
Di Gedung KPK, setiap harinya bertumpuk-tumpuk berkas seukuran kardus mi instan berdatangan yang bertuliskan LHKPN kependekan dari Laporan Hasik Kekayaan Pejabat Negara. Laporan itu dibawa dengan mobil-mobil minibus. Oleh staf KPK, LHKPN ini kemudian dianalisis. Disesuaikan antara profil pekerjaan dengan kekayaannya. Bila ditemukan jumlah kekayaannya melampaui profil pendapatan, inilah yang kemudian dicurigai apakah yang bersangkutan terlibat korupsi.
Kecurigaan itu kemudian dilengkapi dengan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). KPK sebagai lembaga penegak hukum menurut undang-undang berhak mendapatkan laporan transaksi keuangan dan hasil analisisnya yang sifatnya rahasia. Jika keduanya klop, maka proses hukum dilanjutkan.
Dari LHKPN itu juga bisa diketahui, terjadinya lonjakan kekayaan dalam periode tertentu. Ini biasanya untuk mengecek pejabat negara yang masa jabatannya ditentukan secara periodik. Misalnya, menteri yang menurut undang-undang merupakan jabatan 5 tahun. KPK melalui auditornya menganalisis, berapa banyak pertambahan kekayaannya itu.
Undang-Undang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi Kolusi Nepotisme, dan Undang-Undang KPK menyatakan laporan hasil kekayaan pejabat negara ini wajib hukumnya.
Namun yang menjadi kendala adalah leletnya para pejabat negara melaporkan harta kekayaannya itu. Berdasarkan data KPK per 1 Oktober 2012, tercatat sebanyak 129.310 pejabat negara sudah melaporkan kekayaannya, sedangkan jumlah yang mestinya menyetorkan LHKPN sebanyak 169.973 pejabat. Artinya, masih ada 40.033 pejabat negara belum menyetorkan kekayaannya.
Dari jumlah itu, 10.658 laporan sudah dianalisis dan diumumkan, sisanya sebanyak 20.652 laporan dalam proses analisis. Sedangkan lembaga yang paling tinggi kepatuhannya adalah legislatif, tercatat 98 persen anggota DPR/DPRD sudah melaporkan kekayaanya, 87 persen yudikatif, 80 persen pejabat BUMN/BUMD, dan paling buncit eksekutif yakni baru 71 persen pejabat melaporkan kekayaannya.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi mengatakan dari catatannya, ada tren positif pejabat negara makin terbuka dan mau melaporkan harta kekayaannya. Setidaknya dalam 3-4 tahun belakangan ini jumlah pejabat negara yang melaporkan harta kekayaanya terus meningkat.
Tingkat kepatuhan LHKPN mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada 2010, tingkat kepatuhan para penyelenggara negara dalam menyampaikan LHKPN sebesar 70.26 persen sedangkan pada 2011 sebesar 79.95 persen. Sebelumnya, hanya 30-40 persen pejabat negara yang punya kesadaran untuk menyerahkan LHKPN.
KPK sendiri menggenjot pelaporan LHKPN dengan melakukan pelatihan bagi pejabat untuk melaporkan dengan benar. Untuk tahun diagendakan 11 kali pelatihan. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan tidak ada lagi alasan bagi pejabat negara tidak menyerahkan LHKPN karena mengaku tidak tahu caranya.
Selain itu, KPK juga memasukan LHKPN sebagai salah satu indikator penilaian inisiatif antikorupsi (PIAK). PIAK merupakan upaya KPK untuk membangun sistem antikorupsi di instansi dengan lebih sistematis melalui penilaian terhadap inisiatif yang dilakukan pimpinan instansi dalam menerapkan program-program antikorupsi.
Walaupun trennya baik, tetap saja ada pejabat negara yang enggan kasih laporan. Sayangnya, KPK tidak bisa berbuat banyak, sebab Undang-Undang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan UU KPK hanya menyebut laporan hasil kekayaan pejabat negara ini wajib hukumnya. Tetapi, pejabat negara yang nakal dan menutup-nutupi kekayaannya, hanya diganjar sanksi administratif. “Undang-Undang belum mengatur sanksi yang lebih berat,” kata Johan kepada.
Menurutnya, perlu adanya aturan main yang tegas soal LHKPN ini. Setidaknya untuk bikin kapok pejabat negara yang tidak menunjukkan transparansi dan akuntabilitasnya sebagai pejabat/penyelenggara negara. Misalnya, dengan pencopotan jabatan. Saat ini sanksi pencopotan itu baru ada di Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yakni wewenang untuk memberikan sanksi kepada anak buahnya.
Supaya efektif, sambung bekas wartawan ini, perlu ada aturan yang menyatakan pejabat/penyelenggara negara yang tidak menyerahkan laporan hasil kekayaan negara harus diberi sanksi pidana. Aturan itu bisa dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Sekarang ini sifatnya masih kesadaran penyelenggara negara. KPK berharap adanya sanksi yang menyatakan adanya hukuman pidana bagi pejabat negara yang tidak menyerahkan LPKPN. Kewenangan merevisi Undang-Undang itu ada Pemerintah Legislatif,” keluhnya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA