post image
KOMENTAR
Komisi VII DPR RI mempertanyakan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menurunkan harga gas industri di bawah USD6 per MMBTU. Keinginan itu dipastikan akan memberatkan industri hulu migas.

Anggota Komisi VII Satya Widya Yudha menjelaskan, tingkat kesulitan lapangan minyak dan gas di Indonesia berbeda satu sama lain. Jika harga gas dipatok di kisaran tersebut maka pemerintah perlu mengubah perjanjian kontrak bagi hasil atau production sharing contract/PSC dengan kontraktor migas.

"Harga gas kalau ada patokan itu agak bingung karena harga gas tidak jauh bagaimana menghitung keekonomian. Kalau offshore itu agak sulit, jadi harga keekonomiannya lebih mahal dibanding onshore. Itu yang harusnya dipikirkan," jelasnya dalam diskusi di kawasan Kebon Sirih, Jakarta (Minggu, 9/10).

Satya mengatakan, pemerintah perlu mengubah porsi bagi hasil (profit split) yang didapat bersama pihak kontraktor. Pemerintah tidak bisa lagi mematok porsi 70:30 seperti yang biasa ditentukan dalam PSC migas.

"Kalau pemerintah mematok USD6 per MMBTU itu musti ditarik PSC profit split-nya berapa. Itu harus diutak-atik karena tidak bisa dengan profit split yang kaku sudah ditentukan di awal," bebernya

Selain itu, pemerintah juga harus siap kehilangan sebagian pendapatan dari industri migas jika kontrak bagi hasil dihitung ulang. Sebab, kontraktor pasti enggan menanamkan investasi di hulu migas jika harganya tidak menguntungkan.

"Kontraktor itu kan tidak akan berinvestasi begitu melihat output harganya tidak mencerminkan keekonomian lapangan. Ukurannya misalkan investment rate-nya sekian, dia kan sudah memutuskan di awal POD-nya begitu. Terus tahu-tahu muncul aturan harus di bawah USD6," demikian Satya. [hta/rmol]
 

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi