
Setidaknya hal ini muncul dalam diskusi terbatas “Efektivitas Pemberantasan Korupsi” yang diselenggarakan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Nasional (Unas) Jakarta dengan Gerakan Pemuda Anti Korupsi di Jakarta, Selasa (2/10).
Irfan Maulana, aktivis mahasiswa FISIP Unas 2005, yang tergabung dalam kelompok Gerakan Pemuda Anti Korupsi (GEPAK) menyatakan bahwa ancaman demokrasi adalah korupsi. Karena itu, ia berpendapat bahwa korupsi tidak saja menyengsarakan masyarakat tetapi juga akan menciptakan budaya politik yang korup.
Irfan mendukung langka Seskab Dipo Alam yang membuka kotak pandora mengenai praktek-praktek korupsi yang selama ini dilakukan partai-partai politik.
"Langkah dan keberanian Dipo Alam ini patut diacungi jempol untuk mendobrak perilaku korupsi di kalangan politisi," ujarnya.
Sementara Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Pusham) Unas Hilmi Rahman Ibrahim mendukung langkah Dipo Alam yang telah membuka daftar kasus korupsi di tubuh partai politik.
"Tidak ada etika yang dilanggar Pak Dipo dalam pengungkapan partai-partai yang kadernya sering melakukan korupsi. Ini justru memberikan informasi terbuka kepada masyarakat," tuturnya.
Hilmi meminta para politisi agar melihat ini sebagai fakta ketimbang mempersoalkan etika. “Demokrasi menjadi anomali ketika bangsa ini semakin demokratis, tapi masyarakatnya kian miskin, karena perilaku korupsi yang terjadi di partai-partai politik semakin besar,” ungkapnya.
Diskusi Efektivitas Pemberantasan Korupsi yang digelar di Kampus Unas Jakarta dan dihadiri oleh puluhan mahasiswa itu menyoroti data-data yang disampaikan Seskab Dipo Alam mengenai dominasi para pejabat dari Parpol dalam masalah-masalah hukum, terutama masalah korupsi.
Seperti diketahui dalam konferensi pers di kantor Sekretariat Kabinet (Setkab), Jakarta, Jumat (28/9) lalu, Dipo Alam mengemukakan, sejak Oktober 2004 sampai September 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan 176 izin tertulis untuk penyelidikan pejabat negara yang diajukan oleh Kejaksaan Agung (82 permohonan); Kepolisian RI (93 permohonan); dan Komandan Puspom (1 permohonan).
Berdasarkan kategori kasus yang diajukan, sebanyak 131 orang atau 74,43 persen menyangkut tindak pidana korupsi, dan 45 orang atau 25,29 persen terkait tindak pidana.
Dari 176 persetujuan itu, untuk pemeriksaan Bupati/Walikota sebanyak 103 izin (58,521 persen); Wakil Bupati/Wakil Walikota 31 izin (17,61 persen); anggota MPR/DPR 24 izin (13,63 persen); Gubernur 12 izin (6,81 persen); Wakil Gubernur 3 izin (1,70 persen); anggota DPD 2 izin (1,13 persen); dan Hakim MK 1 izin (0,56 persen).
Adapun menurut latar belakang pejabat negara yang dimohonkan izin pemeriksaannya adalah: Golkar 64 orang (36,36 persen); PDIP 32 orang (18,18 persen); Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen); PPP 17 orang (3,97 persen); PKB 9 orang (5,11 persen); PAN 7 orang (3,97 persen); PKS 4 orang (2,27 persen); PBB 2 orang (1,14 persen); PNI Marhaen, PPD, PKPI, Partai Aceh masing-masing 1 orang (0,56 persen); Birokrat/TNI 6 orang (3,40 persen); independen/non partai 8 orang (4,54 persen); dan gabungan partai 3 orang (1,70 persen). [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA