post image
KOMENTAR
Oleh: Maria Timmen Surbakti*

AIR memiliki peranan besar sebagai faktor pendukung dalam sektor pangan dan energi. Krisis dunia saat ini mengenai air, pangan, dan energi hanya dapat diatasi dengan mewujudkan ketahanan air terlebih dahulu. Karena air merupakan hal yang esensi.

Pangan dan energi tidak lepas dari pengaruh air. Indonesia sebagai negara agraris sangat didukung dengan sumber daya air, setiap 1 kg beras membutuhkan 2500 liter air. Konsumsi beras yang tinggi tentu saja menuntut pengelolaan  infrastruktur  sumber daya air bagi pertanian. Masalah yang sering diangkat dan menjadi sebuah peringatan bukan saja skala nasional bahkan menjadi ranah dunia yaitu kekeringan dan kelaparan. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hak akan air belum terpenuhi.

Setiap orang dewasa butuh minum air minimal dua liter atau sekitar delapan gelas sehari dan butuh setidaknya dua ribu liter air untuk memproduksi makanan sehari-hari. Kebutuhan ini untuk menjaga kesehatan dan stamina tubuh agar tidak mengalami dehidrasi dan mengganggu kesehatan. Kebutuhan untuk konsumsi air bersih cenderung meningkat. Produksi makanan membutuhkan air. Penduduk yang memperoleh akses air bersih akan cenderung memiliki persediaan makanan yang cukup. Kekurangan air sebagai salah satu penyebab kelaparan dan kekurangan gizi. Indonesia sebagai negara maritim dan agraris pun mengalami kekeringan dan berdampak juga pada ketahanan pangan.

Kecukupan akan air dan makanan merupakan hak setiap manusia yang telah diatur dalam perundangan pemerintah. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dijelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Namun di beberapa tempat masih saja mengalami kekeringan dan kekurangan air khususnya Indonesia bagian timur. Penduduk di NTT misalnya masih harus memanggul air berkilo-kilo meter untuk mendapakan akses air, kekeringan menunjukkan meski sumber air banyak dijumpai namun debit air masih kecil sehingga tak bisa memenuhi sesuai kebutuhan. Pada musim kemarau, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air sejak 1995. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ) menunjukkan dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, terjadi lebih dari 300 kali kekeringan di Jawa Tengah, di Jawa Barat sebanyak lebih dari 278 kali dan Jawa Timur lebih dari 156 kali. Perubahan iklim dan laju deforestasi semakin tinggi menyebabkan persediaan air berkurang. Masyarakat akhirnya perlu membeli air atau menyewa tangki untuk mengambil air dari sumber terdekat. Air menjadi barang yang perlu didapat dengan mengeluarkan biaya yang  tidak sedikit. Air yang seharusnya didapat dengan cuma-cuma dan mudah sekarang  menjadi langka dan mahal.

Pembangunan pusat kota dan gedung-gedung yang begitu marak saat ini telah menutup pori-pori tanah untuk drainase sehingga terjadi longsor dan kekeringan. Krisis air diberbagai daerah seharusnya membuka mata untuk mulai sadar pentingnya kepedulian terhadap ketersediaan air bersih dan cukup. Ketika drainase buruk maka kadar air dalam tanah pun berkurang, pemakaian air untuk manusia membuat pengurangan kuantitas dan pada akhirnya permukaan tanah pun menurun yang menyebabkan permukaan air laut naik. Air tanah yang terkena air laut menyebabkan peningkatkan kadar garam pada air. Pemanasan global/global warming dapat ditekan bila jumlah air tanah masih memadai.

Curah hujan mestinya menjadi modal berharga untuk ketahanan air demi mengurangi kekeringan di Indonesia. Data Deptan, Statistik Pertanian 2001 menunjukkan hanya 34% dari total air hujan mampu disimpan oleh tanah menjadi air tanah. Sisanya menjadi air limpasan permukaan yang membuat banjir setiap musim penghujan. Saat kemarau tiba, cadangan air yang sudah tinggal sedikit itu akan  segera habis dan kekeringan pun terjadi. Bencana kekeringan bukan lagi hal luar biasa, karena sudah terjadi setiap tahun. Kekeringan terjadi seharusnya menjadi evaluasi untuk lebih mampu mengelola air. Penghematan air sebagai hal yang sederhana tidak seharusnya diabaikan.

Untuk mencegah kelangkaan bisa dilakukan dengan tindakan sederhana seperti mematikan kran air jika tidak memakainya, mandi dengan shower lebih menghemat penggunaan air, air bekas cucian bisa digunakan kembali untuk menyiram tanaman, mengurangi konsumsi barang yang boros air, tidak terlalu sering mencuci bila tidak perlu, melakukan penghijauan gerakan hemat air, mengurangi pencemaran air, konservasi daerah aliran sungai, gerakan penanaman pohon, dan desalinasi air asin (laut) menjadi air tawar.

Alih fungsi lahan menjadi waduk untuk daerah sudah dilakukan di beberapa daerah. Menampung air hujan dalam bentuk waduk dapat digunakan untuk irigasi, PLTA dan lainnya. Keadaan waduk sendiri perlu diperhatikan, karena data Kementerian Pekerjaan Umum dari 71 Waduk di Indonesia hanya 19 waduk yang memiliki debit air normal. Untuk itu pemeliharaan infrastruktur, pemantauan volume waduk, pengaturan alokasi air menggunakan teknologi baru perlu diupayakan sehingga ketahanan air dapat tercapai.



*Aktivis lingkungan Food & Water Care

Berhasil Kumpulkan Dana Rp 30 Juta, Pemkot Palembang Sumbang Untuk Beli APD Tenaga Medis

Sebelumnya

Virus Corona Menjadi Alasan Deretan Pasangan Artis Ini Tunda Pernikahan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ragam