post image
KOMENTAR
Desa yang senyap. Putih bukan salju mengiringi perjalanan ke sana. Benar-benar desa mati. Hanya rerantingan dan ladang mati yang menemani. Gundukan tebing menjulang hingga ke puncak. Abu-abu menyelimuti. Indah dilihat dari jauh, namun mengancam jiwa jika keluar isi perutnya.

Ladang-ladang yang rapi sontak berantakan terkena awan panas dari puncak Sinabung. Mobil-mobil lawas warga yang ditinggal seketika berwarna seragam: kelabu. Butuh hujan panjang untuk menuntaskan semua abu ini.

Desa Tiga Nderket dan Desa Payung adalah dua dari puluhan desa yang terkena dampak erupsi Gunung Sinabung. Setelah mendapat dukungan untuk liputan kondisi para pengungsi Sinabung dari Yayasan KIPPAS, ACTED dan Uni Eropa, perjalanan menuju desa yang terletak di Kecamatan Tiga Binanga ini pun dimulai.

Ada dua jalur menuju Kecamatan Tiga Binanga jika ditempuh dari Medan melewati Kabanjahe.

Jalur pertama lewat jalan lintas langsung menuju Kutacane dengan kondisi jalan rusak parah. Sedangkan yang kedua melintasi desa Tiga Nderket dan Payung yang relatif mulus tapi sempit.

Saya memilih jalur terakhir, yang sebenarnya bukan jalur kendaraan umum, agar bisa menyaksikan gerakan-gerakan aktif Sinabung yang terus "merokok", mengeluarkan asap secara fluktuatif. Risikonya jelas lebih besar, karena berhadapan langsung dengan kaki gunung.

Tiga Binanga merupakan salah satu pusat konsentrasi pengungsian, karena jaraknya paling dekat dari Desa Payung dan Desa Tiga Nderket. Kecamatan kecil yang dibentangi oleh jalan lintas menuju Kutacane Aceh ini berisi beberapa titik pengungsian, salah satunya posko pengungsian di Mesjid Istiqomah Tiga Binanga.

Sebuah tenda berdiri miring di halaman Masjid Al Istiqomah. Tenda ini merupakan tempat favorit pengungsi menghabiskan malam. Ada satu unit televisi yang kerap ditonton bersama.

Di tenda itulah Indra (63), mengungsi bersama 300 jiwa lebih lainnya. Lelaki yang kerap disapa Iin ini sudah tiga bulan lebih mengungsi bersama istrinya, beserta warga desa Tiga Nderket lainnya.

Iin baru pulang bekerja dari ladang milik seorang anggota DPRD dan salah satu temannya warga Tiga Binanga. Sembari melepas lelah, ia bercerita tentang keadaan di pengungsian.

"Ya pemasukan sehari-hari dari mocok-mocok (serabutan –red). Daripada duduk di pengungsian enggak ada kerjaan," ujar lelaki yang memiliki empat anak, dua cucu dan satu cicit ini.

Permasalahan yang dihadapi pengungsi selain kehilangan mata pencaharian karena ladang yang gagal panen, juga kebosanan di posko pengungsian. Terutama bagi pengungsi seperti Iin yang terbiasa bekerja di ladang. Beberapa warga pengungsi malah memilih untuk kerja mocok-mocok di ladang yang tak terkena dampak erupsi.

Sementara bagi kalangan ibu, setelah membereskan urusan dapur di posko, biasanya mereka berkumpul di halaman masjid untuk menanti pemberi bantuan. Mereka yang menyumbang umumnya ingin datang dan melihat langsung keadaan pengungsi.

"Saya sudah 35 tahun tinggal di Desa Tiga Nderket, tapi terasa lebih lama hidup di pengungsian," ujar Iin lirih.

Walau bantuan terus berdatangan dan pasokan logistik relatif tercukupi, kehidupan di pengungsian tetaplah tidak senyaman tinggal di desa sendiri. Keluhan Iin dan warga lainnya sama, perut kenyang tapi sengsara di pengungsian.

