post image
KOMENTAR
Setiap tahun pemerintah Indonesia selalu menganggap kedatangan bulang Ramadhan sebagai ancaman terhadap ketersediaan pangan nasional. Menurut asumsi pemerintah yang berkembang dimedia-media cetak ataupun media elektronik adalah disetiap bulan Ramadhan terjadi peningkatan permintaan dari masyarakat tetapi pangan yang tersedia tidak mencukupi (terbatas) memenuhi jumlah permintaan sehingga berdampak pada kenaikan harga dipasaran.

Menyelesaikan permasalah tersebut pemerintah dengan pikir pendek selalu menggunakan kebijakan impor pangan sebagai solusi. Menurut data yang diperoleh dari  Departemen Kementerian Pertanian pada tahun 2013 jumlah impor pangan pada bulan Juli mencapai 1.721.189 ton, kemudian pada tahun 2014 impor pangan pada bulan Juni yaitu 1.889.583 ton  dan pada tahun 2015 impor pangan pada bulan Juni yaitu 1.703.915 ton begitu juga menjelang bulan Ramadhan tahun 2016 pemerintah mengimpor gula mentah, daging beku 27.400 ton, kemudian kementrian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Rini Soemarno gencar mewacanakan impor pangan seperti bawang merah sebanyak 2.500- 5000 ton, dan beberapa lainnya melalui Perum Bulog, PT Berdikari dan Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

Dapat dipastikan bahwa setiap tahun ketersedian pangan nasional menjadi permasalahan bangsa Indonesia, dan hal ini tidak hanya terjadi dibulan Ramadhan saja. Contohnya diawal tahun 2016 sejak bulan Januari pemerintah telah melakukan impor pangan sebanyak 2.116.363 ton, pada bulan Februari turun menjadi 2.054.195 ton dan pada bulan maret kembali naik menjadi 2.289.098 ton, kemudian berdasarkan data BPS pada bulan April pemerintah Indonesia melakukan impor bawang putih mencapai 29.346 ton (Negara asal China dan India), cabai awet sementara  dengan total impor 48,3 ton (dipasok dari Malaysia dan Vietnam), lalu Impor kentang tercatat sebanyak 3.069 ton.

Artinya sikap pemerintah Indonesia mengambil jalan impor sepertinya lebih menggunakan prinsip ketahanan pangan dimana pemerintah akan menempuh jalan apapun termasuk impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan hal ini sangat jelas telah jauh dari cita-cita kedaulatan pangan yang lebih memanfaatkan produksi pangan lokal hasil pertanian berbudaya, berkelanjutan maupun memaksimalkan sumber daya alam untuk meningkatkan produktifitas pangan.

Bahaya Impor

Menjelaskan permasalahan tersebut akan muncul dua pertanyaan penting dalam benak kita yang perlu dijawab dengan cermat yaitu pertama apakah impor pangan tidak berdampak negatif terhadap petani lokal ? dan kedua mungkinkah kebijakan impor pangan menjadi solusi satu-satunya dalam menghadapi permasalahan pangan nasional?. Impor tentu memiliki beberapa dampak yang sangat signifikan terhadap petani lokal, pertama sikap pemerintah melakukan impor secara tidak langsung mengklaim petani lokal tidak sanggup memproduksi pangan lebih banyak padahal fakta menjelaskan berbeda contohnya ketersedian bawang merah dibulan Ramadhan yang disampaikan oleh Ketua Asosiasi Bawang Merah Pasar Kramat telah tersedia dibulan Juni 102,1 ribu ton dan bulan juli 139,5 ribu ton, begitu juga dengan Asosiasi Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia menolak impor ditahun 2016 karena stok gula mentah telah tercukupi dan jika ada beberapa jenis pangan yang memiliki ketersedian terbatas jelas itu bukan kesalahan petani tetapi kesalahan pemerintah karena tidak melindungi petani.

Dampak kedua, harga pangan impor yang terbilang lebih rendah harganya akan lebih banyak diburu oleh masyarakat sehingga pangan produksi petani lokal akan kalah dipasaran terutama setelah berlaku sistem perdangan bebas di Indonesia. Ketika hal itu selalu terjadi terhadap petani lokal, sudah pasti secara perlahan jutaan petani akan meninggalkan pekerjaannya sebagai petani dan jelas jutaan kehidupan di Indonesia akan terancam keberlangsungannya.

Proteksi Terhadap Petani

Indonesia sebagai negara agraris sangat tidak wajar melakukan impor pangan sebagai solusi permasalahan ketersediaan pangan nasional yang terjadi setiap tahun. Negara Indonesia bisa saja bebas dari permasalahan tersebut bahkan sangat berpotensi mencapai kedaulatan pangan apabila pemerintah memberikan proteksi terhadap petani lokal. Petani dalam menjalankan aktivitas kerjanya sangat membutuhkan proteksi dari pemerintah dalam meningkatkan jumlah produksi dan menghadapi ancaman yang selalu menghampiri mereka.

Proteksi yang dimaksud terutama dalam hal alat produksi utama yaitu tanah untuk petani. Saat ini tanah untuk pertanian di Indonesia semakin sempit karena dialih fungsikan untuk perkebunan sawit dan pembangunan industri properti sehingga pemerintah pemerintah harus melakukan reforma agrarian sejati, dimana tanah digunakan dan digunakan untuk kepentigan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan konprehensif (lengkap).

Selain itu, untuk menjamin keberlangsungan kehidupan petani lokal pemerintah harus menjamin hak-hak petani seperti diberikan kehidupan yang layak, diberikan akses informasi dan teknologi pertanian untuk menunjang produksi, petani diberikan jaminan pasar yang berkeadilan dan harga yang produksi yang mengungkan, pemerintah harus membatalkan hak cipta pihak lain atas barang dan jasa yang dimiliki, dimuliakan, ditemukan, dikembangkan atau diproduksinya dan terakhir pemerintah harus memberikan kebebasan bagi petani untuk berorganisasi. Ketika-ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, pertanian Indonesia akan semakin besar, maju dan pasti tidak akan lagi tergantung dengan pangan impor tetapi dengan kesuburun tanah dari Papua hingga Aceh  bangsa Indonesia secara perlahan berubah porsi menjadi penyuplai pangan terbesar di dunia***

Penulis Adalah Mahasiswa Politik FISIP USU Stambuk 2012

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Sebelumnya

Delapan Butir Maklumat KAMI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini