post image
KOMENTAR
Banyak pihak yang menganggap Basuki Tjahaja Purnama  (Ahok) sedang galau. Alasannya jalur perseorangan yang akan ditempuh Ahok adalah jalur neraka. Sementara bila menempuh lewat parpol dianggap sebagai jalur inkonsistensi. Lalu Ahok akan memilih jalan mana?

Saya melihat Ahok akan menempuh jalur aman alias melalui partai politik (Parpol).  Saat mendaftarkan diri ke KPU sebagai calon Gubernur DKI Jakarta masa bhakti 2017-2022 Ahok akan diantar oleh Parpol atau dengan kata lain, Ahok adalah calon dari Parpol dan bukan perseorangan.

Ahok tahu bahwa bila mendaftar sendiri ke KPU sebagai calon perseorangan adalah jalur yang sangat mengerikan. Melalui jalur neraka itu, bisa saja Ahok terjungkal atau kalah. Indikasi terhadap kemungkinan terjadinya hal tersebut, sudah sangat jelas terlihat melalui serangan-serangan membabi buta lewat isu Sumber Waras, reklamasi, dan yang terakhir dana isu dana dari pengembang sebesar Rp 30 miliar.

Benarkah itu sebagai serangan, agar Ahok terpental dari pencalonan atau kalah dalam Pilgub 2017? Bila dilihat dari pihak-pihak yang mendorong isu tersebut menjadi kasus kejahatan, maka sangat jelas tujuannya adalah untuk menjatuhkan Ahok, terlepas dari benar atau salah Ahok.

Saat Ahok menyatakan diri keluar dari Gerindra, maka serangan deras datang bertubi-tubi dari politisi partai tersebut dan politisi partai koalisinya terutama mereka yang berada di KMP (Koalisi Merah Putih). Bahkan ada upaya menjatuhkan Ahok. Hanya PDIP dan Nasdem yang tetap tidak mengganggu Ahok.

Oleh sekelompok masyarakat dan Ormas Ahok berkali-kali didemo. Bahkan mereka mengangkat gubernur tandingan yang ditunjuk oleh mereka sendiri, sebagai lambang bahwa Ahok tidak diakui oleh mereka. Ramai-ramai Gubernur tandingan pun berlalu. Dan Ahok tetap aman-aman saja memimpin DKI Jakarta.

Bersamaan dengan itu, akibat Ahok keluar dari Gerinda yang imbasnya Gerindra tidak memiliki keterwakilan lagi di eksekutif atau Pemda DKI, karena Wakil Gubernur datang dari PDIP, pasca terpilihnya Jokowi menjadi Presiden pada 2014, maka Ahok bukan sekadar musuh politik tetapi berubah menjadi musuh biologis. Apapun yang dilakukan oleh Ahok di mata Gerindra dan politisinya adalah salah. Targetnya harus tamat riwayatnya sebagai gubernur.

Target itu kemudian tidak tercapai karena DPRD DKI gagal memakzulkan Ahok dengan langkah awal melakukan HMP (Hak Menyatakan Pendapat).  HMP yang digagas oleh politisi Gerindra itu hingga kini belum dinyatakan dicabut, dan tidak kunjung terlaksana, karena suara tidak pernah mencukupi. Usulan hak menyatakan pendapat bisa disahkan melalui rapat paripurna dengan dukungan 53 anggota DPRD untuk dapat menggelar rapat paripurna. Itu pun belum cukup. Rapat paripurna itu harus dihadiri minimal tiga perempat jumlah anggota DPRD.  Untuk bisa mengesahkan hak menyatakan pendapat,  butuh dukungan minimal dua pertiga dari anggota yang hadir. DPRD DKI Jakarta beranggotakan 106 orang anggota. Atas dasar ini, sekurang-kurangnya diperlukan sekitar 80 anggota Dewan untuk hadir dalam rapat paripurna HMP jika berhasil digelar.

Hal itu juga terkait dengan kasus korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS), yang dilakukan dengan cara memainkan anggaran melalui APBD. Ahok terlalu teliti sehingga ada pihak-pihak di DPRD DKI yang tidak leluasa meloloskan 'permainannnya'. Dalam kasus ini, penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menetapkan dua anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014 sebagai tersangka.  Khawatir kasus itu merembet kemana-mana,  Ahok kembali digempur habis-habisan. Ahok rupanya terlalu berat untuk disingkirkan dari kursi Gubernur DKI Jakarta.

