaku yang sudah ingin bersenggama dengan kasur.
Hangatnya
kopi masih terasa di dinding gelas. Aromanya yang memang sangat ku
senangi memaksa masuk ke kedua lubang hidungku. Irama pekat nikmatnya
kopi dan rokok bergantian memeluk lidah. Kami memang sama-sama penggemar
kopi dan rokok. Selain menggemari kedua hal yang dibenci calon istriku
itu, kami juga gemar hidup bebas, dinamis, berontak dan hal-hal popoler
di kalangan aktivis lainnya. Dia bertanya padaku tentang bagaimana
semangat menyambut hari kebangkitan nasional di Medan. Malu-malu aku
berkata padanya,"Payah aku bilangnya, Medan seperti tidak lagi memiliki
spirit. Yang muda asik dengan onani-onaninya mulai dari onani biologis
hingga onani ideologis. Yang tua asik berebut eksistensi, melihat
masalah hanya dari kesenangan subjektifnya belaka, tidak pernah mencoba
secara bersama-sama mengembalikan Medan menjadi kota yang memiliki nilai
sejarah, perjuangan, dan spiritual tinggi".
Prass
tertawa terbahak-bahak mendengar curhat dadakanku sembari mengangkat
tubuh cungkringnya dari kursi. Rambut keriting sebahu Prass mengayun
mengikuti langkah kakinya menuju rak buku di depan kami. Ia ambil empat
buah buku karya kakeknya yang dari jarak kurang lebih dua meter aku
sudah mengenali buku itu. "Kamu pasti sudah baca buku ini kan? Ada
alasan khusus kenapa buku ini ku ambil untuk sekedar kita pandangi. Di
buku ini diceritakan seorang bangsawan Jawa yang bangga disebut sebagai
monyet. Bersematkan panggilan 'monyet', ia tidak memperdulikan
kesenangan subjektifnya. Ia malah sangat berbangga hati melepaskan
segala embel-embel kebangsawanan demi dapat berjuang membebaskan rakyat
dari belenggu penindasan kompeni dan ambtenar. Sosok si monyet ini
adalah kebalikan dari kaum tua di kotamu itu," diceramahinya aku karena
kesalahan kaum tua itu.
Tunggu dulu, seperti
ada yang aneh. Prass berkata rumah tua ini adalah rumah kakeknya dan
keempat buku itu adalah karya kakeknya. Langsung ku pelototi dan ku
hardik ia, "Kenapa tidak dari dulu kau katakan kalau kau itu cucunya si
'anak renaisans'? Kenapa tidak dari dulu kau katakan kalau kau itu
produk biologis dari jejak sejarah?". Astaga, dia benar-benar cucu dari
seorang kakek tua penggemar Gorky, sastrawan yang pernah diasingkan di
Pulau Buru.
Belum sempat aku kandaskan hardikan
mulut dan hati, Prass sudah nyeletuk,"Untuk apa aku bilang padamu yang
sebenarnya? Aku buka rahasia ini padamu karena kau ceritakan masalah
kotamu itu, aku kasihan. Mudah-mudahan sepulangnya ke Medan, bisa kau
sampaikan kepada kaum muda dan tua itu. Bahwa untuk dapat kembali
bangkit, jangan sertakan pamrih dalam perjuangan. Yang harusnya kalian
bangkitkan dan perjuangkan itu adalah ruh dan spirit kota Medan, bukan
nama harum semerbak yang kemudian disombongkan. Biarlah harum semerbak
itu menjadi hak para bunga bangsa sejati. Belajarlah dari si monyet
sakti dari Jawa itu, ia tak peduli bagaimana namanya disebut. Yang
penting baginya, saudara sebangsa dan setanah air dapat terlepas dari
segala ketertindasan".
Aku tertegun menahan
malu dan beban berat mendengar nasihatnya tentang kotaku, Medan
tercinta, Medan yang penuh perjuangan dan semangat. Mungkin ia telah
berhasil mengidentifikassikan rasa maluku. Dicairkannya suasana dengan
mengangkat gelas dan mengatakan,"selamat hari kebangkitan nasional
kawan".
#NikmatnyaSeranganFajar
#NikmatnyaSeranganFajar
KOMENTAR ANDA