post image
KOMENTAR
Pemerintah Joko Widodo telah memungut pajak ekspor sebesar 50 dolar AS per ton untuk CPO dan 30 dolar AS per ton untuk olein serta produk turunan sawit.

Skema ini akan berjalan ketika harga CPO global di bawah 750 dolar AS per ton. Namun, aturan ini dinilai sangat membebani karena memukul rata harga di level berapapun.

Anehnya lagi, menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia, MA. Muhammadyah, penentuan pajak ekspor sebesar 50 dolar AS per ton untuk CPO tidak melibatkan semua stakeholder perkebunan sawit. Ide pajak ekspor hanya dirembuk oleh dua grup besar kelapa sawit di Indonesia dengan Menko Perekonomian pada saat dijabat Sofyan Jalil.

"Sebagian besar perusahaan sawit tidak setuju usulan ini sebab kurang mempertimbangkan fluktuasi harga CPO yang terjadi," tegas Muhammadiyah melalui siaran pers.

Konsep ini dinilai lebih memberatkan dari skema pajak ekspor sebelumnya. Sebagai ilustrasi, pada 18 Maret 2015 lalu, harga CPO global di level 650 dolar AS per ton. Artinya, ketika aturan ini berlaku maka pelaku usaha menerima harga 600 dolar AS per ton setelah dipotong pungutan ekspor 50 dolar AS per ton. Itupun belum termasuk biaya pengiriman dan demurrage cost yang ditanggung eksportir.

Ini berarti, harga CPO makin terpangkas sehingga berdampak kepada daya saing ekspor CPO Indonesia.

"Yang menjadi pertanyaan, seberapa besar dampak mekanisme pajak ekspor kepada harga beli TBS petani?," tanyanya.

Pasalnya, CPO yang diolah pabrik selama ini dominan hasil panen petani, dari 10 juta hektare lahan sawit sekitar 40 persen milik petani. Pemerintah seharusnya memperbaiki skema bea keluar CPO yang sebelumnya.

"Bukannya membuat aturan baru yang membebani pelaku industri dan petani," kritiknya.

Petani sawit memang benar-benar dibuat menderita. Apapun bentuk penerapan pajak tentang sawit atau CPO oleh pemerintah maupun negara pengimpor, menurutnya, pasti imbasnya kepada petani.

Ia menegaskan, pungutan  pajak ekspor sebesar 50 dolar AS per ton merupakan kebijakan yang kontraproduktif, bukan saja akan menekan daya saing produk CPO Indonesia di pasar internasional, tetapi juga menganggu tatanan industri CPO dalam negeri. Kebijakan ini akan menghilangkan kesempatan kerja, dan penerimaan devisa dan juga menurunkan produktifitas petani. Selain itu berdampak juga pada pendapatan per kapita penduduk Indonesia turun, terutama para petani kelapa sawit yang jumlahnya hampir 5 juta petani.[hta/rmol]

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi