post image
KOMENTAR
Terkadang si Anu akan berkata,"jangan memperumit bahasa, katakan saja yang sederhana agar semua dapat mengerti". Namun ketika sebuah pembahasaan dibuat sederhana, justru si Anu akan mensimplifikasinya. Menggunakan tafsiran seenaknya, selunak ubun-ubunnya.

Contoh, Ketuhan Yang Maha Esa. Aturan tentang kepercayaan yang dilegitimasikan oleh konstitusi akan diterjemahkan si Anu sebagai suatu kepercayaan yang Tuhannya atau agamanya memiliki nama besar dan tersohor. Kemudian si Anu tanpa rasa bersalah akan menjustifikasi komunitas lain yang memiliki agama atau bahkan Tuhan yang ia tak pernah dengar merupakan kejahatan. Kita tinggalkan si Anu dengan segenap keluguan yang merugikan tersebut.

Ketuhanan Yang Maha Esa lebih lanjut dijelaskan pada UUD 1945, tepatnya Pasal 29. Ada dua rangkaian silogisme yang dapat kita paparkan dari Pasal tersebut.

Termin Pertama. Premis Mayor, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Premis Minor, Agama leluhur menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Konklusi, Agama leluhur wajib diakui Negara.   

Termin Kedua.Premis mayor, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Premis minor, penganut agama leluhur adalah penduduk Indonesia. Konklusi, Negara memiliki kewajiban untuk menjamin kemerdekaan penganut agama leluhur untuk memeluk kepercayaannya.

Kedua termin yang didasari oleh Konstitusi Indonesia tersebut adalah sebuah testamen ideal. Keidealan tersebut tidak bisa tidak dijalankan oleh seluruh manusia yang berlindung dibawah kekuasan hukum Indonesia. Namun pada kenyataanya, ideal hanya sampai pada selembar kertas dan kicauan. Tetap saja, para penganut agama leluhur dipaksa untuk menjalani hidup dengan lingkup sosial yang ekslusif.

Suatu ketika, komunitas penganut agama leluhur menggelar kegiatan pesta rakyat. Mendekatkan diri pada inklusi sosial lewat seni budaya dan tradisi adalah substansi dari pesta rakyat tersebut. Dan ini adalah upaya untuk yang kesekian kalinya. Berhasil atau tidaknya, tak sekadarpun mereka dapat menentukannya.

Tidak ada yang berbeda antara mereka dan kita. Bahkan dalam segala pembahasaan, rasa-rasanya tidak pantas disebutkan 'mereka dan kita'. Pesta Rakyat tetap diawali dengan lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Segala aktivtas juga didasari oleh niat dan cita-cita menjadikan Indonesia maju, terbang tinggi Garudanya melewati simbol-simbol negara lain. Banyak ihwal lainnya yang menunjukkan tiada perbedaan. Satu, menyatu, dan bersatu.

Tuhanku dan agamaku adalah salah satu yang besar dan tersohor. Tapi aku merasa tidak pernah diajarkan untuk mengejek dan menjustifikasi penganut agama lain adalah jahat dan bakal masuk neraka. Dalam setiap pergantian fajar menuju pagi, aku selalu berharap kita semua merasa begitu.

Negara dan Konstitusi Indonesia juga tidak pernah menjadikan penganut agama leluhur sebagai seorang alien. Tidak pernah menganggap penganut agama leluhur bukan bagian dari Indonesia. Namun mengapa mereka merasa mendapat ketidakadilan untuk setiap urusan administrasi Negara. Didiskreditkan, dimarjinalkan, disusahkan. Bahkan yang bukan Negara, bisa dikatakan lembaga swasta, kata mereka juga melakukan hal yang serupa.

Kalau  tetap saja menganggap komunitas yang minor itu patut disalahkan dan dimarjinalkan, maka kita semua marjinal, harus disalahkan. Kita semua sangat minor dalam perwujudan individu masing-masing. Satu-satunya cara agar status mayor dapat disematkan dalam diri kita adalah dengan menjadi manusia. Bersatu dalam kemanusiaan. Tidak menganggap manusia dengan agama dan nama Tuhan yang berbeda adalah musuh.        

Segala keluh kesah para penganut agama leluhur yang mengalami ekslkusi sosial akan mengkristal menjadi sebuah gema. Gema yang berbunyi, "Kami juga Indonesia, hiduplah Indonesia Raya!".[rgu]



Jutaan Umat Islam Indonesia Telah Bersatu Dalam Gerakan Masif, Tak Pernah Disangka

Sebelumnya

Ketergilasan Gerakan Masif Jutaan Umat Islam Indonesia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Serangan Fajar