Lalu tibalah tahap penjaringan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, dan Ahok tampil sebagai bakal calon pertahana. Kali ini Ahok tidak punya partai. Berbeda dengan periode 2012-2017 yang diusung oleh Gerindra dan PDIP. Lalu sekelompok masyarakat yang menginginkan Ahok tetap maju sebagai calon gubernur, membentuk kelompok bernama Teman Ahok. Kelompok nonpartai yang dimotori anak-anak muda ini melesat sedemikian cepat dan sangat populer. Ahok kemudian memutuskan melalui jalur perseorangan melalui kendaraan Teman Ahok yang getol mengumpulkan KTP warga DKI Jakarta.

Bersamaan dengan gencarnya Teman Ahok mengumpulkan KTP, kemudian Ahok dihajar oleh lawan politiknya melalui isu kasus Sumber Waras dan reklamasi. Kali ini politisi PDIP yang tadinya 'melindungi'  Ahok,  berbalik ikut-ikutan menggebuk Ahok dan teman Ahok sekaligus, tentunya dengan harapan keduanya hancur sekaligus secara bersamaan. Hal itu dilakukan tentu saja karena Ahok dianggap lawan, karena tidak mau mengikuti keinginan parpol itu agar Ahok mendaftar sebagai bakal calon sesuai dengan aturan mereka. Gara-gara memilih jalur perseorangan dan sukses meraih simpati,  Ahok kemudian dianggap sebagai anak durhaka demokrasi.  Padahal jalur perseorangan adalah demokrasi juga karena memang diatur undang-undang.

Kendati  Ahok memilih jalur 'durhaka', ternyata Ahok juga didukung oleh parpol yang jeli melihat 'ada berlian di dalam mulut babi'. Diawali oleh Nasdem, lalu Hanura dan terakhir Golkar. Ketiga parpol itu mendukung Ahok dengan harapan bisa ikut mendapatkan 'berkah' simpati pada Pemilu 2019 dan bisa mendulang suara lebih banyak.

Melalui jalur perseorangan, sepertinya akan menghadapi jalan yang terjal dan tidak mulus. Terbukti ketiga KTP terkumpul satu juta copi, serangan datang begitu dahsyat menghantam Teman Ahok. Berhembus isu aliran dana Rp 30 miliar dari pengembang, yang dihembuskan oleh politisi PDIP Junimart Girsang. Kemudian isu fotocopy KTP ganda yang digulirkan oleh mantan Teman Ahok yang sudah dipecat. Belakangan mereka ketahuan mengenakan baju PDIP, dan oleh parpol itu dibantah sebagai bukan kadernya. Buntut dari itu terungkap pula bahwa salah seorang dari mereka adalah anggota Perpera, Ormas yang bernaung di bawah Adian Napitupulu, anggoata DPRD RI dari PDIP.

Serangan itu tentu saja bertujuan menggagalkan Ahok maju sebagai cagub. Atau menghalangi Ahok menempuh jalur perseorangan. Celakanya, serangan itu kemudian menginspirasi kelompok Ahok (Teman Ahok, parpol yaitu Nasdem, Hanura, dan Golar, serta Ahok sendiri) untuk mengubah langkah, yaitu menempuh jalur parpol. Kendati hal itu masih menjadi tanda tanya, karena belum dideklarasikan, tapi bisa dipastikan, Ahok akan memilih jalur parpol dan diusung oleh tiga parpol tersebut, karena kursi di DPRD sudah lebih dari cukup yaitu 24 kursi, sementara batas minimal kursi adalah 22. Golkar (9 kursi), Hanura (10 kursi) dan Nasdem (5 kursi). Terlebih lagi Teman Ahok sudah merelakan Ahok menempuh jalan apapun yang penting bisa terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.***

Penulis merpakan mahasiswa pascasarjana manajemen komunikasi Universitas Trisakti

Hilangnya Jati Diri Seorang Siswa

Sebelumnya

Delapan Butir Maklumat KAMI

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Opini