post image
KOMENTAR

MAKNA adalah elemen terpenting dari sebuah narasi sejarah. Diperoleh dengan menafsirkan peristiwa sejarah. Memaknai sejarah berarti membawa masa lalu ke masa kini. Sebagaimana garis waktu, masa lalu dan masa kini saling berhubungan begitupun masa depan. Ada makna dari peristiwa lalu yang bisa dipetik dan diaplikasikan di waktu kekinian. Melipat waktu lampau dan di depan menjadi titik kekinian. Narasi sejarah bukan benda mati, selama manusia ada sejarah tak akan mati. Demikian manusia menyejarah yang melipat waktu itu.

"Guru Patimpus sebagai ikon kota dan etos yang diwariskannya semestinya menjadi milik bersama seluruh warga kota,"ungkap komposer-musikus, Irwansyah Oemar Harahap, saat menjadi narasumber diskusi warga kota yang difasilitasi Forum Diskusi Sore dan Simposium Warga Kota bertempat di Rumah Musik Suarasama (Rabu, 15 Juni 2016). Diskusi yang dihadiri sekitar 20-an orang dari berbagai latar belakang dan usia ini dibalut suasana dialogis dimana setiap peserta juga berperan sebagai narasumber. Setiap warga kota patut menjadi narasumber tentang kota yang ditinggali, dihidupi, dan menghidupinya. Pendiri yang menjadi ikon kota telah mewariskan spirit yang melandasi etos peradaban kota. Pertanyaannya, seperti apa atau pernahkah warga kota ini memaknai spirit yang seyogianya melahirkan etos peradaban kota?

Cukup banyak pewacanaan yang berkembang dalam proses diskusi. Proses yang baik sebagai stimulan untuk memikir ulang narasi sejarah kota. Memikir ulang untuk menghindari bentuk hafalan-hafalan sejarah. Menjauhkan diri dari kebekuan makna yang tak berkontribusi apa-apa dalam hidup keseharian. Makna yang membeku sama sekali bukan sebuah makna. Tidak ada pemaknaan dalam kebekuan pikir.

Paul Thompson (1978), pakar sejarah lisan, menyatakan bahwa sejarah bergantung kepada tujuan sosialnya karena interpretasi sejarah memberi pemahaman yang dibutuhkan untuk membimbing tindakan, bukan untuk membenarkan melainkan mengubah dunia. Dari sini dapat dipahami antara manusia dan narasi sejarah terjalin interaksi yang aktif bukan pasif. Manusia merujuk dan memaknai sejarah, sebaliknya, sejarah menyediakan referensi, ruang tafsir dan pengetahuan nilai yang tak dapat ditakar dalam ukuran material.

Sekarang tinggal bagaimana warga kota mampu memikir ulang narasi sejarah kota. Mampukah warga kota mengungkap makna dari narasi sejarah kota? Makna yang melandasi spirit etos peradaban kota. Kota yang kita tinggali hari ini dan saya yakin setiap dari kita punya penilaian masing-masing terkait keberadaban manusia-manusia kota.

Paska diskusi kemarin, beberapa sahabat menuliskan testimoni. Berikut ini salah satunya dari Eka Dalanta, seorang warga kota:

"Seperti kata Bang Irwansyah Harahap, kita sebagai warga kota sangat perlu mengenali sejarah kotanya, mengenali ruh dan semangat kotanya sejak saat berdiri kemudian menyampaikan aspirasi kepada wali kota. Rakyatlah yang seharusnya punya hajatan untuk merayakan kotanya, bukan para wali. Masalahnya para walinya kebablasan dan lupa diri, sementara kita para warga kota juga tidak sadar. Kloplah sudah. Atau kita terlanjur lelah mengingatkan?

Para wali rakyat tau benar, kalaupun mereka lupa ayoklah kita ingatkan, kota Medan perlu ruang yang nyaman untuk pejalan kaki. Perlu keteraturan dalam tata ruang, perlu kerapian dari billboard-billboard yang menyebalkan, perlu keamanan dari para pemalak, preman, atau jambret saat berjalan di berbagai ruas kota. Kita perlu lebih banyak ruang terbuka hijau agar kita bisa relaks, lebih segar, bisa piknik dan tidak kepanasan yang ujung-ujungnya bikin tempramental, kita perlu rasa aman. Kita perlu menghargai dan menjaga situs budaya, merawat semangat berdirinya sebuah kota. Kita perlu semuanya itu. Kita perlu tempat-tempat anak-anak muda bisa berkreasi, iklim wirausaha yang kondusif. Banyak kali rupanya ya. Hehehe...

Banyak sekali informasi tentang sejarah berdirinya kota Medan dari Ibu  Asmyta Surbakti yg sudah didengar kemarin. Berharap akan lebih banyak wawasan lagi di diskusi selanjutnya ya Bi..."

 

Biar bagaimana, forum diskusi yang diinisiasi warga kota ini adalah sebuah pesan sosial (social message) kepada siapa pun yang merasa sebagai warga kota. Terlepas dari status sosial yang disandangnya. Pesan yang tersebar bersama udara kota yang terasa kian sumpek, sejauh mata menatap pemandangan kota yang semakin terlihat asing, dan suara bising kota yang perlu dipertanyakan ke-kota-annya.

Guru Patimpus, 426 tahun yang lalu telah meletakkan sebuah pondasi bangunan bernama 'Madan' yang harfiahnya berarti kesembuhan. Sembuh lahir dan batin. Mewariskan etos, yaitu persepsi, karakter, kepribadian dan sikap yang muncul dari nilai-nilai hidup yang diyakininya. Spirit yang mengajarkan mencintai pengetahuan, keberanian dialektis, sikap berjiwa besar mengakui hak dan kelebihan pihak lain, proporsionalitas, dan kreativitas membangun peradaban.

Ini tafsiran saya atas narasi Guru Patimpus. Bagaimana dengan warga kota yang lain? Atau, barangkali saja kita masih perlu mempelajari ulang hal mendasar tentang 'apa dan bagaimana yang disebut sebagai warga kota itu?' untuk membedakannya dengan 'bukan warga kota' sebagaimana dibedakan oleh orang-orang Yunani ribuan tahun lalu.

KOMENTAR ANDA