post image
KOMENTAR
MEMASUKI tahun kedua di pemukiman yang baru, Singodimedjo dan keluarganya belum menemukan tempat duduk yang tepat untuk dapat menyesuaikan rima dan irama hidup bertetangga. Meski berbagai cara sudah dilakukan, namun Abraham Songodimedjo merasa belum berhasil membuat banyak perubahan di desa tempatnya sekarang berdiam. Padahal  semua ide-ide modernisasi yang ditularkannya dari tempat tinggalnya dulu di kota, sedikit demi sedikit sudah diterima oleh sebagian besar warga dusun  Melikas.

Kehadiran Abraham di dusun tersebut tak hanya memberikan warna baru bagi warga. Tapi juga pelan-pelan membangkitkan harapan kemajuan dusun. Pembangunan mushala, koperasi tani misalnya. Dua hal terpenting yang dianggap warga adalah kebutuhan pokok, sudah terlaksana karena sumbangsih  Abraham. Pengenalan sistem koperasi  kebutuhan tani  sungguh sungguh membantu dan melajukan pertumbuhan pertanian dan ekonomi  dusun. Itu membuat Abraham dicintai sekaligus dibenci, pastinya oleh tengkulak  yang selama ini gentayangan di dusun Melikas.

Saiman salah satunya. Meski dia bukan tengkulak  dan dengan tegas juga memusuhi praktek riba yang juga diharamkan agama, tapi dia memang tak senang dengan kehadiran Abraham dan keluarga. Saiman tak simpati dengan kedekatan anak-anak Abraham yang menularkan virus kota. Dahulu anak dusun senang bermain bola di tanah lapang SD inpres. Tapi belakangan ini, Saiman sudah tak lagi menemukan anak-anak berusia sembilan tahunan, bergerombol di halaman SD inpres dan memperebutkan bola.

Usut punya usut, cerita punya cerita, anak-anak itu sekarang lebih suka berkumpul di rumah Abraham untuk menemani putra bontotnya bermain playstation. Memang pertandingan bola juga yang dimainkan. Tetapi  itu virtual, tak ada kerja tim nyata yang dibuktikan di dalam alat permainan.  Menyerang dan bertahan dibangun atas keinginan si pemegang stick. Saiman menganggap bila ini terus terjadi dan akhirnya menjadi tradisi, maka dusun yang kelak akan diwariskan kepada anak-anak itu tengah menghadapi  teror serius, yakni ancaman penyebaran virus individualis dan egosentris. Virus  yang juga akan bermutasi menjadi  penyakit  apatis dan narsis. Begitu kira-kira pandangan Saiman yang dulu pernah mengenyam pendidikan sekolah atas negeri di  kecamatan. Belum lagi dengan hobi istri Abraham yang suka berkeliling dusun mencari kembang-kembang untuk dijadikan koleksi di taman gedongnya  yang memang luar biasa besar dan bercat putih. Halaman penuh kembang. Sampai tak  muat dan Bu Singodimedjo harus mengorbankan teras, ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, bahkan kamar tidurnya dengan kembang dusun. Tak masuk akal Saiman.

Banyak hal yang membuat Saiman dari hari ke hari menaruh benci kepada Abraham.  Sebutir kerikil di tengah jalan pun bisa menjadi pupuk kebencian Saiman kepada Abraham.

"Dusun ini harus terus tumbuh dan berkembang. Kemajuan sudah di depan mata. Teknologi sudah diperkenalkan, sistim irigasi sudah lebih baik. Menurut saya ini tak terlepas dari andil Pak Abraham" ujar Karto sambil menyeruput kopi di warung Mak Monah.
"Betul..."
"Pas yang sampeyan katakan itu,"
Saiman semakin mendidih. Kupingnya terbakar round-up dan legam seketika.  Sepagi ini, orang-orang di warung sudah membicarakan kehebatan Abraham.
"Kalau tak ada dia, mana mungkin kita bisa sedikit  bisa bersantai seperti ini,"
"Betul,"
"Kalau kita tak dipinjamkan  traktor dan terus membajak dengan cangkul, tentu kita harus ke sawah pagi-pagi buta. Sekarang, dengan traktor, tanah keras pun tak jadi masalah.... Kopinya lagi, Mak,"

Saiman semakin murka mendengar Karto dan beberapa petani yang terus memuji Abraham. Dia siap meledak. Tapi tak mungkin. Semua orang di warung sudah terjangkit virus yang ditularkan Abraham.  Bahkan juga sapi si Karto yang ditambatkan di pohon waru di depan warung mak Monah. Sapi itu tentu girang karena sekarang dia dapat pergi ke kecamatan dan tak harus membajak sawah. Hari ini Karto berencana menjual sapinya kepada pengepul untuk kemudian dibawa ke kota dan dipamerkan kepada calon pembeli yang berniat berkurban di hari Idul Adha.

"Sudah sepantasnya, dusun kita ini dipayungi dan dipimpin orang sepintar Pak Abraham," ujar Karto lagi. Yang lain manggut-manggut meng-iya-kan.  Saiman tak bisa mentolerir lagi. Dia harus menjaga serta merawat iman dan keyakinannya. Maka dia pun angkat kaki dari warung Mak Monah.
Saiman sudah kehilangan gairah untuk menggarap sawahnya.  

