
Pasalnya, selain parpol lokal di Aceh, setiap parpol berhak mencalonkan calegnya di seluruh dapil secara nasional.
"Karena mereka adalah partai nasional, itu jaminan undang-undang (UU). Tidak ada satupun aturan dalam UU yang memberi peluang penghilangan dapil, dan tidak ada juga kewenangan kepada KPU untuk melakukan hal itu," kata Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin di Jakarta, Minggu (23/6/2013).
Menurutnya, sebagaimana disiarkan Rakyat Merdeka Online, penghapusan dapil kepada sejumlah parpol oleh KPU tidak sekadar pelanggaran terhadap UU, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi, hak asasi manusia, dan spirit demokrasi. Sebab, setiap warga negara dijamin haknya untuk dipilih.
"Bagaimana mungkin hanya karena satu atau dua orang calon perempuan tidak sanggup memenuhi persyaratan, lantas membuat calon laki-laki pada dapil yang sama kemudian dihilangkan kesempatannya untuk dipilih oleh rakyat," tanya Said.
Atas kebijakan KPU tersebut, Sigma menyarankan agar parpol menempuh dua langkah hukum sekaligus. Yakni, melaporkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh KPU kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Kepada Bawaslu untuk laporan pelanggaran administrasi, sedangkan kepada DKPP untuk jenis pelanggaran kode etiknya. Sebab, KPU telah mengambil kebijakan di luar yurisdiksinya. Lebih dari itu, KPU telah menghilangkan hak dipilih kepada caleg-caleg yang tidak bersalah di dapil dimaksud," jelas Said.
Meski begitu, Said menambahkan bahwa pihaknya kurang setuju jika persoalan antara parpol dengan KPU ditarik pada ranah sengketa pemilu. Sebab, sengketa pemilu adalah mekanisme perselisihan antara caleg dengan KPU akibat adanya keputusan KPU yang merugikan caleg dalam tahap pencalonan, dan bukan sengketa antara partai dengan KPU.
Sedangkan sengketa parpol dan KPU adalah dalam hal keputusan KPU untuk verifikasi parpol. [ans]
KOMENTAR ANDA