Belum lagi tingkah laku beberapa warga yang gemar berjudi. Makin tipislah simpanan uang. Sementara anak-anak mereka masih bersekolah dan butuh biaya

Hingga kini, kondisi Sinabung tetap fluktuatif. Belum ada tanda-tanda akan berhenti "batuk dan muntahnya". Ini berarti warga yang tinggal di kaki gunung belum diperbolehkan meninggalkan pengungsian.

Sementara hajatan demokrasi lima tahunan, pemilihan umum, tetap harus dilaksanakan. Ini mestinya jadi titik penting, karena para pengungsi punya hak untuk memilih terlepas apa pun kondisinya.

Ada kabar yang beredar bahwa KPU akan mempersiapkan TPS-TPS alternatif di titik-titik pengungsian. Pertimbangannya, untuk mempermudah akses pengungsi untuk menjalankan hak konstitusionalnya. Namun belum ada kejelasan tentang ini, mengingat teknis pelaksanaannya juga masih kabur.

Butuh persiapan yang matang, juga sinergi antara penyelenggara pemilu dan pemerintah setempat. Sementara pihak pemerintah masih berkonsentrasi untuk merelokasi warga, belum memikirkan antisipasi pemilu mendatang.

Kebanyakan warga Tiga Nderket enggan kembali ke desa jika sekadar untuk memilih, mengingat jarak desa yang lumayan jauh dari Tiga Binanga. Sekiranya mereka disuruh memilih, mereka akan lebih baik jika ada TPS khusus di pengungsian.

"Bapak sih mau milih di pengungsian. Kalo disuruh ya milih, kalo enggak ya enggak milih," ujar Iin.

Persiapan untuk membuat TPS alternatif tentu merembet ke persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

40 titik pengungsian, pengungsi yang datang dari berbagai desa, berpotensi menjadi kendala dalam pencatatan DPT. Biasanya persoalan DPT ini selalu menjadi sorotan serius. Pengelolaan DPT di wilayah normal saja masih banyak kendala dan cacat data.

Konon pendataan di posko pengungsian yang warganya berhamburan. Ini bisa menyebabkan potensi warga yang tidak terdata, atau pun yang terdata ganda sangatlah besar.

Kasino (26), belum terdaftar di DPT dan sepertinya tidak akan mendapat haknya untuk memilih. Anak bungsu Iin itu lebih memilih untuk hidup secara nomad, tidak menetap di pengungsian. Siang hari dia biasa menunggu di Tiga Nderket, menjaga rumah dan ladang atau sekadar mengetem di sana. Menjelang malam, ia meninggalkan desa karena Gunung Sinabung biasanya lebih sering erupsi di malam hari.

Ia biasa tidur di emperan kaki lima. Pokoknya tidak jauh-jauh dari desanya. Warga yang nomad seperti Kasino ini, tentu memperkecil kemungkinan tercatat di DPT.

Belum lagi persoalan sosialisasi pemilu yang belum masuk ke titik-titik pengungsian. Terutama di Kecamatan Tiga Binanga yang jaraknya jauh dari ibukota kabupaten, Kabanjahe. Iin, seperti kebanyakan warga lainnya, tidak mengenal caleg-caleg yang sedang bertarung.

Selepas magrib setelah melahap nasi umat di dalam tenda bantuan, Iin dan beberapa warga lain kerap bercerita tentang pemilu. Warga kaki gunung ini tidak banyak tahu tentang pemilu.

Yang mereka tahu hanyalah konstelasi pemilihan kepala desa (kades). Pemilihan kades lebih menyentuh ranah personal mereka. Lebih mengena kepada warga. Biasanya mereka mengusung calon kades yang dianggap mampu menyelesaikan masalah seperti benturan antartetangga.