Dia berjalan luntang lantung persis pikirannya yang juga tengah nelangsa. Sebentar dia berpikir bahwa semua adalah kesalahan penduduk dusun yang semakin hari semakin malas karena kemudahan yang sudah diberikan teknologi. Langkahnya pun balik arah, ingin kembali melabrak Karto dan petani lain di warung Mak Monah. Tapi sejurus kemudian dia berpikir lagi, bahwa petani-petani itu hanyalah korban atraksi sulap yang tengah Abraham pertontonkan. Maka dia mengubah langkah lagi, bersiap menghardik Abraham di kediamannya. Niat Saiman sudah bulat, dalam keyakinannya, Abraham harus bicara jujur kepada semua petani apa yang sebenarnya yang diinginkannya.
 
"Langkah kanan. Takkan lari gunung dikejar," sapa Abraham ketika berpapasan dengan Saiman. Saiman kaget dan menghentikan langkahnya. Ditelusurinya asal suara yang keluar dari bibir lelaki yang sedang dicarinya itu. Di sana, dari balik jendela mobil yang dibuka, Abraham dengan senyuman mengajak Saiman untuk masuk ke mobilnya. Saiman membelalakkan mata, dan seperti tersadar dari upaya hipnotis seorang pesulap.
"Ayolah, Man. Temani saya ke kecamatan," bujuk Abraham. Mestinya Saiman menolaknya. Tapi seperti petani yang lain, yang tak pernah menolak diantarkan Abraham dengan mobil mewahnya, Saiman tiba-tiba sudah berada di tempat duduk mobil yang ditunggangi Abraham.
"Saya ini anak petani. Saya mengetahui apa yang dirasakan petani," ujar Abraham mengawali ceritanya. Dan mobil itu pun meluncur menuju kecamatan.

Sepanjang perjalanan, pulang dan pergi, Abraham terus mencerocos tak berhenti. Walau tanpa ditanya Saiman, lelaki yang mengaku sempat menjadi buruh kasar di pelabuhan itu terus mengisahkan riwayat dan perjalanan hidupnya. Mendengar tutur Abraham, Saiman seperti tengah berbicara pada tokoh-tokoh di dalam buku sejarah. Ada perjuangan di sana, tindakan kepahlawanan, dan kejujuran seorang teman. Teman?
Mobil berhenti di depan warung mak Monah. Senja menghadang. Saiman turun dari mobil Abraham.
"Terima kasih, Man. Besok-besok temani saya lagi bila kamu ada waktu,"

Di warung beberapa petani yang baru saja naik dari ladangnya melongok ke arah mobil Abraham yang melaju meninggalkan warung dengan sapaan klakson yang ramah.
"Mari Pak."  Sambut petani bergelombang.
"Benar-benar ramah. Pak Abraham adalah calon terkuat yang akan memimpin dusun ini di masa datang," ujar seorang petani. Kali ini tak ada Karto yang mengomandoi.

Dua tahun ini, Abraham memang sudah sukses mengibarkan namanya. Tak hanya di dusun Melikas, Abraham juga harum di dusun-dusn tetangga. Bahkan, konon kabarnya, dia digadang sebagai calon kuat untuk maju di pemilihan camat yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini.  Tak ada yang meragukan kecerdasannya. Banyak yang yakin bahwa dia akan terpilih untuk mengisi tempat duduk di posisi-posisi apapun, bila mana dia sudi mendudukinya. Semua tempat duduk terasa pas untuk didudukinya. Dia seperti ditakdirkan untuk lahir dan duduk di tempat duduk apa saja. Tapi serasanya belum cukup hanya mengandalkan perasaan. Meski suara-suara dukungan untuknya menduduki sebuah posisi sudah gentayangan dan berseliweran.

"Bagaimana, apakah semua undangan sudah dicetak?" tanya Abraham kepada Bu Singodimedjo.
"Sudah," ujar Bu Singodeimedjo sambil membawakan Abraham sebuah contoh undangan yang bakal dicetak. Itu undangan Saraswati. Anak sulungnya yang bermukin di Amerika akan pulang dan melangsungkan pernikahan dengan pengusaha batik Pekalongan.

Abraham mengamati undangan itu dalam-dalam. Di sudut kiri, terpampang namanya dan istri sebagai pihak pengundang. Di sudut kanan, tertera nama besannya, laki-bini. Di tengah-tengah tertulis nama anaknya dan pengusaha batik pekalongan. Saiman manggut-manggut. Lalu dia menuju kotak kecil di sudut kanan bawah. Itu adalah tempat yang disediakan untuk nama tetamu kolega dan undangan. Disediakan luas dan besar karena seluruh undangannya berasal dari kalangan sibuk dan peduli. Peduli pada jabatan dan gelar. Abraham sudah mengira, kira-kira kolom yang dikosongkan itu mampu memuat nama sekaligus tujuh gelar yang disandang tamunya. Seperti kebiasaan, di bawah kotak itu tertulis kalimat "Dengan tidak mengurangi rasa hormat, kami tidak menerima hadiah berupa bingkisan", berukuran kecil dan diawali dengan tanda "*".  Perhelatan akan digelar di Dusun Melikas. Abraham sengaja menggelar di sana, karena dia ingin memperlihatkan kesahajaan dan keserhanaannya kepada para kolega.