Perbincangan beralih tentang praktik uang yang tercium dari pemilihan kades. Bagi mereka, lebih seru membahas pemilihan kades daripada pemilu legislatif. Seperti pemilihan-pemilihan lainnya, pemilihan kades pun akhirnya terkontaminasi dengan politik uang. Untuk menghadapi yang seperti ini, kearifan lokal Iin tetap terjaga.

"Kalo ada yang ngasi duit, ambil aja duitnya, enggak mau Bapak pilih orangnya. Kalau calon 1, 2, 3 ngasih duit semua, pilih calon yang nomor 4 saja," ia berkata serius sembari tertawa.

Iin dan warga lain malah sepakat untuk tidak memilih calon legislatif yang membagi-bagikan uang. Menurut mereka, calon seperti itu malah tidak akan pernah mengubah nasib mereka. Terbukti dari tahun-tahun mereka hidup tanpa perbaikan. Setiap hari harus bergulat dengan tingginya harga pupuk, rendahnya harga jual panen, serta berhadapan dengan tengkulak yang memainkan harga pasar.

Model warga seperti Iin ini memang sudah jarang ditemukan, mereka belajar kebijaksanaan secara otodidak. Kearifan lokal yang tumbuh karena pengalaman hidup, bukan dari bangku sekolah atau pun kuliah. Buktinya Pak Iin masih mau kritis menyikapi tingkah pemerintah sekarang—pemerintah Karo yang kadang tidak begitu tanggap melihat nasib pengungsi—atau sekadar melontarkan pernyataan kritis kepada koordinator pengungsi yang menganggap dirinya seolah donatur pemberi bantuan, karena kerap memberi perintah kepada pengungsi lain.

Hidup pengungsian, berbaur dengan warga yang senasib, berinteraksi dengan relawan, tidaklah senyaman kehidupan sebelum mereka mengungsi. Bagaimana warga mau memikirkan pemilu dan para caleg, sementara hidup mereka sendiri harus bergantung pada pihak lain. Rasa bosan dan malu sebagai pengungsi adalah hal paling wajar yang menghinggapi mereka.

Terkadang, kita bisa melihat wajah-wajah yang malu ketika mereka dikunjungi. Sebagian dari mereka pada dasarnya memiliki ekonomi yang baik. Namun kondisilah yang memaksa mereka untuk meninggalkan desa. Seperti Iin yang terbiasa mencari nafkah dengan berladang, kini ia harus menanti uluran tangan para penderma.

"Malu dikasih makan terus sama orang. Makanya Bapak cari-cari kerja juga. Malam hari aja balik ke pengungsian, untuk tidur," kata Iin.

Trauma psikis tentu akan jadi kendala. Termasuk dalam pelaksanaan pemilu nanti. Kalaulah ketika pemilu warga sudah kembali, mereka tentu akan lebih memilih memperbaiki ladang ketimbang berpartisipasi pada pemilu. Penyelenggara pemilu harusnya memberi konsentrasi lebih pada nasib pengungsi.

Mereka termasuk bagian dari pemilih marginal dengan tantangan tersendiri. Kesulitan ekonomi, juga kesulitan dalam memobilisasi diri. Apa pun alasannya, pengungsi harus mendapat hak seperti warga negara lainnya, tanpa terkecuali.

Bencana alam terjadi di luar kehendak manusia. Mengungsi juga bukan kemauan Iin dan warga lainnya. Mereka tak punya pilihan. Jangan sampai negara alpa menanggulangi ini semua. Negara bertanggung jawab bukan hanya perkara nasib kehidupan para pengungsi, namun juga kesamaan hak warga negara.

Hak untuk berpesta demokrasi bersama, hak untuk menentukan nasib bersama. Para pengungsi Sinabung punya hak untuk hidup tenteram bersama masyarakat lainnya. Mungkin bukan hari ini, namun lima tahun ke depan dan seterusnya.

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Sebelumnya

Delapan Butir Maklumat KAMI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Opini