"Cetak lagi undangan yang begini, untuk dibagi-bagi kepada warga dusun ini," perintah Abraham.
"Lagi? Untuk warga dusun?Apa tidak kemewahan?" sanggah istrinya. Abraham bangkit dari tempat duduknya. Dan ngacir ke kamar mandi. Sambil duduk di closet, dia mengenang kembali pembicaraannya dengan Saiman sepanjang perjalanan tadi. "Orang kampung yang cerdas," bisik Abraham sambil mengintip onggokan kotorannya.

Dua minggu setelah perbincangangan mengenai undangan itu, akhirnya tibalah juga masa yang dinantikan.  Itu adalah pesta termegah yang pernah digelar di dusun Melikas. Mobil mewah berderet parkir di pinggir jalan. Dua kilometer panjangnya. Papan karangan bunga berdiri warna warni dipajang menunjukkan siapa Abraham sebenarnya.

Halaman penuh undangan. Koleksi kembang Bu Singodimedjo sudah diungsikan entah kemana. Pelaminan, tenda, lampu-lampu, hiasan, makanan, tata cara penyelenggaraan... semuanya benar-benar asing bagi warga Dusun Melikas. Mereka mengharapkan ada pertunjukan wayang, jaipongan atau kuda lumping, seperti jamaknya pesta besar yang digelar orang dusun Melikas. Tapi di pesta Abraham, itu tak ditemukan. Ahli bait menyediakan band sebagai hiburan. Ada Inul Daratista, Muchsin Alatas-Titiek Sandora, Tiga Diva, dan beberapa penyanyi top ibukota, yang sayangnya tak dikenal warga.

Warga dusun Melikas terheran-heran dan tertakjub-takjub dengan perhelatan itu. Mereka pun bingung dengan undangan yang mereka terima. Tak pernah selama ini mereka diberikan undangan yang mewah, harum, tebal dan ada peta lokasinya. Dusun Melikas itu kecil, dan untuk mengetahui kediaman Abraham, sama sekali tak dibutuhkan peta. Abraham adalah tokoh berpengaruh di dusun Melikas. Siapa pula yang tak mengenalnya, hingga harus memerlukan denah lokasi kediamannya? Kekaguman warga pada perhelatan itu semakin tak terkira, manakala mereka menerima undangan itu dari kurir yang ditugaskan Ibu Singodimedjo.


"Luar biasa dermawan Pak Abraham. Dia mengundang kita, menyediakan hidangan yang enak dan menyuguhkan hiburan, dan tak meminta hadiah bingkisan dari kita," ujar Karto sepulang dari menghadiri pesta perkawinan putri Abraham. Kepalanya menggeleng-geleng. Ditimangnya undangan itu.
"Dengan tidak mengurangi rasa hormat, kami tidak menerima hadiah bingkisan", ujar Karto keras-keras mengulangi tulisan di bawah kotak nama undangan. "Beliau ini pasti wali. Beruntung kita memiliki Pak Abraham," kata Karto di warung Mak Monah.
"Iya. Makanannya enak. Sayang, Inul Daratista tidak bergoyang  seperti di televisi," ujar warga yang lain.

Saiman yang singgah di sana untuk mendengar komentar warga kian mangkel. Kebosanannya kepada Abraham kian parah. Tak mungkin dia maju dalam pemilihan kepala dusun. Sia-sia melawan raksasa yang memiliki pengikut yang banyak. Maka diremasnya undangan dari Abraham. Hatinya mengumpat. Dendamnya kesumat.

Seusai pesta, Ibu Singodimedjo membuka amplop, dan mengkalkulasikannya. Meski sudah ditulis dengan terang dan jelas, tapi tetap ada juga yang memberikan hadiah berupa bingkisan. Namun tak apalah, barang-barang itu bisa digunakan sendiri paling tidak. Atau diserahkan lagi kepada orang lain manakala ada undangan pesta. Begitu batinnya. Semua sudah dibuka. Tapi, malangnya dia tak menemukan satu amplop-pun dan hadiah dari warga Dusun Melikas. Diulangnya lagi. Dilihatnya buku absensi dan daftar undangan. Nihil! Warga Dusun Melikas tak ada yang memberikan hadiah. Baik amplop ataupun bingkisan.
"Dasar orang kampung! Udik!"

Sambil berdiri memandangi pelaminan dan sisa-sisa pesta, Abraham tersentak kaget mendengar istrinya memaki. Dia tak bisa percaya dengan kata-kata istirnya. Dia merasa, tak bisa duduk dan menduduki. Apapun tempat duduk itu. Termasuk kursi kepala Dusun Melikas.

Pasar VI, Sawit Seberang,  21 Pebruari 2012





















 

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Rumah Kaca